Opini

Exit Strategy Pasca Penghapusan UN

×

Exit Strategy Pasca Penghapusan UN

Sebarkan artikel ini
Bagong Suyanto

Oleh: Bagong Suyanto

Guru besar sosiologi FISIP Universitas Airlangga, Pernah Meneliti Dampak UN

 

MENDIKBUD Nadiem Makarim telah memutuskan untuk menghapus ujian nasional (UN). Mulai 2021, siswa tidak lagi dibebani kewajiban mengikuti UN yang sebelumnya merupakan tiket sakti penentu kelulusan siswa. Selanjutnya, hasil prestasi belajar siswa tidak lagi ditentukan lewat tes berskala nasional, tetapi diserahkan kepada sekolah.

Berbeda dengan UN yang sentralistis, wujud kebijakan Mendikbud tentang ’’Merdeka Belajar’’ itu salah satunya adalah menyerahkan evaluasi kelulusan kepada setiap sekolah. Metode evaluasi yang dikembangkan sekolah nanti bisa berupa tes tertulis, karya ilmiah perorangan, atau bentuk penilaian lain yang lebih komprehensif seperti rekap portofolio dan penugasan lain.

Mendikbud berharap penghapusan UN tidak lagi menimbulkan tekanan psikologis, baik bagi siswa, guru, maupun orang tua. Selain itu, pengembalian evaluasi kelulusan kepada sekolah merupakan bentuk penghormatan dan pengembalian kepercayaan kepada guru yang dinilai lebih paham sejarah perkembangan prestasi belajar siswa mereka sendiri.

Sakralisasi UN

Selama ini, diakui atau tidak, UN memang telah berkembang menjadi momok yang menakutkan. Alih-alih siswa terpacu belajar lebih giat dan lebih memahami materi pembelajaran, dengan adanya UN, siswa justru sering kali terperangkap dalam proses pembelajaran yang pragmatis, hafalan, atau sekadar pada keterampilan memilih jawaban dari soal multiple choice daripada memahami kedalaman materi pembelajaran yang bermanfaat bagi kehidupan sosialnya.

Ketika UN menjadi satu-satunya tiket untuk mengakses pendidikan di jenjang selanjutnya, yang terjadi adalah semacam sakralisasi UN. Ujian nasional, pelan tapi pasti, menjelma menjadi tolok ukur kelulusan siswa yang ditakuti. Bahkan, tidak sedikit siswa, guru, maupun orang tua siswa yang menempuh jalan apa pun asalkan bisa meraih nilai UN setinggi-tingginya.

Pengalaman selama ini telah banyak membuktikan bahwa pelaksanaan UN ternyata lebih banyak menghasilkan hal-hal yang kontraproduktif daripada kemanfaatannya. Sering terjadi, sepintar apa pun seorang siswa, jika mentalnya sedang tidak kuat saat mengikuti UN karena ketakutan atau karena faktor nonakademik lain, misalnya orang tuanya meninggal tatkala mereka ikut UN, bukan tidak mungkin siswa tersebut akan tidak lulus.

Kasus jual beli kunci jawaban UN adalah bukti betapa UN telah memicu munculnya rentetan perilaku insan-insan pendidikan yang keliru. Kepala sekolah yang ditekan kepala dinas pendidikan, guru yang ditekan kepala sekolah, dan orang tua yang cemas anaknya tidak lulus UN sering kemudian memilih jalan pintas: membeli kunci jawaban atau sengaja memfasilitasi dan memberikan bantuan jawaban kepada siswa ketika UN.

Kunci jawaban UN umumnya dengan mudah diperoleh siswa menjelang UN dengan harga ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Tidak sekali dua kali nilai UN di berbagai sekolah hasilnya sama karena di sana beredar kunci jawaban UN. Di sekolah-sekolah yang termasuk pinggiran, terkadang nilai UN siswa sempurna karena bantuan guru atau beredarnya kunci jawaban UN secara ilegal.

Dengan hanya menguji mata pelajaran tertentu, pelaksanaan UN juga membuat mata pelajaran yang tidak ikut UN akhirnya terdegradasi. Karena yang menjadi penentu kelulusan hanya mata pelajaran tertentu, dalam proses pembelajaran sehari-hari, sering siswa akhirnya menganggap mata pelajaran non-UN tidak penting sehingga bisa diabaikan.

Sikap Kritis

Kalau berbicara idealnya, evaluasi kelulusan siswa sekurang-kurangnya harus menyangkut tiga aspek, yaitu aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Sementara itu, dalam UN, diakui atau tidak, yang dievaluasi hanya menyangkut aspek kognitif. Bahkan, prestasi dan kelulusan anak dipertaruhkan hanya dalam beberapa jam pelaksanaan ujian yang mengabaikan proses pembelajaran yang bertahun-tahun telah diikuti siswa.

Dengan menyerahkan evaluasi kelulusan siswa kembali kepada sekolah, Mendikbud termuda kita harus diakui telah melakukan langkah maju yang berani dan tepat. Cuma, masalahnya, apa exit strategy yang mesti dikembangkan pasca penghapusan UN?

Pertanyaan ini penting diantisipasi dan dipersiapkan jawabannya agar setelah penghapusan UN siswa benar-benar menjadi subjek pembelajaran dan mendapatkan hasil yang terbaik dari apa yang mereka pelajari selama sekolah.

Dengan kebijakan baru mengukur kelulusan siswa dari tiga aspek, yaitu literasi, numerasi, dan karakter, evaluasi kelulusan siswa diharapkan benar-benar akan mencerminkan kompetensi minimum yang dibutuhkan siswa sebagai bekal life skills mereka.

Namun, jangan dilupakan, di luar tiga aspek kompetensi minimum seperti yang digagas Mendikbud tersebut, satu poin terpenting yang perlu digarisbawahi adalah apakah proses pembelajaran yang dikembangkan benar-benar telah didesain untuk menumbuhkan sikap kritis siswa.

Roh proses pembelajaran sesungguhnya adalah sikap kritis siswa. Seberapa jauh para siswa dapat survive dalam kehidupan sosial, tentu itu tidak sekadar ditentukan oleh keterampilan, pengetahuan, dan keahlian yang dimiliki. Memahami materi pembelajaran selama sekolah dan kemudian bagaimana hal itu bisa diimplementasikan dalam kehidupan nyata, tentu perlu dilandasi fondasi sikap kritis siswa yang kuat.

Perlu disadari, dalam kehidupan nyata, para lulusan akan menghadapi kerasnya kontestasi persaingan dan tekanan kehidupan yang acap kali sulit diajak kompromi. Tanpa didukung sikap kritis, bukan tidak mungkin para lulusan sekolah akan tergilas arus perubahan dan menjadi korban situasi yang kurang bersahabat.

Dengan dilandasi sikap kritis, para lulusan kita niscaya mampu menghadapi berbagai tekanan apa pun dalam kehidupannya. Sebab, mereka akan tumbuh menjadi insan-insan terdidik yang selalu peka, senantiasa mengambil jarak dengan realitas di sekitarnya, dan tidak mudah tunduk pada tekanan kekuasaan maupun ancaman eksploitasi. Inilah sesungguhnya hakikat proses pembelajaran yang mesti kita kembangkan ke depan.(*)

Sumber: https://www.jawapos.com/opini/13/12/2019/exit-strategy-pasca-penghapusan-un/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *