HARIANHALMAHERA.COM–Usai dibuat kecewa dengan disahkannya Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja (Ciptaker), para buruh dan pekerja swasta di Maluku Utara (Malut) kembali harus menelan pil pahit.
Pemerintah Provinsi (Pemprov) melalui Dinas Tenaga Kera dan Transmigrasi (Disnakertrans) dipastikan tidak akan menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) untuk tahun 2021. Artinya, UMP Malut tahun 2020 yang telah ditetapkan sebesar Rp Rp 2.721.530 masih berlaku di tahun depan.
Tidak adanya penetapan upah minim ini menyusul adanya Surat Edaran (SE) Menteri Tenaga Kerha (Menaker) Nomor M/11/HK.04/X/2020 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2021 pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Dalam edaran itu disebutkan, dengan mempertimbangan kondisi perekonomian Indonesia pada masa pandemi covid-19 dan perlunya pemulihan ekonomi nasional, maka Gubernur diminta melakukan penyesuaian penetapan nilai upah minimum tahun 2021 sama dengan nilai upah minimum tahun 2020.
SE tersebut juga meminta para gubernur melaksanakan penetapan upah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, serta menetapkan dan mengumumkan UMP 2021 pada tanggal 31 Oktober 2020.
Selanjutnya, upah minimum 2021 ini secara resmi akan ditetapkan dan diumumkan oleh seluruh pemerintah daerah pada akhir Oktober 2020.
“Sehubungan dengan hal tersebut di atas, diminta kepada Saudara untuk menindaklanjuti dan menyampaikan Surat Edaran ini kepada Bupati/Walikota serta pemangku kepentingan terkait di wilayah Saudara,” tandas Ida.
Ida menyatakan keputusan tidak menaikkan upah minimum 2021 merupakan jalan tengah yang diambil pemerintah di tengah kondisi krisis akibat covid-19.
Menurutnya, keputusan yang ditegaskan dalam Surat Edaran (SE) itu juga telah dikaji secara mendalam oleh Dewan Pengupahan Nasional (Depenas). Pasalnya, pandemi covid-19 telah berdampak kondisi perekonomian dan kemampuan perusahaan dalam memenuhi hak pekerja/buruh termasuk dalam membayar upah.
“Ini jalan tengah yang harus diambil oleh pemerintah dalam kondisi yang sulit dan tidak mudah. Perlindungan pengupahan kita jaga, keberlangsungan usaha harus kita perhatikan. Atas dasar itulah SE ini kami keluarkan,” ujar Ida melalui keterangan resminya, Selasa (27/10).
Ida juga menuturkan SE tersebut bertujuan memberikan perlindungan dan keberlangsungan bekerja bagi pekerja/buruh serta menjaga kelangsungan usaha.
“Di samping itu tentu saja harus diingat bahwa pemerintah tetap memperhatikan kemampuan daya beli para pekerja melalui subsidi gaji/upah,” imbuh dia.
“Sesungguhnya bantalan sosial sudah disediakan oleh pemerintah. Jadi pemerintah tidak begitu saja menetapkan itu karena ada beberapa langkah yang sudah dilakukan,” tambahanya.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan Sebagai antisipasi dari tidak adanya penetapan Upah Minimum, pemerintah akan tetap menjaga tingkat daya beli masyarakat melalui kebijakan fiskal berupa bantuan sosial (bansos).
“Pemerintah akan terus memperbaiki daya beli masyarakat,” katanya, saat konferensi pers virtual hasil rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) periode Kuartal III 2020, Selasa (27/10).
Menurutnya, hal ini tak berbeda dengan kebijakan yang saat ini dilakukan pemerintah. Pada tahun ini, pemerintah mengalokasikan dana sekitar Rp220 triliun untuk perlindungan sosial melalui berbagai bansos di program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Dana ini masuk ke Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, Bansos dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa. Selain itu juga masuk ke Kartu Prakerja, subsidi gaji bagi pekerja dengan upah di bawah Rp5 juta, hingga diskon listrik dan subsidi kuota internet. “Ini semua untuk cover agar daya beli tetap terjaga tanpa bebani sektor usaha yang tengah tertekan,” katanya.
Bendahara negara menilai tingkat daya beli masyarakat mungkin bisa mendapat kompensasi dari tingkat inflasi yang terjaga. Artinya, inflasi alias tingkat kenaikan harga yang selama ini menekan daya beli masyarakat kemungkinan tidak besar.
Saat ini, Bank Indonesia (BI) memperkirakan inflasi berada di bawah 2 persen pada 2020 dan masih cukup rendah di target 3 persen plus minus 1 persen pada 2021. “Inflasi kita cukup rendah jadi dari sisi inflasi yang biasanya mengurangi daya beli masyarakat itu memang dalam situasi yang rendah,” imbuhnya.
Di sisi lain, mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu menilai UMP 2021 yang tidak naik dinilai cukup wajar karena dunia usaha tengah tertekan dampak pandemi covid-19.
Dengan begitu, kebijakan upah yang sama pada tahun depan dengan tahun ini diharapkan bisa memberi ruang bagi dunia usaha. “Tetap jadi perhatian karena sektor usaha masih dalam situasi yang sangat-sangat tertekan dan masyarakat juga tertekan sehingga kita harus sama-sama menjaganya untuk bisa pulih dengan tidak menimbulkan trigger salah satunya yang menimbulkan dampak negatif kepada yang lainnya,” jelasnya.
Sementara dari kalangan pengusaha menilai keputusan pemerintah tidak menaikkan UMP pada 2021 sudah tepat. Pasalnya, keputusan itu diambil demi menjaga keberlangsungan bisnis ke depan yang tengah tertekan oleh pandemi covid-19.
“Kami mengerti atas keputusan tersebut demi keberlangsungan usaha. Kalau dinaikkan tentu akan memberatkan daya saing usaha,” ujar Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) bidang Perdagangan Benny Soetrisno sebagaimana yang dilansir CNNIndonesia.com, Selasa (27/10).
Menanggapi penolakan dari para Buruh, Benny mengatakan itu merupakan hak pekerja. Namun, ia tidak menutup peluang pengusaha yang masih memiliki kemampuan untuk menaikkan upah tahun depan melalui kesepakatan bilateral perusahaan dengan pekerjanya. “Kalau (upah) naik pasti ada pengurangan pekerja dan akan beralih ke mekanisasi atau mesin,” imbuhnya.
Di tempat terpisah, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timbul Siregar memprediksikan para buruh akan melakukan penolakan dan mem-PTUN-Kan Edaran Menaker
“Kenaikan upah minimum tiap tahun biasanya telah menjadi sumber perselisihan antara pemerintah, Apindo (pengusaha), dan SP/SB (serikat pekerja) yang biasanya berujung di Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) dan tahun ini sepertinya akan terulang lagi,” katanya dalam rilisnya
Dari kalkulasinya yang mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS), sejak Januari hingga Agustus 2020 tingkat inflasi mencapai 0,93 persen, sedangkan tingkat inflasi dari tahun ke tahun atau year on year (yoy) mengacu pada Agustus adalah sebesar 1,32 persen.
Dengan data ini, seharusnya para gubernur dapat mempertimbangkan menaikkan upah minimum 2021 di kisaran inflasi tahunan, yaitu sekitar 1,5 persen sampai 2 persen. Termasuk juga mempertimbangkan kondisi September, Oktober sampai Desember 2020.
“Tentunya kenaikan upah minimum dengan mempertimbangkan inflasi tahunan akan memiliki dampak ikutan yang positif. Dengan kenaikan upah minimum, maka daya beli pekerja tidak tergerus oleh inflasi, sehingga pekerja dan keluarganya bisa mempertahankan tingkat konsumsi,” katanya
Hitungan tersebut berbeda dengan permintaan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang meminta kenaikan upah sebesar 8 persen pada 2021 nanti.
“Serikat buruh KSPI berpendapat, mengusulkan, kenaikan upah minimum harus tetap ada. Berapa nilai yang diminta oleh KSPI? 8 persen kenaikan UMK, UMSK, UMP, UMSP,” ungkap Presiden KSPI Said Iqbal beberapa waktu lalu.
Permintaan kenaikan upah minimum sebesar 8 persen didasarkan dari pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam tiga tahun berturut-turut. Ia juga membandingkan kondisi resesi ekonomi karena pandemi covid-19 yang berbeda dengan krisis moneter pada 1998 silam.
Atas keputusan tersebut, sambung dia, terjadi perlawanan keras dari kaum buruh. Hal itu lalu membuat presiden yang menjabat di era itu, Habibie, menginstruksikan kenaikan upah minimum.
Timboel menilai edaran Menaker maupun permintaan kenaikan UMP oleh KSPI di kisaran 8 persen sama-sama tak tepat. Keduanya, menurut Timboel, tak memperhatikan kesejahteraan pekerja ataupun kelangsungan usaha. (cnn/jpc/pur)