Oleh: Ronny P Sasmita
Direktur Economic Action Indonesia (Econact)
PRESIDEN Jokowi baru saja dinobatkan sebagai Asian of the Year 2019 dari media Singapura The Straits Times. Jokowi dinilai berhasil menjadi pemersatu di dalam negeri maupun di tingkat global. Beliau dinilai memiliki kepiawaian menangani urusan politik dalam negeri yang rumit, pun mahir berselancar dalam berbagai hubungan internasional.
Jokowi disebut telah mencuri perhatian sejak menjadi Wali Kota Solo sampai memimpin RI sebagai negara dengan perekonomian terbesar di Asia Tenggara selama dua periode. Sementara itu, di luar negeri, Jokowi dipuji karena dianggap mampu mengatasi berbagai tantangan strategis dan sukses menempatkan RI di jantung ASEAN beberapa waktu terakhir.
Walhasil, para pemimpin ASEAN akhirnya juga mengadopsi ASEAN Outlook on the Indo-Pacific, yang digagas Indonesia dalam KTT ASEAN di Bangkok, pada Juni 2019. Gagasan itu mengajak negara Asia Tenggara mempertahankan posisi netral di tengah meningkatnya persaingan antara AS dan Tiongkok.
Jokowi juga dianggap sebagai tokoh pertama yang memperkenalkan konsep kerja sama berdasarkan prinsip-prinsip utama, termasuk keterbukaan, inklusivitas, dan sentralitas ASEAN. Publik Indonesia sudah sepatutnya berbangga mendapati pemimpin yang diakui secara regional dan ditasbihkan dengan sebuah perhargaan.
Bagi Jokowi, pembuktian dalam penyelesaian tugas-tugas regional dan global harus segera ditunjukkan, terutama di Asia, mengingat kawasan ini sedang naik daun, sedang dibicarakan, dan terus disorot kiprah progresifnya oleh pemain-pemain utama dunia.
Bagaimana tidak, menurut McKinsey Global Institute Research, pusat gravitasi global sedang bergeser ke belahan Asia. Saat ini Asia sedang mengalami peningkatan daya ungkit, terutama untuk 8 hal, antara lain perdagangan, akumulasi kapital, SDM, pengetahuan, transportasi, dan budaya.
Dari jenis aliran lintas batas global itu, hanya sampah yang mengalir ke arah berlawanan yang mencerminkan sikap Tiongkok dan negara Asia lainnya untuk mengurangi impor sampah dari negara maju. Toh, kita semua tentu sepakat bahwa Asia bukanlah benua sampah.
Sepuluh tahun lalu, pangsa perdagangan barang global dari Asia hanya sekitar seperempat dari total yang telah dicatatkan hari ini. Sekarang angkanya mencapai sepertiga dari perdagangan global. Sungguh luar biasa. Dalam selang waktu bersamaan, pangsa pelancong Asia yang menggunakan pesawat terbang meningkat dari 33% menjadi 40%. Juga pangsa aliran modal meningkat dari 13% menjadi 23%.
Aliran manusia dan modal itu telah memacu akselerasi pertumbuhan kota-kota di Asia. Walhasil, Benua Asia menjadi rumah dari 21 tempat yang menjadi 30 destinasi wisata dunia dan 4 dari 10 tempat yang paling sering dikunjungi. Bahkan, beberapa kota yang dulu kurang terbaca radar para investor global kini mendadak tenar. Misalnya, di Yangon, ibu kota Myanmar, raihan greenfield foreign direct investment (FDI) dalam sektor padat pengetahuan pada 2017 mencapai US$ 2,6 miliar. Meningkat tajam dari awalnya hanya nol pada 2007.
Begitu pula Bekasi, kota kecil di timur Jakarta, telah berkembang menjadi the Detroit of Indonesia (pusat produksi otomotif dan sepeda motor Indonesia). Selama satu dasawarsa, FDI yang mengalir ke industri manufaktur di kawasan tersebut rata-rata per tahun tumbuh 29%.
Kota Hyderabad, ibu kota Negara Bagian Andhra Pradesh di India–yang telah menghasilkan paten lebih dari 1.400 di 2017–juga dengan cepat mengejar silicon valley-nya India di Bangalore.
Bukan hanya aliran modal dari luar yang tumpah menuju Asia. Jaringan intraregional yang dinamis juga menjadi pendorong utama kemajuan Asia. Sekitar 60% total perdagangan Asia terjadi antarnegara Asia yang difasilitasi meningkatnya rantai produksi Asia yang kian terintegrasi.
Pendanaan dan aliran investasi intraregional juga mengalami peningkatan signifikan. Lebih dari 70% pendanaan startup di Asia berasal dari kawasan Asia sendiri. Sementara itu, aliran manusia di Asia juga mengalami kemajuan yang signifikan. Sebut saja 74% pelancong Asia yang juga berasal dari Asia juga sehingga membantu percepatan integrasi kawasan.
Asia Bergelora
Setidaknya terdapat empat kategori ‘Asia’ yang sedang bergelora, masing-masing berada pada tahapan perkembangan ekonomi yang berbeda dan memainkan peranan unik dalam kebangkitan Asia. Asia pertama, Tiongkok, yang menjadi jangkar ekonomi Asia dengan menyediakan konektivitas dan platform inovasi ke negara-negara tetangganya.
Dalam rentang waktu 2013-2017, total FDI yang keluar dari Tiongkok sekitar 35% dari total FDI-nya yang dibelanjakan di Asia dan seperempat investasi itu mengalir ke negara-negara Asia lainnya. Sementara itu, kapasitas inovasi Tiongkok tumbuh sangat pesat. Terbukti, dari 44% aplikasi paten dunia pada 2017 berasal dari Tiongkok.
Grup kedua, ‘Advanced Asia’, yang menyediakan technology dan capital. Dengan total FDI yang keluar US$1 triliun, negara-negara ini telah menginvestasikan 54% di Asia dari total belanja investasinya dalam rentang waktu 2013-2017. Korea Selatan saja menginvestasikan sebesar 33% dari total FDI-nya ke Vietnam. Lalu FDI yang masuk ke Myanmar dari Jepang sekitar 35%, dan 17% ke Filipina.
Lalu grup ketiga, ‘Emerging Asia,’ yaitu kelompok negara-negara Asia yang sedang berkembang, yang menyediakan tenaga kerja, dan pertumbuhan ekonomi potensial akibat peningkatan produktivitas dan konsumsi. Negara-negara ini sudah cukup lama terintegrasi intens dengan kawasan Asia. Pangsa aliran barang, modal, dan manusia, tercatat sekitar 79% dari total aliran di negara-negara Asia. Kelompok ini yang tertinggi di antara 4 kelompok Asia. Dan RI masuk dalam kelompok ini.
Grup keempat, ‘Frontier Asia dan India,’ yang merupakan wilayah Asia dengan rata-rata pangsa aliran barangnya paling kecil, yaitu sekitar 31%. Akan tetapi, angka itu sedang mengalami peningkatan karena semakin terintegrasinya kelompok ini dengan kelompok Asia lainnya.
Kelompok ini menawarkan banyak hal, di antaranya tenaga kerja yang relatif muda yang dapat menjadi katalisator pertumbuhan ekonomi Asia, baik sebagai sumber tenaga kerja maupun sebagai pasar yang akan menyerap produksi dari negara Asia lainnya.
Tidak ada perbedaan signifikan di antara keempat kelompok Asia itu, yang ada justru saling melengkapi. Karena itu, semakin terintegrasi akan semakin menjadi kekuatan yang dahsyat bagi kemajuan Asia. Misalnya, ketika suatu negara yang tenaga kerjanya sudah menua, diganti negara lain yang tenaga kerjanya lebih muda.
Umur median penduduk India ialah 27 tahun pada 2015, lebih muda jika dibandingkan dengan Tiongkok yang 37 tahun dan 48 tahun di Jepang, misalnya. Diperkirakan umur median penduduk India akan mencapai 38 tahun pada akhir 2050. Begitu pula ketika upah dan biaya produksi mulai meningkat di suatu negara, negara yang ekonominya masih berada pada tahap awal pembangunan akan menggantikan aktivitas produksi untuk barang-barang dengan biaya murah.
Dari 2014 ke 2017, ketika pangsa produksi Tiongkok untuk barang-barang yang menggunakan buruh murah menurun dari 55% ke 52%, pangsa Vietnam justru meningkat 2,2% dan Kamboja juga meningkat 0,4%. Jadi, beberapa waktu lalu para pakar berdiskusi tentang potensi masa depan Asia. Kini, kita menyaksikan potensi itu telah menjadi kenyataan.
Secara faktual, kita telah memasuki ‘abad Asia’, seperti ditulis oleh Parag Khanna. Tidak ada langkah untuk mundur bagi Asia karena Asia sedang menapaki masa-masa kebangkitannya.
Dan Jokowi, yang baru saja mengantongi penghargaan dari pemimpin-pemimpin ASEAN, harus membuktikan bahwa Indonesia akan memimpin kawasan ini untuk menyongsong kejayaan Asia dan memaksimalisasinya untuk kemakmuran semua penduduk kawasan, utamanya Indonesia. Semoga.(*)
Sumber: https://mediaindonesia.com/read/detail/275962-jokowi-dan-peluang-asia