Opini

Memprioritaskan Rasa Aman Warga Negara

×

Memprioritaskan Rasa Aman Warga Negara

Sebarkan artikel ini
Ikhsan Yosarie

Oleh: Ikhsan Yosarie

Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute

 

PASCAKONFIRMASI dua orang di Depok sebagai kasus pertama pasien positif virus korona atau covid-19 di Indonesia pada 2 Maret lalu, jumlah pasien terus bertambah. Per Selasa (31/3), data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 menunjukkan total jumlah kasus positif covid-19 di Indonesia mencapai 1.528 kasus. Dari jumlah tersebut, 136 meninggal dan 81 sembuh.

Wabah ini secara eksplisit berimplikasi kepada ketidakterpenuhannya dua komponen utama dalam keamanan manusia, yakni bebas dari rasa takut (freedom from fear) dan bebas atas apa yang diinginkan (freedom from want). Dengan kondisi demikian, sudah seharusnya pengarusutamaan perspektif keamanan manusia dilakukan karena subjek atas keamanan bukanlagi negara (state oriented), melainkan manusia (human oriented).

UNDP (2004) menempatkan keamanan kesehatan sebagai salah satu dari 7 komponen keamanan manusia sehingga pertanyaannya bagaimana pemerintah menjamin rasa aman warga negara dalam wabah covid-19?

Melalui covid-19 ini pun kita semakin memahami bahwa ancaman terhadap rasa aman warga negara tidak lagi hanya berupa ancaman militer atau berkaitan dengan teritorial, tetapi juga meliputi ancaman politik, ancaman sosial, ancaman ekonomi, ancaman ekologis, dan ancaman pandemic seperti sekarang.

Rasa Aman

Setelah ditetapkannya covid-19 sebagai pandemi oleh WHO, negara seharusnya bisa lebih agresif dalam mengambil tindakan pencegahan dan perawatan. Jika pemerintah bisa dengan cepat melacak, mendeteksi, menguji, merawat, dan mengisolasi orang-orang yang diduga terinfeksi covid-19, diharapkan dapat menghentikan penyebaran sehingga pemerintah dan tim medis terfokus pada penanganan dan perawatan mereka yang terinfeksi saja, terutama dalam konteks pemerintah, penanganan, dan kebijakan berbasis keamanan manusia harus diarusutamakan.

Hal ini sejalan dengan amanat konstitusi yang menyebutkan bahwa negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.

Beberapa arahan dan kebijakan Presiden Jokowi dalam penanganan virus ini patut diapresiasi karena sejalan dengan upaya memberikan rasa aman dan memastikan keamanan kesehatan masyarakat. Misalnya, terkait perlindungan maksimal kepada para dokter, tenaga medis, dan jajaran yang berada di RS yang melayani pasien terinfeksi covid-19 dan pemberian insentif bagi para dokter, perawat, dan jajaran RS yang bergerak dalam penanganan covid-19 ini. Yang tak kalah penting berupa memastikan ketersediaan kebutuhan alat-alat kesehatan, seperti masker, hand sanitizer, dan ketersediaan serta stabilitas harga bahan pokok yang dibutuhkan masyarakat.

Namun, kebijakan it tentu tuidak cukup hanya sekadar imbauan. Presiden harus memastikannya di lapangan dan membuka diri terhadap kritikan dan informasi-informasi yang beredar di media untuk di-crosscheck. Substansi arahan dan kebijakan tersebut seharusnya sudah dilakukan jauh-jauh hari.

Di awal wabah ini meluas, pemerintah justru membuat kebijakan yang kontradiktif dengan pencegahan penyebaran virus ini karena pemerintah masih berupaya menggenjot sektor pariwisata ketika tengah mewabahnya covid-19 melalui wacana memberi diskon intensif sebesar 30% bagi wisatawan dalam ataupun luar negeri. Bahkan pemerintah menganggarkan Rp72 miliar untuk mendanai pengguna media sosial atau influencer dalam paket insentif pariwisata guna menangkal efek negatif penyebaran covid-19. Anggaran senilai Rp72 miliar ini diklaim dapat meningkatkan promosi pariwisata sehingga lebih banyak orang mau bepergian ke destinasi di Indonesia. Di sisi lain, negara-negara lain justru tengah memperketat arus ke luar-masuk negaranya.

Tidak hanya perihal kebijakan, Presiden pun juga perlu memastikan statement jajarannya tidak menimbulkan kontroversi di publik. Misalnya, ketika belum ditemukan pasien positif covid-19, salah satu menteri berkelakar bahwa Indonesia hingga saat ini belum ditemukan kasus itu karena masyarakatnya memiliki kekebalan tubuh.

Kekebalan tubuh itu dimiliki lantaran setiap hari gemar makan nasi kucing. Menteri lainnya juga sempat meminta masyarakat berdoa dan salat istigasah untuk menghadapi virus covid-19. Ada juga wacana sertifikasi bebas covid-19 bagi warga yang datang dari luar negeri.

Terkait wacana yang terakhir, juru bicara penanganan covid-19, Achmad Yurianto, justru mengatakan sertifikasi tersebut tidak ada gunanya. Untuk memastikan hal-hal pokok, seperti masker, hand sanitizer, sembako, kelengkapan, dan insentif tenaga, justru akan lebih berdampak positif dan memberikan rasa aman kepada masyarakat ketimbang memprioritaskan persoalan investasi, pariwisata, dan TKA.

Harus Bergerak Cepat

Akibat wabah ini, masyarakat seakan menaruh kecemasan berinteraksi dengan orang lain. Sekolah-sekolah diliburkan dan kantor-kantor sebagian juga diliburkan atau kerja dari rumah. Tempat tempat keramaian juga berkurang signifikan pengunjungnya.

Untuk berkegiatan pun masyarakat sudah memakai masker. Sebelum dan sesudah beraktivitas, atau menyentuh sesuatu, membersihkan tangan dengan sanitizer sudah menjadi rutinitas. Semua dilakukan dalam rangka mencegah penyebaran virus yang sudah massif.

Implikasi lainnya dari kondisi dan perilaku seperti ini ialah harga barang-barang seperti masker dan hand sanitizer meroket dari belasan dan puluhan ribu menjadi ratusan ribu, bahkan menjadi barang langka.

Kalaupun ada, orang-orang kaya berbondong untuk memborongnya. Akibatnya, kelas menengah ke bawah menjadi korban dari kecemasan berlebihan kelas menengah ke atas.

Sejak massifnya penyebaran covid-19, ruang-ruang interaksi masyarakat berkurang signifikan. Tiap-tiap warga negara merasa takut, cemas, dan tidak aman terhadap virus ini. Berkurangnya ruang-ruang sosial itu salah satunya terasa di commuterline.

Sedikit berbagi cerita,beberapa hari ini meskipun tidak dapat dijadikan rujukan utama perjalanan–sayamenggunakan commuterline untuk rute Depok terasa sangat sepi, bahkan untuk jam-jam yang tergolong sibuk,

seperti pukul 09.00 dan pukul 16.00. Saking sepinya, saya bisa duduk santai di kursi yang disediakan, bahkan setelah melewati dan berhenti di beberapa stasiun. Padahal, di situasi normal, rute ke Depok menjadi salah satu rute yang padat dan bersesakan. Di tiap-tiap stasiun, terutama Manggarai dan Tanah Abang, orang-orang bersesakan untuk naik commuterline rute Depok ini.

Rasa tidak aman masyarakat juga terlihat dari respons saat orang batuk atau bersin. Beberapa kali saya menggunakan commuterline tersebut, para penumpang seperti fobia dengan orang bersin dan batuk. Ketika ada penumpang lain yang bersin atau batuk, sontak kejadian itu mengundang perhatian penumpang lainnya. Tidak jarang, orang yang ada di sebelah langsung mengambil jarak.

Pada akhirnya, penanganan penyebaran covid-19 yang tidak maksimal, termasuk perihal ketidakbijaksanaan pemilihan prioritas, hanya mengakibatkan memperpanjang barisan kegelisahan dan ketidaktenangan sosial.(*)

(Sumber: https://mediaindonesia.com/read/detail/300352-memprioritaskan-rasa-aman-warga-negara)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *