Oleh: Syaiful Arif
Direktur Pusat Studi Pemikiran Pancasila
PERINGATAN Hari Lahir Pancasila yang jatuh pada 1 Juni berbarengan denganpembukaan normalitas baru (a new normality) di musim pandemi. Sebagai pandangan hidup (Weltanschauung) bangsa, seperti apakah pengamalan Pancasila harus kita laksanakan untuk menyambut era ini?
Pertanyaan ini kontekstual karena disebut ideologi, jika Pancasila menjadi cara memaknai hidup, baik secara sosial-kenegaraan maupun individual. Meminjam istilah Jurgen Habermas, Pancasila tidak hanya beroperasi di sistem-administratif, tetapi juga bergerak di dunia-kehidupan (Lebenswelt). Di dunia-kehidupan inilah Pancasila menjadi ‘semesta simbolis’, tempat manusia menjadikan hidupnya bermakna.
Tentu yang dimaksud new normal di musim pandemi covid-19 ialah normalitas baru yang menjaga agar kita terlindungi dari korona. Menjaga imunitas, mencuci tangan, menjaga jarak dalam interaksi, hingga aktivitas sosial yang serbadigital.
Sebelum korona, hal-hal ini tidak kita jadikan normalitas. Mulai kini hingga ditemukan vaksin, hal-hal itu menjadi normalitas baru. Hanya saja, normalitas kesehatan itu adalah pantulan dari normalitas kebajikan yang lebih mendasar, yakni kebajikan dalam rangka ketuhanan, demi menjadi manusia bermartabat yang bermanfaat bagi kehidupan demokratis dan berkeadilan. Sebuah normalitas khas Pancasila. Sudahkah hal-hal itu menjadi normalitas?
Normalitas Asali
Pada pidato kelahiran Pancasila di 1 Juni 1945, Soekarno menegaskan bahwa nilai-nilai yang dinamainya Pancasila itu sudah lama terpendam di bumi Indonesia. Tugasnya lalu hanya menggali, bukan mencipta.
Nilai-nilai itu diciptakan bangsa sehingga mengakar dan abadi. Ini artinya, nilai ketuhanan, kemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan, dan keadilan sosial itu merupakan normalitas lama, dan oleh karenanya, menjadi bagian integral dari bangsa. Inilah yang membuat baik Presiden Soekarno maupun Soeharto menaikkan status Pancasila, dari sekadar dasar negara menjadi kepribadian bangsa.
Oleh Soekarno, kepribadian bangsa itu menjadi alasan bagi suatu Demokrasi Terpimpin, sedangkan bagi Soeharto, kepribadian bangsa harus dihayati dan diamalkan melalui Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4). Pertanyaannya, sebenarnya semulia apakah nilai-nilai asali yang ditawarkan Pancasila itu?
Jika membaca pidato 1 Juni, kita menemukan rumusannya dari apa yang Soekarno sebut sebagai Trisila. Pertama, kebangsaan yang humanistik (sosio-nasionalisme), keterkaitan sila kebangsaan dan kemanusiaan. Ini merupakan paham dan rasa kebangsaan yang diamalkan demi pemuliaan martabat manusia. “My nationalism is humanity”, demikian ujar Soekarno menirukan Mahatma Gandhi.
Sebuah nasionalisme tanpa kemanusiaan, akan menjadi ‘nasionalisme ngelamun, nasionalisme kemenyan’ yang kakinya tidak berjejak di kenyataan penderitaan manusia. Soekarno memang seorang materialis (historis), ia meletakkan nasionalisme di ‘kondisi material’ manusia yang penuh ketimpangan. Kedua, demokrasi yang mewujudkan keadilan sosial (sosio-demokrasi), keterkaitan sila musyawarah dan kesejahteraan sosial.
Jika demokrasi hanya memenuhi hak-hak politik, jadilah ia dictatuur van het kapitalisme, demikian tegas Soekarno. Oleh karena itu, prinsip demokrasi tidak hanya terterap dalam kehidupan politik, tetapi juga ekonomi. Ketiga, ketuhanan yang berkeadaban (sosio-religius), keterkaitan sila ketuhanan dengan semua sila.
Sebuah cara bertuhan minus ‘egoisme keagamaan’ sehingga melahirkan sikap saling menghormati. Sebagai mantan aktivis Sarekat Islam, Soekarno juga mengembangkan ketuhanan yang sosialistik sehingga Islam selalu mengutuk ketimpangan ekonomi akibat ketidakadilan struktural. Berbagai nilai yang mulia ini merupakan normalitas lama yang tidak juga menjadi normalitas, apalagi normalitas baru.
Segala program nasional penguatan Pancasila juga belum berhasil mewujudkannya. Mulai penguatan Pancasila melalui Manipol-USDEK (Manifesto Politik-UUD 1945, Sosialisme, Demokrasi dan Ekonomi Terpimpin, serta Kepribadian Indonesia) di era kepresidenan Soekarno sendiri.
Hingga Penataran P-4 yang memang menghapus ide-ide kiri Soekarno tersebut. Apalagi upaya pe nguatan kembali Pancasila di masa kini, yang belum jelas blue print dan garis besarnya. Penguatan Pancasila di era kini memang ingin membangun ‘normalitas Pancasila’ melalui proses habituasi: menjadikan Pancasila habitus keseharian masyarakat.
Namun, berbeda dengan Orde Lama dan Orde Baru yang memiliki konsep makro yang jelas, yakni penguatan era kini tak terlihat konsepnya.
Normalitas Progresif
Lalu, bagaimana ideal membangun ‘normalitas baru’ kehidupan bangsa berdasarkan Pancasila? Yudi Latif dalam Wawasan Pancasila, Bintang Penuntun untuk Pembudayaan (2018) memiliki resepnya.
Untuk membangun ‘normalitas baru Pancasila’, dibutuhkan penafsiran progresif terhadap lima sila berdasarkan konteks kebangsaan kontemporer. Hal ini dilakukan dalam beberapa langkah. Pertama, memperluas makna Ketuhanan Yang Maha Esa, tidak sekadar keimanan pada Tuhan dengan semangat toleransi. Ia harus dikembangkan menjadi ‘kultur keagamaan’ demokratis menuju suatu kualitas agama sipil (civil religion).
Artinya, praktik bertuhan tidak hanya demi keselamatan individu, tetapi juga keselamatan kehidupan demokratis di ruang publik. Kedua, nasionalisme kita harus dikembangkan demi terbentuknya kultur kewargaan (civic culture) yang mendidik masyarakat menjadi warga negara demokratik.
Kewargaan demokratik ini membuat warga lebih sadar akan hak asasi manusia dan prinsip kesetaraan di hadapan hukum. Ketiga, dengan cara ini, setiap rakyat lalu menjadi ‘agen politikal’ dari peningkatan kualitas demokratisasi di Indonesia. Dan keempat, proses peradaban kultural ini harus disambut pemerintah dengan kebijakan struktural dalam rangka pembangunan negara kesejahteraan (welfare state).
Inilah yang oleh Yudi Latif disebut sebagai ‘revolusi Pancasila’ yang menyeimbangkan relasi ideologi, produksi, dan sistem politik demi tercapainya bangsa demokratis dan berkeadilan. Jika penafsiran progresif ini tidak kita lakukan, Pancasila akan terus menjadi ‘normalitas lama’ yang tak kunjung menjelma normalitas, apalagi ‘normalitas baru’.
Pidato 1 Juni Soekarno telah berhasil menggali ‘normalitas lama’ nilai-nilai Pancasila. Saatnya kita melanjutkannya dengan membangun ‘normalitas baru’ Pancasila, agar pelajaran berharga di musim korona ini tidak lewat begitu saja tanpa makna.(*)
(Sumber: https://mediaindonesia.com/read/detail/317485-menuju-normalitas-baru-pancasila)