Opini

Peluang Investasi di Balik Perang Dagang

×

Peluang Investasi di Balik Perang Dagang

Sebarkan artikel ini

Oleh: Ronny P Sasmita
Direktur Eksekutif Economic Action Indonesia/Econact

 

PERUSAHAAN elektronik asal Taiwan, Pegatron, akan merelokasi pabriknya dari Tiongkok ke Indonesia. Pabrik tersebut memproduksi chip untuk produk smartphone buatan Apple, iPhone. Menurut Direktorat Jenderal Ketahanan, Perwilayahan dan Akses Industri Internasional (KPAII), Kementerian Perindustrian, Pegatron telah menandatangani letter of intent untuk berinvestasi di Indonesia. Dana yang disiapkannya antara Rp10–15 triliun (antara US$695 juta hingga US$1 miliar).

Untuk itu, karena investasinya bersifat penanaman modal asing (PMA), Pegatron akan menggandeng mitra lokal, yakni PT Sat Nusapersada. Kabar soal rencana kerja sama itu sebelumnya telah tersebar sejak Desember 2018.

Dalam keterbukaan informasi PT Sat Nusapersada yang disampaikan perseroan ke Bursa Efek Indonesia (BEI) disebutkan, alasan utama Pegatron pindah ialah perang dagang antara Tiongkok dan AS. Hal itu membuat produk yang dibuat di Tiongkok dikenakan tarif tambahan jika dijual di AS.

Maka dari itu, solusi yang mereka ambil ialah dengan merelokasi lokasi berproduksi, dalam hal ini, ke Indonesia. Namun, perusahaan asal Taiwan itu tidak memindahkan produksinya keseluruhan ke Indonesia. Dengan kata lain, Indonesia masih berposisi sebagai alternatif atributif untuk kebijakan-kebijakan relokasi produksi dari perusahaan-perusahaan luar.

Dikabarkan, Pegatron juga merelokasi basis produksi perangkat router kembali ke negeri asalnya, Mexico serta India, yang niatnya juga untuk menghindari tarif yang dikenakan AS apabila produk tersebut diekspor ke Amerika.

Memang, ketidakpastian global akibat memanasnya situasi geopolitik dan perang dagang antara AS dan Tiongkok menyebabkan banyak perusahaan manufaktur dengan basis produksi Tiongkok berbondong-bondong melakukan relokasi industri ke wilayah lain. Asia Tenggara dilirik sebagai salah satu kawasan industri perusahaan-perusahaan itu untuk menghindari tarif impor AS.

Sebagaimana telah diketahui, eskalasi perang dagang AS-Tiongkok terus memanas akibat kenaikan tarif impor yang dijatuhkan AS. Presiden AS, Donald Trump, dalam beberapa kesempatan menyatakan bakal mengganjar Tiongkok dengan mengenakan tarif impor sebesar 25% atau senilai US$200 miliar (setara Rp2.800 triliun). Total ada sekitar 5.700 produk Tiongkok dikenakan tarif impor AS

Tak terima perlakuan tersebut, Tiongkok pun ikut membalas dengan pengenaan tarif sebesar 10% untuk produk AS senilai US$60 miliar. Tercatat ada 5.140 produk AS akan dikenakan tarif tambahan dan mulai diberlakukan per 1 Juni 2019.

Aksi saling balas tersebut menjadikan pelaku usaha di tiap-tiap negara gerah. Menurut NNA Business News, berdasarkan survei yang dilakukan Kamar Dagang Amerika (American Chamber) yang beroperasi di Tiongkok serta Shanghai, sekitar 74,9% responden melihat pengenaan tarif AS dan Tiongkok bisa berdampak buruk pada bisnis mereka. Amcham Tiongkok terdiri atas sekitar 900 perusahaan AS. Survei yang digelar antara 16 Mei-20 Mei itu melibatkan hampir 250 responden.

Hasilnya, 52,1% responden percaya bahwa tarif yang lebih tinggi dapat mengurangi permintaan produk mereka. Sementara itu, lainnya menyatakan perselisihan perdagangan akan membuat biaya produksi yang lebih tinggi dan menjadikan produk yang mereka hasilkan dijual lebih mahal.

Masih menurut hasil survei yang sama, akibat situasi yang semakin memanas antara AS-Tiongkok, sekitar 40% responden sedang mempertimbangkan atau telah merelokasi pabrik ke luar Tiongkok. Untuk negara atau kawasan utama yang dituju, 24,7% responden memilih Asia Tenggara dan 10,5% Meksiko. Kurang dari 6% responden mempertimbangkan untuk pindah atau telah kembali ke negara asalnya, yaitu AS.

Terkait dengan investasi, 35,3% responden menyatakan tetap bertahan dan mengadopsi strategi ‘memproduksi di Tiongkok, untuk pasar Tiongkok’. Sementara itu, 33,2% memilih menunda dan membatalkan investasi di ‘Negeri Tirai Bambu’.

Berdasarkan data Centennial Asia Advisors, sejumlah perusahaan manufaktur asal AS, Jepang, dan Taiwan yang memiliki basis produksi di Tiongkok, merelokasi pabriknya ke Mexico atau Asia Tenggara. Meski demikian, dari beberapa perusahaan tersebut, sedikit sekali yang mengarahkan investasinya ke Indonesia.

Sebut saja misalnya produsen motor gede (moge) Harley Davidson yang memilih Thailand sebagai basis produksinya yang baru untuk menghindari sanksi tarif AS, sekaligus mendekatkan diri ke pasar Asia.

Kemudian ada pula perusahaan manufaktur elektronik Jepang, seperti Daikin yang memindahkan produksi mesin kompresor ke Thailand dan Malaysia untuk menghindari pengenaan tarif AS dan menghindari naiknya ongkos tenaga kerja Tiongkok.

Begitu pula dengan produksi laptop Sharp yang saat ini ditangani anak perusahaan Sharp Dynabook di Tiongkok. Dikabarkan lini produksi perusahaan sedang disiapkan untuk dipindahkan ke fasilitas di Taiwan atau Vietnam yang dijalankan Sharp atau perusahaan lain yang berada di bawah Jon Hai Precision Industry Group.

Sayangnya, nama Indonesia tak banyak muncul sebagai negara alternatif untuk relokasi produksi. Indonesia masih kurang menarik jika dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Kamboja, Vietnam, dan Thailand.

Bahkan di ranah domestik pun, kita kurang familier dengan skema-skema investasi yang menarik yang akan mendatangkan banyak investor luar. Misalnya saat ini, banyak perusahaan menggunakan skema investasi China+1. Artinya, selain melakukan investasi di Tiongkok, perusahaan juga melakukan investasi di negara sekitarnya yang dekat dengan rantai pasok regional, tenaga kerja yang relatif murah, dan belanja pemerintah yang besar untuk menarik investasi.

Salah satu contohnya Bangladesh, yang dianggap menarik lantaran upah buruh yang murah. Kemudian, Vietnam juga menjadi basis investasi baru karena regulasinya yang mudah, pekerja lebih terampil dan murah, serta infrastruktur memadai.

Sementara itu, Malaysia juga dianggap memiliki teknologi infrastruktur yang sangat baik. Pun Thailand sudah menjadi pemain utama untuk sektor otomotif dan dianggap ramah terhadap investor luar.

Berbeda dengan negara-negara itu, Indonesia yang memiliki banyak potensi, justru dianggap masih memiliki beberapa ganjalan, dari birokrasi, SDM, masalah perburuhan, dan masalah pengupahan, yang semuanya terkait langsung dengan kenyamanan berusaha di dalam negeri.

Untuk itu, mau tak mau beban-beban tersebut harus diselesaikan agar Indonesia juga bisa menikmati berkah perang dagang dalam bentuk relokasi investasi, terutama dari Tiongkok.(*)

Sumber: https://mediaindonesia.com/read/detail/242161-peluang-investasi-di-balik-perang-dagang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *