Maluku UtaraOpini

Menakar Penerapan CSR

×

Menakar Penerapan CSR

Sebarkan artikel ini
Mutlaben Kapita

Oleh: Mutlaben Kapita (Pemuda Adat Modole)

Hutan yang lebat menjadi gundul, sungai yang jernih berubah jadi kabur. Ruang hidup masyarakat pun kian terdesak akibat eksploitasi tambang yang kian masif. Adalah potret yang dirasakan oleh masyarakat di daerah yang kaya akan sumber daya mineral. Pada titik ini, negara sebagai pemberi Izin Usaha Pertambangan (IUP) harus menjamin kelangsungan hidup masyarakat terdampak.

Sebagai bentuk tanggung jawab, negara kemudian mengatur kewajiban perusahaan melalui Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pasal ini menegaskan bahwa perusahaan yang bergerak di bidang atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan—biasa dikenal sebagai Corporate Social Responsibility (CSR).

Antara Kewajiban atau Sukarela

Namun dalam praktik, CSR kerap dipahami sempit. Pemaknaan CSR dipersepsikan seperti kegiatan amal yang diberikan secara sukarela bukan kewajiban. Sehingga ada perusahaan dalam pelaksanaan program CSRnya sekadar bagi-bagi bantuan yang sifatnya jangka pendek. Bahkan ada perusahaan yang abai dengan tanggung jawab sosial kepada masyarakat sekitar tambang.

Padahal, secara filosofis, perusahaan bukan hanya entitas pencari untung. Beth Stephens (2002) menegaskan bahwa korporasi tak cukup hanya mencari laba; ia juga harus memperhitungkan dampak sosial dan ekologis dari kegiatannya. Bahkan bagi perusahaan sendiri, CSR bukan beban, tapi investasi. Studi Pratiwi (2012) menyebutkan bahwa pelaksanaan CSR yang tepat dapat meningkatkan citra, memperkuat hubungan dengan pemangku kepentingan, serta memastikan keberlanjutan bisnis itu sendiri. Clark (2000) juga mencatat bahwa reputasi perusahaan sangat dipengaruhi oleh kepeduliannya terhadap masyarakat dan lingkungan.

Kondisi di Maluku Utara

Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Maluku Utara, Julfikar Sangaji menyebut, tercatat 127 Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Maluku Utara (Kompas, 19/02/2025). Dari jumlah tersebut, jika semua perusahaan menjalankan CSR secara serius, maka seharusnya kualitas hidup masyarakat di sekitar tambang meningkat signifikan. Namun realitasnya jauh panggang dari api. Banyak warga di kawasan tambang masih dibelit dengan masalah sosial.

Lebih jauh lagi, narasi “provinsi paling bahagia” yang sempat disematkan terhadap daerah yang berjuluk “negeri rempah” ini, terasa ganjil di tengah ancaman kerusakan ekologis dan keterpinggiran sosial oleh masyarakat di kawasan tambang. Ketimpangan ini menjadi bukti bahwa CSR yang diwajibkan oleh undang-undang belum sepenuhnya dijalankan dengan serius.

Rekomendasi Kebijakan

Pertama, program CSR harus berbasis pada social mapping—pemetaan kebutuhan masyarakat yang valid dan partisipatif. Tujuannya agar program yang dijalankan menyentuh akar masalah: mulai dari pendidikan, kesehatan, pemulihan lingkungan, hingga peningkatan kapasitas SDM lokal melalui pelatihan dan pemagangan. CSR yang baik tidak hanya menjawab kebutuhan sekarang, tapi juga menjamin masa depan masyarakat pasca-tambang.

Kedua, Pemerintah Provinsi Maluku Utara perlu menyusun regulasi daerah tentang tanggung jawab sosial perusahaan. Regulasi ini penting untuk memperkuat posisi pemerintah daerah dalam mengawasi pelaksanaan CSR dan mewajibkan perusahaan melaporkan aktivitas CSR kepada masyarakat secara berkala melalui social reporting.

Ketiga, perlu keterlibatan aktif masyarakat sipil dan akademisi dalam pengawasan CSR. Tanpa mekanisme kontrol publik, CSR hanya akan jadi laporan manis di atas kertas, bukan perubahan nyata di lapangan.(**)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *