Opini

Anarko dan Petaka Buku

×

Anarko dan Petaka Buku

Sebarkan artikel ini
Aidil Aulya (Foto : Ist)

Oleh: Aidil Aulya

Dosen Fakultas Syari’ah UIN Imam Bonjol Padang

 

 

‘MANUSIA tidak pernah melayani siapa pun kecuali dirinya sendiri’. Itulah sepenggal kalimat dari pidato revolusioner si tua Mayor, si babi putih kepada kelompok binatang di sebuah peternakan. Mayor meninggal dunia persis tiga hari setelah orasi. Namun narasi-narasi revolusionernya terpatri dipikiran sekolompok binatang.

Pada akhirnya, terjadi pemberontakan di peternakan yang dipimpin oleh dua babi cerdas, Snowball & Napoleon. Semua binatang bergerak menumbangkan Pak Jones, pemilik peternakan Manor. Pak Jones tumbang dan kekuasaan beralih. Peternakan dikuasai oleh binatang-binatang, dan aforisme yang tertanam setelah pemberontakan itu, ‘manusia adalah musuh’ dan ‘semua binatang setara’.

Revolusi di peternakan menghasilkan tujuh perintah yang dituliskan di dinding peternakan. Maklumat kemenangan, plakat sejarah, dan monumen kesetaraan. Fase awal setelah revolusi berjalan dengan baik dan demokratis.

 Demokrasi itu tidak berlangsung lama karena kekuasaan sangat menggairahkan. Hasrat lain muncul, yaitu hasrat menundukkan yang lain dan mempertahankan kekuasaan. Singkat cerita, demokrasi runtuh dan tirani bangkit.

Babi sebagai pemimpinnya sudah merasa menjadi pemilik kebenaran dan mengubah tujuh konstitusi awal sesuai dengan kehendaknya. Kekuasaan harus dilanjutkan, semua cara harus ditempuh, dan binatang yang subversif baik ucapan, pikiran, ataupun bacaannya harus dimusnahkan. Itulah secuil kisah yang ditulis oleh George Orwell dalam karya fenomenalnya, ‘Animal Form’.

Buku itu ditulis Orwell sebagai satire atas totaliterisme Uni Soviet. Cerita-cerita alegoris seperti yang ditulis Orwell bisa dijadikan sarana untuk orang mengudar rasa keprihatinan terhadap sebuah fenomena. Itulah karya sastra, dia indah untuk dinikmati, namun terkadang berbahaya bagi sebagian orang. Karya Orwell banyak mempengaruhi pikiran pembacanya.

Tidak hanya Orwell, di Indonesia buku karya Multatuli, ‘Max Havelaar’ dulunya cukup sukses menjadi pemantik perlawanan terhadap kolonialisme. Bahkan Pramoedya Ananta Toer menyebut buku ini sebagai buku yang membunuh kolonialisme. Demikianlah sebuah karya, dia bisa mengguncangkan pikiran dan mengubah keadaan.

Bagaimana sekarang? Beberapa hari yang lalu, publik kita dikejutkan dengan berita tentang rencana onar dan rusuh yang akan dilakukan oleh kelompok orang. Kelompok itu menamakan dirinya “Anarko”. Keterangan kepolisian menyebutkan bahwa kelompok tersebut akan membuat gaduh di tengah merebaknya Covid 19.

Mereka memanfaatkan situasi pandemik ini untuk berbuat keonaran, membakar, dan menjarah. Keterangan polisi tersebut viral di media sosial dan beberapa pelaku ditangkap karena mulai melakukan vandalisme.

Saya mengikuti dan membaca beberapa berita terkait peristiwa itu. Sampai pada momen keterangan pers, saya bergeming melihat beberapa barang bukti yang disodorkan. Di sana terpapar satu buku yang berjudul, ‘Corat-coret di Toilet’ karya Eka Kurniawan terbitan Gramedia.

Eka merupakan salah satu penulis Indonesia berbakat dan kerap dianggap sebagai penerus Pram (walau banyak juga yang tak setuju). Beberapa karyanya saya jadikan pernak-pernik foto pra pernikahan.

Tidak hanya itu, dalam foto keterangan pers polisi di suatu daerah di Jawa Barat, saya melihat ada beberapa buku lagi yang jadi barang bukti. ‘Negeri Para Bedebah’ karya Tere Liye, sebuah ‘Seni Untuk Bersikap Bodo Amat’ karya Mark Manson, dan buku lainnya.

Buku Manson merupakan salah satu buku best seller internasional. Mungkin saja karya Manson dianggap mengubah mindset orang untuk bersikap bodo amat. Bisa jadi yang menyita juga bersikap bodo amat terhadap barang sitaannya. Sita dulu saja, siapa tahu berbahaya.

Entahlah! Selanjutnya, Saya tidak merinci buku-buku lain karena akan lebih menggetirkan untuk dituliskan. Saya benar-benar tidak tahu kenapa buku Eka dijadikan barang bukti. Bisa jadi karena sampul bukunya ada bom molotov! Mungkin. Bisa juga karena salah satu cerita di buku itu.

Salah satu cerita di buku tersebut menggambarkan tindakan vandalisme di toilet kampus. Dinding toilet dipenuhi oleh tulisan-tulisan provokatif. Sampai pada akhirnya seorang mahasiswa menulis, “sampaikan aspirasi anda kepada anggota dewan’. Tulisan itu dibalas oleh mahasiswa lainnya, ‘Aku tak percaya bapak-bapak anggota dewan, aku lebih percaya pada dinding toilet’. Bisa jadi cerita ini dianggap berbahaya karena bisa merangsang orang untuk merencanakan tindakan vandalisme.

Padahal cerita itu jelas-jelas sarkastis. Peristiwa ini mengingatkan saya ke peristiwa lain. Razia buku komunisme di salah satu kota di Sumatera Barat beberapa waktu lalu juga menampilkan sesuatu yang lucu namun tak membuat gelak. Buku karya Romo Magnis yang mengupas habis kelemahan komunisme dan sosialisme juga ikut diamankan. Tragis! Bagaimana mungkin karya bernas itu dianggap ikut andil menyebarkan paham komunis?

Belum lagi buku-buku Tan Malaka yang kerap disalah artikan juga ikut disita. Khusus karya-karya Tan Malaka, sepertinya menjadi langganan sitaan. Termasuk juga dalam penyertaan bukti-bukti penangkapan kelompok Anarko, buku Tan Malaka kembali disita. Padahal masyarakat perlu membaca buah pikiran pahlawan bangsanya.

Tan Malaka pahlawan nasional, bukan? Saya tidak akan menulis tentang pro kontra anggapan netizen terhadap berita kelompok Anarko. Banyak orang menilai itu hanya akal-akalan dan dagelan di tengah pandemik. Adalagi yang berujar itu pengalihan isu.

Sikap saya jelas, tidak pernah setuju dengan vandalisme, kekerasan, dan tindakan rusuh lainnya. Tetapi, era post truth ini menjadikan orang selalu skeptis terhadap media dan berita. Saya tidak akan terjebak pada perdebatan itu. Pusat perhatian saya sepenuhnya pada buku.

Kenapa buku-buku disita? Bagi saya, penyitaan buku merupakan salah satu bentuk penghancuran. Tidak hanya bibliosida (penghancuran buku), tetapi penghancuran peradaban. Buku merupakan wajah peradaban. Semakin tinggi peradaban suatu bangsa akan semakin berkualitas karya yang lahir. Ketika suatu bangsa sudah tidak peduli dengan buah pikiran, maka patut dicurigai akan menjadi bangsa barbar.

Ada catatan menarik dari Fernando Báez dalam bukunya, ‘Penghancuran Buku: Dari Masa ke Masa’. Báez menyimpulkan, buku-buku dihancurkan bukan karena ketidaktahuan atau kurangnya pendidikan, melainkan justru oleh kelompok terdidik dengan motif ideologis masing-masing.

Sekali lagi, saya tidak tahu apa motifnya dan kenapa buku-buku itu dijadikan barang bukti? Saya tidak bisa mengudar motifnya dan tidak mau berspekulasi. Saya hanya cukup memahami dari sisi lemahnya literasi kita. Budaya baca kita cukup atau bahkan sangat rendah dibanding negara lain. The Worlds Most Literate Nations pada tahun 2016 merilis data terkait tingkat literasi di 61 negara. Indonesia berada diurutan ke 60. Ya, nomor dua dari bawah.

Saya tidak tahu data terbaru, tapi kalau dilihat dari tindakan aparat negara dalam kasus Anarko ini, saya yakin belum akan jauh berbeda di tahun ini. Fenomenanya sekarang, minat komentar tinggi sedangkan minat baca rendah. Lebih spesifik lagi, minat baca rendah sedangkan minat menyita bacaan sangat tinggi. Lihatlah carut-marut media sosial. Orang kadang mampu berkomentar banyak terhadap hal yang mereka tidak pernah baca, alih-alih memahami konteks.

Dari kasus ini, setidaknya kita harus belajar dan berusaha meningkatkan tingkat literasi. Seluruh elemen bangsa harus meningkatkan pengetahuan dan bacaannya. Pemerintah, TNI, Polri, dan masyarakat harus membaca. Itu adalah amanah yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945, “mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Terdengar klise dan retoris untuk diucapkan. Tapi apalah daya, sama halnya dengan peristiwa yang digambarkan Orwell diawal tulisan ini, peraturan bisa diubah untuk melakukan pembenaran. Mudah-mudahan itu tidak pernah terjadi. Kalaupun sudah terjadi, jangan dibiarkan terus-terusan terjadi.

Saya berasumsi, buku-buku itu dipampangkan sebagai barang bukti karena dianggap membahayakan pikiran orang. Dalam sejarah kita sendiri, sangat banyak buku yang sudah dilarang karena dicap berbahaya. Buku ataupun tulisan lainnya merupakan cerminan kedalaman pikiran. Maka, menganggap buku sebagai barang berbahaya sama halnya menjadikan pikiran sebagai musuh.

Pikiran tidak bisa dilawan dengan senjata ataupun dengan kesewenang-wenangan kekuasaan. Pikiran harus dilawan dengan pikiran, bukan penyitaan ataupun jeruji besi. Malahan pikiran yang dilarang akan jauh lebih bermekaran di ruang-ruang tersembunyi dan menyemai jadi pemberontakan.

Saya sepakat dengan aparat yang menganggap buku-buku itu berbahaya. Karya sastra ataupun karya lainnya sangat bisa jadi petaka. Petaka bagi kebodohan dan kejumudan berpikir bangsa. Bencana bagi orang yang tidak mau menjalankan amanat, ‘mencerdaskan kehidupan bangsa’.(*)

(Sumber: https://rmol.id/read/2020/04/15/430325/anarko-dan-petaka-buku)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *