Oleh: Trisno Mais, S.A.P,
Alumni Fispol Unsrat, Asal Desa Buo, Kecamatan Loloda Halbar, Malut
FESTIVAL TELUK JAILOLO (FTJ) merupakan agenda tahunan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) sejak 2009. Tujuannya meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat, kesejahteraan rakyat, mewujudkan ketahanan budaya dan citra pariwisata, meningkatkan dan mengembangkan kebudayaan dan pariwisata, mengembangkan pariwisata yang berbasis kemasayarakatan (community base torist), mempromosikan, memperkenalkan, melestarikan mutu, obyek dan daya tarik wisata.
Dari aspek regulasi, FTJ merujuk pada Undang – undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara RI Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4966), Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 Tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional, Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No. KM.67/UM.001/MPK/2004, Peraturan Daerah Kabupaten Halmahera Barat Nomor 16 Tahun 2008 tentang Organisasi Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Halmahera Barat, serta Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Festival Teluk Jailolo Kabupaten Halmahera Barat.
Atas dasar pikiran di atas, maka ke depan, pemerintah perlu melakukan berbagai upaya pembenahan. Merille S Grindle (1980: 5) menjabarkan bahwa keberhasilan implementasi kebijakan tergantung pada isi, dan konteks kebijakan (derajat kemampuan implementasi). Kedua poin itu sangat penting untuk keberhasilan implementasi kebijakan publik.
Telaah Praktis dan Teoritis
Pada tahun 2012, Dinas Pariwisata (Dispar) Kabupaten Halmahera Barat merilis jumlah kunjungan wisatwan di Kabupaten Halmahera Barat. Pada tahun itu, terdata untuk wisatawan mancanegara berjumlah 132, sementara untuk wisatwan nusantara (Wisnus) terdapat 17680 orang. Pada tahun 2014, wisatwan nusantara berjumlah 2165 orang.
Pada tahun 2016 jumlah wisatawan mancanegara berjumlah 159, sementara untuk wisatawan nusantara berjumlah 6838. Pada tahun 2017, wisatwan nusantara berjumlah 2165 orang, sementara untuk wisatawan mancanegara berjumlah 1612. Apabila merujuk dari data kunjungan wisatawan, maka tentu ada relevansinya dengan kepentingan yang dipengaruhi oleh FTJ.
Interst affected berkaitan dengan berbagai kepentingan yang mempengaruhi. Untuk mengukur keberhasilan suatu kebijakan yang diimplementasikan, maka perlu memperhatikan kepentingan-kepentingan apa saja yang mempengaruhi dari imlementasikan kebijakan publik. Hakikat utama dari implementasi kebijakan adalah pemahaman atas apa yang dilakukan setelah kebijakan tersebut diputusakan. Tentu saja tahapan ini akan melibatkan semua elemen terkait: pemerintah (dinas terkait), masyarakat dan pihak swasta.
Di sisi lain, jenis manfaat yang dihasilkan adalah meningkatkan jumlah usaha wisata, serta objek wisata yang baru. Dari adanya manfaat itu, sudah tentu pendapatan asli daerah (PAD) Halmahera pasti ikut meningkat. Mardiasno (2004: 140-141), sumber pendapatan daerah, (a), hasil pajak, (b), hasil retribusi daerah, (c), hasil perusahan milik daerah, (d), lain – lain PAD yang sah.
Artinya dari penjelasan di atas bahwa apabila kunjungan wisata bertambah, usaha bertambah, maka sudah pasti pendapatan daerah pun ikut bertambah. Data pajak yang bersumber dari rumah makan pada 2012 sekitar Rp 63.208.000,00, kemudian pada tahun 2013 sekitar Rp 34.449.000,00.
Selanjutnya pada tahun 2014 berjumlah Rp 27.250.000,00. Tahun 2016, pendapatan daerha menjadi Rp 23.368.000,00. Dari data itu, tentu daerah diuntungkan, sebab, kontribusi sektor pariwisata terhadap PAD dalam empat tahun terlaksana kegiatan Festival Teluk Jailolo, pajak dan retribusi mengalami peningkatan.
Public Policy
Implementasi program adalah upaya dari berbagai pengambil kebijakan untuk mempengaruhi perilaku para birokrat pada level terdepan (streat level beureaucart) agar dapat memberikan pelayanan atau mengatur perilaku atau beberapa target groups.
Pemerintah Daerah sebagai pihak pengambil keputusan harus mampu mengatur bawahan serta pelaksana kegiatan FTJ. Model implementasi kebijakan dibedakan menjadi tiga variabel, pertama, variabel independen: mudah tidaknya masalah dikendalikan berkenan dengan indikator masalah teori teknis pelaksana, keragaman objek dan perubahan seperti apa yang dikehendaki.
Kedua variable intervening: variabel kemampuan untuk menstrukturkan proses implementasi dengan indikator kejelasan dan konsistensi tujuan, dipergunakan teori kausal, ketepatan alokasi sumber dana, keterpaduan hierarki diantara lembaga pelaksana, dan perekrutan pejabat pelaksananya agar supaya terjadi perubahan sebagaimana yang diinginkan.
Content of policy adalah sejauh mana perubahan yang diinginkan dari terselenggaranya FTJ. Sebelum jauh membahas soal itu, perlu dijelaskan terlebih dahulu tentang tujuan dari kegiatan ini.
Peraturan Daerah (Perda) nomor 2 tahun 2012 pasal 7 menyebutkan bahwa, tujuan dari kegiatan ini adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi kerakyataan, meningkatkan kesejesatraan rakyat, memupuk persatuan dan kesatuan, rasa cinta tanah air dan meningkatkan persahabatan antar bangsa, mewujudkan ketahanan budaya dan citra pariwisata, meningkatkan dan mengembangkan kebudayaan dan pariwisata, mengemebangkan pariwisata yang berbasis keasyarakatan (comunity base turist), mempromosikan, memprekenalkan, melestarikan mutu, objek, dan daya tarik wisata.
Dalam proses implementasi kebijakan, peranan pemerintah sangat besar, pada pendekatan ini asumsi yang terjadi adalah para pembuat keputusan merupakan aktor kunci dalam keberhasilan implementasi, sedangkan pihak-pihak lain yang terlibat dalam proses implementasi dianggap menghambat, sehingga para pembuat keputusan meremehkan inisiatif strategi yang berasal dari level birokrasi rendah maupun subsistem-subsistem kebijaksanaan yang lain.
Yang kedua adalah pendekatan secara bottom-up, yaitu pendekatan yang berasal dari bawah (masyarakat). Pendekatan bottom-up didasarkan pada jenis kebijakan publik yang mendorong masyarakat untuk mengerjakan sendiri implementasi kebijakannya atau masih melibatkan pejabat pemerintahan namun hanya pada tataran rendah.
Asumsi yang mendasari pendekatan ini adalah bahwa implementasi berlangsung dalam lingkungan pembuat keputusan yang terdesentralisasi. Model ini menyediakan suatu mekanisme untuk bergerak dari level birokrasi paling bawah sampai pada pembuatan keputusan tertinggi di sektor publik maupun sektor privat.
Dalam pelaksanaannya implementasi kebijakan publik memerlukan model implementasi yang berlainan, karena ada kebijakan publik yang perlu diimplementasikan secara top-down atau secara bottom-up.
Kebijakan-publik yang bersifat top-down adalah kebijakan yang bersifat secara strategis dan berhubungan dengan keselamatan negara, seperti kebijakan mengenai antiterorisme, berbeda dengan kebijakan yang lebih efektif jika diimplementasikan secara bottom-up, seperti kebijakan pengembangan ekonomi nelayan dan sejenisnya. Model ini biasanya lebih dapat berjalan secara efektif, berkesinambungan dan murah, bahkan dapat juga dilaksanakan untuk hal-hal yang bersifat national secutiry. Semoga bermanfaat!(*)