HalutOpini

Menyoroti Dinas Pertanian Halmahera Utara Komersialisasi Alat Pertanian

×

Menyoroti Dinas Pertanian Halmahera Utara Komersialisasi Alat Pertanian

Sebarkan artikel ini
Dr. Munawir Muhammad, SP. M. Agr

Oleh: Dr. Munawir Muhammad, SP. M. Agr

(Dosen Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian dan Perikanan Universitas Muhammadiyah Maluku Utara & Bendahara Pemuda Muhammadiyah Maluku Utara)

Dinas Pertanian Kabupaten Halmahera Utara kembali menjadi sorotan publik. Setelah sebelumnya diduga melepas aset excavator, kini muncul pengakuan terbuka dari kepala dinas bahwa traktor bantuan pertanian merek Johndeere memang disewakan kepada petani. Untuk menutupi biaya operasional, perbaikan, dan gaji operator. Ironis, karena alat yang dibeli dari dana publik kini berubah fungsi menjadi sumber pemasukan dengan skema sewa, bukan alat bantu langsung seperti yang seharusnya diberikan kepada petani.

Penggunaan traktor bantuan melalui skema sewa menunjukkan penyimpangan serius dari tujuan awal pengadaan alat pertanian. Pemerintah daerah, melalui dinas terkait, semestinya bertindak sebagai fasilitator dan pemberdaya petani. Pengembangan sektor pertanian, bantuan seperti traktor ditujukan untuk mempercepat proses olah lahan, meningkatkan efisiensi, dan menekan biaya produksi. Namun ketika alat tersebut justru disewakan dengan tarif tertentu, apalagi tanpa kejelasan, maka niat baik program berubah menjadi beban baru bagi petani kecil.

Dalih bahwa dana sewa digunakan untuk membayar utang ke pihak bengkel atau operasional dinas patut dipertanyakan. Mengapa tidak ada alokasi pemeliharaan yang tercantum dalam rencana pengadaan sejak awal? Apakah APBD begitu tidak siap sehingga traktor yang rusak harus diperbaiki dengan dana utang? Ketika anggaran tidak mampu menjamin keberlanjutan fungsi alat pertanian, maka jelas ada masalah dalam perencanaan dan manajemen anggaran sektor pertanian Halmahera Utara. Dan bila benar alat tersebut ditarik oleh bengkel atas permintaan dinas, maka peran kontrol atas aset negara semakin kabur.

Yang lebih mengkhawatirkan adalah ketidakjelasan dasar hukum dari skema penyewaan ini. Kepala dinas menyebut adanya surat yang mengatur tarif sewa, namun tidak menyebut apakah surat tersebut merupakan peraturan resmi atau hanya surat internal. Tidak ada transparansi mengenai apakah dana masuk ke kas daerah atau tidak. Dalam kondisi demikian, sangat mungkin terjadi penyalahgunaan kewenangan, potensi gratifikasi, dan praktik pungutan liar yang merugikan petani dan merusak kepercayaan publik terhadap program pemerintah.

Dengan demikian, pengembangan pertanian, komersialisasi alat bantuan semacam ini bertentangan dengan semangat kedaulatan pangan. Ketika petani justru harus “menyewa” bantuan dari negara, artinya negara gagal memahami realitas keterbatasan ekonomi petani kecil. Apalagi di wilayah seperti Halmahera Utara yang sebagian besar petaninya masih bergantung pada pola pertanian tradisional dan subsisten. Tanpa intervensi serius dari pemerintah, lembaga pengawas, dan DPRD, maka kebijakan ini akan menjadi preseden buruk di masa depan.

Sudah saatnya Dinas Pertanian Halmahera Utara melakukan refleksi total. Fokus pembangunan pertanian bukan pada bagaimana menghasilkan pendapatan dari alat, melainkan bagaimana meningkatkan kesejahteraan petani secara menyeluruh. Alat bantu seperti traktor bukan komoditas dagang, melainkan instrumen keberdayaan. Dan pemerintah, pada hakikatnya, bukan pedagang, tapi pelayan publik yang bertanggung jawab atas amanat pembangunan.(**)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *