Opini

Bersenandung dalam Dekapan Resesi

×

Bersenandung dalam Dekapan Resesi

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi (Foto : MI)

Oleh: Fithra Faisal Hastiadi

Direktur Eksekutif Next Policy, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI

 

RELASI manusia dan peristiwa ekonomi sering kali berwujud metafisik, yaitu abstrak dan sering tidak bisa diduga. Prinsip ini diurai jelas oleh Schopenhauer dalam karyanya The World as Will and Representation.

Ini lantas mengilhami Leo Tolstoy, filsuf beraliran realis, dalam membuat mahakaryanya War and Peace, yang mana dua kata ini perang dan damai adalah konsekuensi biner dari relasi metafisik tersebut. Jika damai membuat orang ramai bersenandung riang, bagaimana di kala perang (resesi)?

Sejatinya peristiwa damai hanya ada untuk menanti krisis. Bahkan, Nouriel Roubini sudah melakukan fait accompli melalui artikelnya di Project Syndicate yang berjudul The Anatomy of the Coming Recession. Jika Roubini benar dengan ramalan profetiknya, apa yang bisa kita lakukan?

Ada baiknya jika pemerintah dan juga para pelaku pasar bersifat adaptif sebagaimana petuah dari John Locke yang masyhur, “Whatever i write, as soon as I discover it not to be true, my hand shall be the forwardest to throw it into the fire.” Idenya adalah jangan takut bertindak dan jangan takut melakukan koreksi.

Menatap 2020, melandainya selisih suku bunga obligasi pemerintah Amerika Serikat (US T Bond) antara yang berjangka waktu 2 tahun dengan 10 tahun membuat prospek perekonomian negara adidaya ini menjadi lebih buruk. Pada waktu normal, US T Bond yang bertenor 2 tahun lebih diminati jika dibandingkan dengan yang bertenor 10 tahun.

Hal ini wajar mengingat kebanyakan orang lebih menyukai instrumen berjangka pendek karena tentu jauh lebih mudah cair jika dibandingkan dengan yang bertenor panjang. Kondisi ini kemudian menggiring suku bunga US T Bond bertenor pendek menjadi lebih rendah ketimbang yang bertenor panjang.

Sederhananya, suku bunga adalah kompensasi terhadap peminatan (demand), apabila demand-nya rendah, suku bunga yang ditawarkan menjadi lebih tinggi (untuk dapat menarik minat). Sebaliknya, jika demand-nya tinggi, suku bunga yang ditawarkan menjadi lebih rendah. Namun, jika ekspektasi masyarakat terhadap situasi perekonomian memburuk biasanya mereka ingin menghindari risiko jangka pendek dengan membeli instrumen yang bertenor panjang.

Pada gilirannya, ini memicu lonjakan peminat terhadap US T Bond bertenor 10 tahun. Akibatnya, suku bunga US T Bond 10 tahun mengalami tren penurunan. Sementara itu, yang bertenor 2 tahun menjadi relatif lebih tinggi. Kecenderungan ini bahkan memicu adanya pola terbalik (inversi), yakni suku bunga tenor 2 tahun hampir melampaui suku bunga yang bertenor 10 tahun.

Dari kejadian yang sudah-sudah, pola ini biasanya mendahului resesi atau bahkan krisis. Hubungan Amerika Serikat dengan Tiongkok yang tengah memasuki babak baru akibat ulah unilateral dari Trump juga tidak banyak membantu, justru semakin membuat ekonomi dunia di tengah perundungan. Lebih lanjut, ulah Trump tentu akan diganjar retaliasi oleh partner dagangnya, ini adalah konsekuensi logis dari strategi balas membalas (tit for tat) yang memicu efek domino secara global.

Korban paling signifikan tentunya ialah negara-negara di Asia terutama emerging markets yang sangat mengandalkan perdagangan internasional. Selama beberapa tahun terakhir, tidak dapat dimungkiri bahwa Asia merupakan mesin pendorong pertumbuhan ekonomi dunia yang jelas akan tertahan dengan adanya perang tarif ini.

Perhitungan kami berdasarkan data runtun waktu, setidaknya akan ada koreksi sebesar 0,5% hingga 0,8% dari pertumbuhan ekonomi dunia sebagai akibat dari perang tarif.

Siasat Menghadapi Potensi Resesi

Menghadapi potensi resesi yang semakin kuat, pemerintah sejatinya telah bersiasat. Siasat itu setidaknya bisa kita lihat dari tiga rencana kebijakan fiskal, yaitu memobilisasi pendapatan dengan menjaga iklim investasi, meningkatkan kualitas belanja agar lebih efektif dalam mendukung program prioritas, serta mencari sumber pembiayaan secara hati-hati dan efisien melalui penguatan peran kuasi fiskal.

Sadar akan tertinggalnya Indonesia dalam merebut minat investor asing, pemerintah sudah membuat beberapa rencana penyederhanaan regulasi dan birokrasi. Hal ini menjadi penting mengingat anatomi resesi ke depan, sebagaimana diungkap oleh Roubini, lebih banyak dipicu dari sisi supply yang tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan tunggal berupa gelontoran fiskal saja.

Meski saya sangat setuju bahwa ke depan APBN harus dibuat lebih counter cyclical alias ekspansif di tengah resesi. Namun, pengalaman empiris memberi hikmah bahwa kebijakan fiskal lebih sering terkendala dalam situasi resesi yang dimunculkan dari sisi supply.

Stimulus fiskal mungkin bisa efektif tatkala hulu dari resesi tersebut ialah dari sisi demand, persis seperti yang kita saksikan pada 2008. Hari ini, praktis belum ada gejala kontraksi yang berarti dari sisi demand.

Tengok saja angka pengangguran di Amerika Serikat yang masih berada pada tingkat alaminya, 3,6%. Begitu juga jika kita melihat angka serupa di Indonesia, baik dari sisi pengangguran maupun kemiskinan menunjukkan angka yang cukup menggembirakan.

Namun, kekhawatiran justru muncul jika kita melihat angka-angka yang berelasi dengan kapasitas industri, menandai kemungkinan gejolak dari sisi supply semakin menjadi. Betapa tidak, deindustrialisasi menjadi momok yang menakutkan mengingat jangkauannya yang sangat luas dan mengakibatkan ekonomi lambat tumbuh jika tidak bisa dibilang stagnan.

Bahkan, menurut proyeksi kami, pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2020 nanti akan dengan sangat mudahnya terjerembap di bawah 5% jika tidak mampu mengatasi masalah turunnya kinerja industri. Hal ini menjadi penting karena penghela napas perekonomian ialah kinerja ekspor dan juga investasi. Dua hal yang perkembangannya sangat ditentukan pertumbuhan dari sektor industri. Sayangnya, industri jalan di tempat.

Kontribusinya terhadap produk domestik bruto kini tinggal 19%, konsisten turun hampir lekat tanah. Pemerintah sebenarnya telah berusaha untuk memberikan stimulus bagi perekonomian, tetapi celakanya sektor swasta menjadi mengelepar karena kering dana. Betapa tidak, jika kita melihat proporsi obligasi pemerintah terhadap total keseluruhan obligasi per Desember 2018 sudah mencapai 85%, belum ditambah lagi dengan BUMN yang menjalankan peran kuasi fiskal.

Angka ini terbilang tinggi jika dibandingkan dengan sejawat di ASEAN, seperti Thailand (72%), Singapura (60%), Malaysia (52%), dan bahkan untuk rata-rata ASEAN (68%). Jika dibandingkan dengan awal 2014, penerbitan obligasi pemerintah telah tumbuh 60% atau rata-rata tumbuh 15% per tahun.

Hal ini tentu dapat dimengerti mengingat pemerintah tampak berupaya keras untuk menggenjot pembangunan infrastruktur. Dan sebagaimana bisa dipahami, untuk bisa menggenjot ekspor diperlukan basis industri yang kuat. Sementara itu, dalam rangka menggenjot kinerja industri yang kini sudah mengalami gejala deindustrialisasi yang prematur, dibutuhkan dorongan dari sisi infrastruktur.

Celakanya, niat baik ini memiliki ekses yang negatif. Alih-alih bisa mendorong produksi, justru kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB malah semakin merunduk. Kecenderungan ini menjadi menyesakkan tatkala kita melihat korelasi antara obligasi pemerintah dan ekspor produk manufaktur yang negatif. Artinya, setiap terjadinya kenaikan obligasi pemerintah memiliki kecenderungan untuk membuat ekspor produk manufaktur menjadi semakin terdesak.

Penjagaan Iklim Investasi

Pemerintah tampak menghadapi simalakama, ketika ingin membangkitkan industri dengan infrastruktur tentu butuh dana yang memadai. Ketika dana tersebut didapat dari pasar, justru korbannya ialah sektor swasta yang megap-megap.

Sebagai agen di sektor riil sektor swasta mengalami masalah yang teramat pelik mengingat komponen pembiayaan mereka di jangka panjang mengalami tren menanjak langit. Oleh karenanya, penjagaan iklim investasi merupakan siasat terbaik mengingat kita butuh pendanaan yang berlimpah jika ingin keluar dari labirin pertumbuhan ekonomi 5%. Hanya saja, investasi enggan masuk karena birokrasi di Indonesia rumit seperti mencari bakso dalam lilitan spageti. Ini perlu dituntaskan.

Ke depan perlu ada fine tuning berupa kolaborasi pemerintah dengan swasta dalam proses pembangunan. Jika aktivitas swasta mandek, ekonomi akan ‘batuk-batuk’. Pendekatan ke depan tidak bisa bergantung pada intervensi fiskal semata. Namun, ke pendekatan institusi yang sifatnya lebih jangka menengah dan panjang serta lebih bersifat diagnostik mikro.

Intervensi pada infrastruktur dan manusia adalah dua hal yang perlu terus kita dukung sembari melanjutkan proses reformasi tata kelola pemerintahan. Harapannya, kualitas belanja pemerintah akan semakin memiliki daya ungkit terhadap perekonomian, meski ini butuh waktu.

Pemerintah sebagai kuasi fiskal, harus lebih berperan menjadi pengaktif ekosistem (ecosystem enabler) antar empat lini penting, yakni industri, pemerintah, universitas, dan komunitas. Jika upaya pembangunan ekosistem dengan pendekatan diagnosis kasus ini dilakukan secara konsisten, bisa dipastikan kinerja perekonomian kita akan segera bangkit.

Presiden Jokowi sudah sangat sadar, beliau telah menyampaikan betapa pentingnya negara untuk berinvestasi lebih ke sumber daya manusia. Membuat industri, kampus, lembaga pendidikan saling terhubung untuk bisa mengaitkan yang sebelumnya tidak tersambung: industri dan kurikulum vokasi. Inilah biang kerok melempemnya sumber daya manusia kita.

Dalam penelitian kami, kualitas sumber daya manusia merupakan elemen penting yang dapat menggenjot produktivitas dan inovasi, dua hal yang menjadi faktor pendorong industri.

Di tengah resesi, tentu kita harus tetap bisa bersenandung. Untungnya, hasil simulasi kami menunjukkan bahwa produk-produk industri Indonesia masih menunjukkan daya tahan yang cukup baik. Furnitur, industri karet, industri kayu, industri tekstil, dan produk mineral nonlogam adalah serenceng yang dapat bertahan di tengah resesi. Karena, memiliki elemen daya saing, skala ekonomis, dan daya tahan global yang cukup baik.

Secara ideologi ekonomi, bentuk ketahanan ini merupakan penjelmaan sempurna dari Georgism yang sangat memaknai keutuhan, ketahanan, dan keadilan ekonomi. Sebuah prinsip yang pada gilirannya menginspirasi Tolstoy untuk membuat Ressurection, yang secara oxymoronic menjadi karya terakhir yang dia tulis setelah diawali oleh karya adiluhungnya War and Peace.

Tolstoy memang bukan cenayang, tetapi karya-karya yang ditulis seakan menunjukkan bahwa gejolak dunia memang tidak pernah jauh dari nuansa metafisik. Meskipun demikian, sesuatu yang abstrak bisa saja dibuat lebih terukur, sebagaimana Spinoza berusaha menerapkan elemen Euclid dalam kefilsufan pada karya Magnum Opus-nya Ethics.(*)

Sumber: https://mediaindonesia.com/read/detail/278418-bersenandung-dalam-dekapan-resesi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *