Oleh: Trisno Mais, SAP, MSi (candidat)
Mahasiswa Domisili Desa Buo Loloda, Malut
BELAKANGAN ini media sosial (medsos) nyaris tak melewatkan sejumlah komentar terkait dinamika pilpres. Sejumlah pihak ikut angkat bicara menyikapi proses politik yang baru saja kita lewati. Meski begitu, silang pendapat tak berbuntut panjang, Kamis, 20 Juni 2019 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) resmi mengeluarkan keputusan yang final dan mengikat.
Dengan begitu kelompok yang bersitegang sontak kompak redup. Spekulasi politik yang terlanjur berseliweran di Sosmed pun berhenti sejenak. Kampret dan cebong hilang. Meski begitu, komitmen sejumlah partai politik dipertaruhkan. Pasalnya setiap kubu bisa memilih jalan sendiri. Melebur ataupun kendor dengan tawaran kelompok yang menang.
Sepanjang pemilu kemarin, suasana politik jadi ekstrem. Pemilu didikriminalisasi, konon lebih dilihat sebagai ‘akar masalah’ daripada ‘solusi’, ‘manipulatif’ ketimbang ‘transparan’. Demokrasi seakan melahirkan ribuan masalah. Jika kita melihat kebelakang (dibaca Pilpres 2019), ada banyak petugas penyelenggara Pemilu 2019 yang meninggal. Terdata keseluruhan petugas yang tewas mencapai 554 orang, baik dari pihak Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) maupun personel Polri.
Berdasarkan data KPU per Sabtu (4/5) pukul 16.00 WIB, jumlah petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal sebanyak 440 orang. Sementara petugas yang sakit 3.788 orang. Jumlah itu bertambah dari hari sebelumnya yaitu 424 orang. Begitu pula dengan petugas yang sakit juga bertambah dari hari sebelumnya yang mencapai 3.668 orang.
Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa, pemilu kali ini menguras banyak energi. Memungkinkan, pemilu yang paling mengorbankan banyak pihak. Makanya perlu ada rekonsilidasi, supaya konflik segara reda dan polarisasi di akar rumput tak melebar.
Negosiasi memang merupakan bagian tak terpisahkan dari politik praktis. Namun, tawar-menawar di ranah ini tak boleh direduksi menjadi arena transaksional. Upaya kedua kubu mencari kompromi harus tetap didasari etika politik.
Magnis Suseno dengan tegas memasukan etika ke dalam lingkungan filsafat, merumuskan etika politik itu menyangkut persoalan hukum, kekuasaan dan peniliaan kritis terhadap legitimasi-legitimasi yang diajukan. Dengan demikian, etika politik juga berfungsi untuk melakukan penelitian terhadap ideologi yang ada.
Senada disampaikan oleh Verkuyl, dia mengatakan bahwa di dalam etika politik, soal asal mula dan sumber kekuasaan tidak dapat dikesampingkan, karena termasuk norma-norma perbuatan penting. Dari uraian di atas, betapa pentingnya etika politik dalam setiap kontestasi politik. Tanpa itu, setiap proses pengambilan keputusan cenderung salah kaprah.
Dalam konteks itu, negosiasi yang dibangun antarkubu harus mengedepankan etika politik. Semua pihak perlu menyadari bahwa negosiasi yang dibangun harus tidak melebur di arena transaksional. Sangat memprihatinkan, apabila benar tujuan rekonsiliasi adalah mendapatkan jabatan di tubuh kabinet. Implikasinya jadi ajang tukar tambah kekuasaan.
Rekonsiliasi politik seusai pemilu tak harus iming-iming mendapatkan jabatan strategis di kabinet pemerintah. Praktik semacam itu buruk bagi potret demokrasi lima tahun ke depan. Suara nyaring kelompok oposisi dipastikan berkurang dalam rapat-rapat DPR, nanti.
Padahal, seyogianya, semua pihak menyadari betapa pentingnya kelompok oposisi. Demokrasi butuh penyeimbang yang berkualitas. Tradisi lompat perahu ke biduk pemenang setelah pemilu usai adalah kebiasaan buruk. Langkah politik semacam itu juga mencerminkan rekonsiliasi yang salah kaprah.
Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (1/7/2019), mengatakan, partainya akan tetap menjadi kekuatan penyeimbang di DPR terhadap pemerintahan Jokowi-Amin. Sikap politik itu akan dilembagakan lebih lanjut melalui forum musyawarah Majelis Syuro PKS. ”Menjadi oposisi yang kritis dan konstruktif adalah pilihan paling rasional dalam kondisi sekarang,” katanya.
Ini sikap politik yang memberikan pendidikan politik terhadap peradaban demokrasi di tanah air. Memang, semua pihak perlu menyadari bahwa peran oposisi yang konstruktif adalah paling rasional dalam memberi fungsi kontrol bagi pemerintah. Dalam soal ini, sikap PKS berbasis edukatif. Rekonsiliasi yang mengedepankan etika politik, maju!
Pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono periode 2009-2014, Partai Gerindra menempatkan posisinya sebagai oposisi pemerintah. Demikian pula 2014-2019 di masa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Dalam rentetan jejak itu, Gerindra cukup berpengalaman sebagai kelompok oposisi. Lanjutkan, dan tingkatkan kualitas kontrol kinerja pemerintah.
Nyatanya, kali ini harus merapat ke kabinet Jokowi – Amin. Padahal jika Prabowo konsisten di luar istana, fungsi kontrol bisa maksimal. Apalagi pasca Pilpres lalu, Prabowo – Sandi meraih dukungan 70 juta lebih (hasil KPU: 68 juta -red). 45 persen itu bukan kecil, besar sekali. Makanya, ini kan bukan masalah Prabowo atau apa, ini masalah suara rakyat.
Demokrasi hanya akan berjalan dengan baik jika terpenuhi dua unsur: pemerintah dan oposisi. Ini memungkinan check and balance–mekanisme yang meminimalisir kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan oleh pemenang. Peran oposisi yang berkualitas sangat perlu untuk mengontrol pemerintah. Asalkan, kedudukan oposisi mampu menyajikan setiap kritik berbasis data, serta mengevaluasi kerja – kerja pemerintah yang berbasis kinerja. Pemerintah harus punya mitra yang sepadan untuk beradu pendapat dan pandangan, apabila tidak, kekuasaan pemerintah berpotensi korup dan menindas.
Kubu yang kalah tetap konsisten, sementara peserta pemilu yang menang tak perlu mengajak untuk berkoalisi dengan pemerintah. Kekuasaan harus dikontrol dan, supaya terjadi keseimbangan kekuasaan. Mewujudkannya, perlu diterapkan prinsip checks and balances. Tanpa mitra untuk silang pendapat, setiap kebijakan pemerintah akan selalu disetujui tanpa banyak pertanyaan. Lama-kelamaan pemerintah akan merasa paling benar, dan arogan.
Merasa didukung mayoritas, mereka bisa dengan ringan menolak segala suara yang berbeda, serta menindas. Apabila ketakutan itu benar terjadi, maka kita selangkah lagi mendekati pada era otoriter yang menafikan kebebasan dan keberagaman.(*)
Respon (1)