Opini

Pendidikan (Berbiaya) Tinggi

×

Pendidikan (Berbiaya) Tinggi

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi

Oleh: Yonvitner
Kepala Pusat Studi Bencana-MSP FPIK IPB

 

 

SETIAP awal tahun ajaran ialah waktu yang menegangkan bagi semua lulusan pendidikan menengah atas mencari pelabuhan yang tepat guna mendaratkan cita-cita pendidikan tingginya. Ada yang mengayuh dayung menuju kampus ternama nasional dengan bekal uang masuk yang besar. Namun, tidak sedikit yang menggantungkan harapan dengan bekal uang ala kadarnya, tapi tingkat kecerdasan yang tinggi.

Pertanyaannya saat ini mana yang menjadi pilihan kampus, menerima calon mahasiswa yang memiliki kantong tebal, tapi standar kemampuan menengah atau kurang, atau memberikan prioritas pada yang memiliki dasar kemampuan intelektual tinggi tapi berkantong tipis. Persoalan ini kemudian dialamatkan kepada perguruan tinggi negeri badan hukum (PTNBH) sebagai kampus otonom.

Dilema PTNBH

PTNBH sebagai kampus yang memiliki otonom akademik dan nonakademik sesungguhnya berhak merencanakan komposisi seperti apa yang pas buat calon mahasiswa masuk ke kampusnya. Sering kali tidak mau terjebak pada angka nilai pendapatan, ada batasan menerima mahasiswa miskin sesuai ambang batas (threshold) yang ditetapkan Kemenristek-Dikti. Hanya, persoalan kampus otonom tidak selesai sampai di situ.

Sudah dapat kita duga karena sesungguhnya kampus PTNBH sudah berhitung berapa pendapatan masing-masing kampusnya untuk mampu menjalankan sistem ajar mengajar dengan dan bertarung menjadi PT terbaik dunia. Dalam hal ini kampus PTNBH akan mempertimbangkan, paling tidak, pertama angka kecukupan biaya pendidikan tahunan bagi terlaksananya pendidikan dengan baik. Kedua, angka kemampuan pendapatan dari uang kuliah tunggal (UKT) sehingga kampus dianggap tidak memberatkan masyarakat. Ketiga, tingkat kemampuan dan elastisitas yang diperoleh kampus dalam menutup lubang kekurangan pemasukan.

Langkah penguatan yang dilakukan kampus dalam menutupi celah kekurangan pendidikan berbiaya tinggi di antaranya; pertama, memperkuat kerja sama dan resources sharing. Kedua, menyusun klasterisasi student intake termasuk pendapatan orangtua dan outstanding program studi. Ketiga, memperjelas status keotonomnian PTNBH, termasuk mencari sumber pendapatan dari pengelolaan aset dan komersialisasi inovasi.

Pertama, dalam hal kerja sama, tidak diragukan lagi hampir semua PTNBH sudah memiliki jaringan yang bagus. Namun, sering kali jaringan kerja sama tidak terdefenisikan dengan baik dalam pokok kerja sama yang mampu membuat kampus lebih mapan. Kampus PTNBH memerlukan dukungan kerja sama hibah maupun resource sharing.

Menjadi unggul dalam akademik, riset dengan output yang berkualitas memerlukan dukungan ruang pendidikan, laboratorium yang memadai. Dalam hal yang terakhir ini, laboratorium berkualitas tidak hanya kampus dengan alat lab yang baru dan canggih, tapi dapat juga berupa area lapangan yang mendukung muncul ruang entrepreneursip. Kemitraan dengan daerah menjadi penting agar para lulusan sewaktu lulus menjadi sarjana yang mampu dan tanggap dalam merespons kondisi lingkungan bangsa sendiri. Jadi, keberadaan kerja sama harus benar benar mampu memberikan warna bagi penguatan kualitas kampus dan masa depan bangsa.

Kedua, dalam hal klasterisasi student intake menjadi input bagi roda perjalanan perguruan tinggi selanjutnya. Sebuah kampus yang berdaya saing, tidak intake rasio yang dijadikan ukuran, tapi juga tingkat competitiveness program studi, termasuk latar belakang mahasiswa. Secara umum program studi profesi masih menjadi target lulusan SMA dari program keahlian umum lainnya. Sebut saja kedokteran, ilmu komputer, ikan dinas, aktuaria, hukum, dan profesi lainya.

Entrepreneurship University

Tidak heran kemudian kampus-kampus berlomba membuka program studi profesi sebagai salah satu ajang dalam memperkuat keuangan. Dengan program studi yang seperti itu biasanya tingkat pendapatan kampus dapat dipacu. Jika dibiarkan terus seperti ini, masa depan kita hanya bersandar pada program profesi nonentrepreneur, lulusan kampus akan semakin terbatas area kompetisinya. Berkaca dari kondisi seperti itu, perguruan tinggi dituntut tidak hanya mengikuti tren, tapi juga harus menjadi trend setter dalam menciptakan peluang kerja dan berusaha sebagai entrepreneuhship university.

Klasterisasi program studi ‘laris’ dan pendapatan orangtua menjadi pilihan dalam penetapan UKT bagi kampus. Seolah-olah terpaksa, calon mahasiswa baru dihadapkan pada pilihan masuk kampus berkualitas dengan program studi (prodi) bergengsi dan mahal atau sebaliknya. Kampus juga terpaksa menjadikan prodi yang peminatnya tinggi sebagai sumber pendapatan. Satu hal yang kemudian menjadi efek buruk ialah potensi risiko buka tutup prodi.

Dengan kata lain, program studi yang tidak laris menjadi tertinggal, sepi peminat walaupun diperlukan bangsa ini. Jika pemerintah tidak membaca situasi ini, ke depan kita akan kehilangan ilmu yang diperlukan bangsa untuk bersaing, seperti pertanian, perikanan, kehutanan, peternakan, dan kelautan.

Pemerintah harus segera memperkuat sistem industrialisasi pertanian, perikanan, dan peternakan sehingga kemudian tercipta lapangan kerja baru yang akan mendorong tumbuhnya minat pada prodi seperti ini.

Ketiga, mendorong pemerintah memperjelas status otonomi PTNBH. Sejak Putusan Nomor 103/PUU-X/2012 pada halaman 215-216 ditetapkan MK, menyatakan bahwa PTNBH merupakan badan hukum publik yang berkewajiban melaksanakan tugas dan tanggung jawab negara dalam penyelenggaraan pendidikan dalam perguruan tinggi. Berlakunya keputusan ini menjadi alarm pemerintah untuk segera menyusun road map PTNBH dan world class university (WCU) secara bersamaan. Namun, yang terjadi kampus PTNBH ter-disrupt dalam pencarian jati diri yang tidak berkesudahan.

Tidak hanya administrasi, riset, kepegawaian dan nomenklatur prodi, serta aset yang mengalami perubahan, tapi juga tata kelola dalam arti umum dan global. Sayang, perubahan yang terjadi tidak makin membuat mudah, tapi menjadi semakin sulit dan administratif. Padahal, yang diharapkan dari PTNBH diawal ialah adanya keleluasaan dalam merancang prodi sesuai kebutuhan bangsa, dukungan aset, dan fasilitas untuk keandalan SDM. Namun, faktanya saat ini PTNBH terjebak dalam ruang administrasi akreditasi, administrasi riset, administrasi kepegawaian, administrasi aset, dan pencairan biaya pendidikan termasuk UKT.

Akibatnya, kampus PTNBH yang awalnya diharapkan dapat berpacu menjadi PTN unggul di dunia malah potensial tertinggal. Kasus sederhana, ketika PTNBH ditantang membuka prodi profesional, seperti prodi kopi, meme, dan penggilingan padi seperti yang disampaikan Presiden Jokowi, tidak serta-merta Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT) bisa menerima karena alasan rumpun ilmu. Jadi, kebutuhan bangsa yang disampaikan presiden harus terganjal oleh administrasi yang tidak mendukung.

Dengan tiga langkah penguatan di atas, penulis berkeyakinan bahwa UKT tinggi yang seringkali dialamatkan kepada PTNBH akan lunas dengan dukungan fasilitas, otonomi penggunaan aset, dan kemudian sistem bisnis inovasi. Untuk itu, dukungan dari Kementrian Keuangan mengenai izin penggunaan aset untuk memperkuat keuangan PTNBH, dukungan Kemenpan dan Rebiro untuk nomenklatur lulusan, BAN PT dalam akreditasi multistage dan Kememristek-Dikti dalam dukungan kepegawaian dan kesejahteraan, serta Kementrian Tenaga Kerja dalam otonomi keprofesian, dan Kemenkominfo dalam dukungan internet of things (IoT) menghadapi persaingan era RI 4.0 mutlak diperlukan.

Dengan otonomi yang lebih paripurna, PTNBH akan hilang dari bayangan kampus mahal, lulusan nganggur, menjadi kampus dengan gudang prestasi dan prestise, termasuk kampus kelas dunia karena atmosfer akademik akan menyatu dalam entrepreneurship, ketersediaan fasilitas, dan hilangnya tekanan terhadap mahasiwa sebab beban biaya pendidikan. Saatnya pemerintah berbenah untuk mewujudkan program penguatan SDM yang dicanangkan presiden mulai dari sekarang.(*)

Sumber: https://mediaindonesia.com/read/detail/249457-pendidikan-berbiaya-tinggi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *