Opini

Dana Desa Antara Harapan dan Tantangan

×

Dana Desa Antara Harapan dan Tantangan

Sebarkan artikel ini
Sofyan Lajame

Oleh: Sofyan Lajame
Sekretaris Gerakan Pemuda Ansor Halmahera Utara

 

 

SAYA titipkan Dana Desa kepada Pemerintah Desa untuk Kepentingan Masyarakat Desa” (Sri Muliyani Indawati: Menteri Keuangan RI).

Penulis merasa penting untuk kita saling mengingatkan melalui sederhana tulisan yang agak acak ini, penulis yang baru bergeluti di dunia  pemberdayaan dan pendampingan (bisa dikatakan baru se umur jagung pengalamannya).

Ini melihat serta mencermati proses dan dinamika Pembangunan dan pemberdayaan di desa sejak pemerintah Pusat menetapkan Dana Desa melalui amanat Undang-undang Desa No 6 tahun 2014, penulis menilai secara subyektif maupun obyektif bahwa kesan baik yang ditinggalkan oleh program satu desa satu miliar ini, dimana desa telah memperoleh pendapatan yang cukup fantastis bila dilihat besaran rupiah yang di kucurkan pemerintah pusat ke desa.

Itu artinya bahwa pemerintah pusat mempunyai tekat dan niat baik untuk membangun format baru pembangunan untuk mengejar ketertinggalan dari negara-negara lainya, yang itu harus di mulai dari desa. Tentunya satu desa satu miliar merupakan bentuk dan konsep baru mereformasikan pembangunan yang ada di Indonesia dan yang terbaru diterapkan di Indonesia dari seluruh negara-negara yang ada sebagaimana slogan dalam Nawa Cita Presiden RI “Membangun Indonesia dari pinggiran.“

Meski di sisi lain masih banyak juga kelemahan dan kekurangan yang mesti terus di benahi baik pengembangan Sumberdaya Manusia (SDM) dengan menikut sertakan dalam program pelatihan peningkatan kapasitas aparatur desa dan kelompok masyarakat desa, maupun perbaikan infrastruktur yang ada di desa itu sendiri, sebab untuk mengisi sumberdaya manusia untuk bekerja cepat dan tepat tentunya fondasi infrastruktur di desa tentunya telah di siapkan secara matang.

Amanat Undang-Undang Desa No 6 tahun 2014

Setelah di undang-undangkan tahun 2014 tentang desa, kini secara sah desa telah mendapatkan kemerdekaan baik secara defacto maupun dejure, artinya desa yang sekian lama terkungkung oleh peraturan pemerintah yang secara hierarki benar-benar diikat hingga desa jelas-jelas tidak berdaya dalam mengurus rumah tangganya  (Baca: UU No 22 1948 Pokok-pokok Pemerintah Daerah, Undang-undang No 17 Tahun 1965 Tentang desa Praja, Undang-undang no 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah,dan yang terakhir Undang- undang No 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah).

Ada dua hal yang mendasar dari undang-undang desa, (UU No 6 tahun2014) yakni Hak Rekognisi dan Hak Subsidiaritas. Kedua azas ini yang memberi nafas kehidupan untuk membangun serta memperbaiki jalannya sebuah pemerintahan desa di Republik indonesia ini, merujuk pada fisi misi Presiden yakni “Membangun indonesia dari Pinggiran.”

Apa itu azas Rekognisi dan Azas Subsidiaritas?: Azas Rekognisi adalah pengakuan terhadap hak asal usul Desa yang keberadaannya mendahului berdirinya Republik Indonesia,atau pengakuan bahwa desa adalah kesatuan masyarakat hukum asli Indonesia.

Sementara, azas Subsidiaritas adalah peneguhan bahwa Desa memiliki Kewenangan Lokal berskala Desa, yang artinya bahwa desa dapat mengatur dirinya sendiri tanpa ada pertentangan di dalamnya.

Secara umum pengaturan tentang desa sebelum UU Desa belum memberikan perlindungan yang serius dan konsisten terhadap keragaman dan kekhasan desa, serta terhadap upaya membangunkemandirian dan kesejahteraan desa.

Sebaliknya dengan begitu saja desa di perlakukan seragam dan secara lansung berada dalam pengendalian pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota, sehingga potensi asli desa, karakter khas desa, dan kekuatan desa tidak mendapatkan ruang untuk berkembang. Padahal sebagai kesatuan Masyarakat yang membentuk Nation Indonesia, Kekuatan kebangsaan justru terletak pada Desa itu sendiri.

Desa Membangun Indonesia

Dengan Lahirnya Undangan-undang Desa  kini desa telah mendapatkan marwah nya dalam mengelola seluruh potensi dan aset yang ada di desa, sebagaimana yang di amanatkan dalam undang–undang Desa. Konsep Desa membangun indonesia telah merobah wajah awal desa yang dulunya diikat dengan peraturan perundang-undangan sebelumnya. (Baca: Peraturan perundang-undangan sebelum lahirnya Undang_undang No 6 tahun 2014).

Desa membangun tentunya berbeda dengan membangun desa, sebab desa membangun dimana masyarakat sebagai subyek pembangunan  yang ada di desa, yang di mulai dari sebuah perencanaan yang matang di desa, hingga pada tahap akhir yakni evaluasi seluruh program yang telah di realisasikan di desa.

Tentu kita mengenal setiap pembangunan yang di laksanakan oleh pemerintah dan masyarakat desa di awali dengan sebuah perencanaan, perencanaan itu melibatkan seluruh elit yang berkepentingan di desa, baik itu tokoh pemuda, tokoh agama, tokoh perempuan, keterwakilan petani, nalayan, kaum miskin, serta kelompok yang berkebutuhan khusus.

Bila kepentingan seluruh pemangku masyarakat di desa telah di sepakati dalam musyawarh Desa (Musrembang Desa) kepentingan itu dapat di tuangkan dalam sebuah dokumen Desa yang  di sebuat RKPDesa  selama setahun berjalan, serta program setahun itu di anggarakan melalui Anggaran Pendapatan Belanja Desa (APBDesa).

Konsep desa membangun bila di lihat secara komprensif begitu Demokratis sebab peran penting dalam menjalankan seluruh roda pembangunan di desa adalah masyarakat desa itu sendiri yang menentukannya, berbeda halnya dengan membangun desa, dimana desa sebagai obyek semata atau desa hanya penerima manfaat dari setiap proses pembangunan di desa. Itu artinya seluruh tahapan perencanaan sampai pelaksanaan, masyararakt desa tidak sama sekali di libatkan, dan bila di libatkan hanya segelintir orang saja. Itu sebab seluruh proses perencanana yang masi terkesan sentralistik dan terfokus pada pemerintah di atasnya.

Dana Desa dan Konflik Sosial

Tentunya dana desa tak terlepas dari matarantai lahirnya undang-undang desa N0 6 tahun 2014, selain desa di berikan sepenuhnya tentang hak asal usul dan Kewenangan lokal berskala desa, Dana desa juga melekat di dalamnya sebagai bentuk penghargaan negara terhadap desa untuk melaksanakan seluruh proses pembangunan yang ada di desa.

Sebagaimana yang kita kenal bentuk penganggaran dana desa meliputi empat kategori, penyelenggaraan pemeritahan desa, peyelenggaraan pembangunan desa, pembianaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa. Bila empat kategori ini di kemas maka nampak pembiayaan proses pembangunan di desa itu terdapat dua, yakni pembangunan desa dan  pemberdayaan masyarakat desa.

Dana Desa bersumber dari pemerintah pusat yang di kucurkan ke seluruh desa yang ada di indonesia serta besaran pemenrimanaan Dana desa tentunya berbeda oleh setiap desa, tergatung pada luas wilayah desa, jumlah penduduk masyarakat desa, dan tingkat kemiskinan masyarakat desa.

Setelah kurang lebih empat tahun berjalan yakin Oktober tahun 2015 hingga saat ini tahun 2019 pada bulan juli,  Dana Desa selain meninggalkan kesan positif sebagaimana penulis telah beberkan bentuk penganggarannya di atas, penulis juga melihat sisi kelam dari pada proses pendanaan dana desa terhapa pembangunan yang ada di desa.

Artinya bahwa program pemerintah pusat yang di berikan kepada masyarakat desa melalui pemerintah desa untuk mengelolanya, dalam bentuk uang tunai yang cukup fantastis besaran nya, itu ternya tak berbanding lurus dari harapan masyarakat sebagaimana dalam amanah Undang-undang desa tersebut.

Harapan masyarakat desa dengan adanya dana desa tentu masyarakat tak lagi harus angkat kaki dari desa nya atau hijrah ke Kota sebab dana desa dapat menjawab keinginan mereka untuk meningkatkan pendapatan perekonomian mereka, baik melalui sektor pertanian, perkebunan serta perikanan tergatung potensi masyarakat yang ada di desa yang mereka tempati.

Empat tahun lebih program dana desa justru menimbulkan polemik atau konflik sosial yang berkepanjangan yang telah membelah masyarakat desa, dan pemerintah desa itu sendiri, konflik ini bahkan berakhir dengan pemberhentian kepala desa, aksi masif yang dilakukan masyarakat desa, serta pemboikotan aktivitas pemerintah desa. Semua ini bertumpu pada kepala desa yang menyalahgunakan wewenangnya dalam megelola dana desa, yang berimplikasi pada Korupsi dana desa itu sendiri.

Pada prinsipnya kita tak boleh hanya meyalahkan Kepala Desa dan pemerintahan desa, sebab kemampuan Sumberdaya aparatur desa juga perlu kita maklumi bersama, yang rata-rata lulusan Kepala desa dan perangkatnya yakni lulusan Sekolah Menegah atas (SMA dan sederajat).

Inilah peran penting pemerintah pusat, dan pemerintah daerah untuk terus menggalakan pelatihan-pelatihan dalam rangka peningkatan pengetahuan dan Kemampuan teknis oleh Kepala desa dan perangkat Desa.

Ketidakpahaman dan minimnya pengetahuan dengan mengelolah anggaran Desa yang cukup besar membat mereka kewalahan belum lagi persoalan pelaporan dan pembukuan yang bisa dikatakan begitu sulit dan berbelit, membutuhkan pendampingan yang ekstra oleh semua komponen.

Membangun Optimisme

Optisme sebagai senjata ampuh mengobati kerapuhan setiap persoalan yang kita hadapi, baik itu masalah yang besar di bangsa ini maupun sekecil persoalan yang ada di desa, tentunya dibutuhkan semua elemen harus terlibat dalam proses pembangunan yang ada di desa, sebab bila semua mengambil peran tentunya beban kerja tidak serta merta di kerjakan oleh pemerintah desa, namun itu bagian dari tanggung jawab kita bersama.

Meminjam bahasanya Laut Szu, “kita datangi mereka, rasakan apa yang mereka rasakan, tidur bersama mereka, di sana ada sebuah harapan, di sana ada cita-cita yang harus dibangun, dan di sana pula  (di desa) ada penghidupan.” Semoga!(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *