Opini

Pendidikan Karakter, Mau ke Mana

×

Pendidikan Karakter, Mau ke Mana

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi

Oleh: Sidik Nugroho

Pemerhati Pendidikan

 

MATILDA, novel anak karya Roald Dahl, berkisah tentang orangtua yang tak mengenali Matilda, anak mereka yang super cerdas. Saat anak itu berumur hampir lima tahun, ia suka pergi ke perpustakaan, membaca cerita yang ditulis sastrawan-sastrawan ternama. Ia membuat takjub petugas perpustakaan karena memahami cerita-cerita itu, tapi pergi ke sana tanpa sepengetahuan orangtuanya.

Orangtua Matilda menginginkan ia diam di rumah, menonton televisi. Namun, Matilda tak suka menonton televisi, baginya tampak membosankan. Ayahnya tak suka melihatnya membaca buku, menganggap buku tak berguna. Akhirnya, kisah Matilda berkembang hingga tentang beberapa konflik Matilda dengan orangtuanya, juga kepala sekolahnya.

Cerita-cerita Roald Dahl sering lahir dari pengalamannya. Dalam memoar Boy: Kisah Masa Kecil, Roald Dahl berkisah tentang kepala sekolahnya yang memimpin di sekolah-asrama di Repton, suatu ketika diangkat menjadi uskup. Padahal, kepala sekolah itu orang yang kejam.

Begitu membekas ingatan Roald Dahl akan kekejaman guru, senior, dan kepala sekolahnya. Suatu ketika, dia mendengar sang uskup ber­khotbah, hatinya gundah. Ia menulis, “Kupikir ini semua yang membuatku mulai memiliki keraguan tentang agama, bahkan tentang Tuhan. Jika orang ini… ialah salah seorang pengkhotbah pilihan Tuhan di bumi, maka ada yang benar-benar salah dengan urusan ini.” (hlm 185).

Cerita-cerita anak yang ditulis Roald Dahl terkesan lebih liar daripada cerita anak pada umumnya. Tokoh-tokoh jahat yang dimunculkannya ialah para pendidik. Bila kita membaca kisah-kisahnya, ter­utama Matilda, kisah itu dapat mening­galkan sebuah amanat berupa permenungan; sudahkah para orangtua, guru, bahkan negara, benar-benar memiliki pengetahuan akan kebutuhan anak atau siswa?

Perubahan-perubahan Kebijakan

Roald Dahl ialah korban dari pendidikan yang dilaksanakan dengan metode atau pendekatan yang keliru. Saat ini pola pendidikan yang keliru pun dapat berlangsung. Kasus-kasus kekerasan, mirip seperti yang dialami Roald Dahl, akrab terdengar di telinga kita.

Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada 2014, sebanyak 84% siswa pernah mengalami ke­kerasan di sekolah. Data KPAI juga menunjukkan kasus ke­kerasan terhadap anak yang terjadi sejak 2011 hingga 2017 sangat tinggi dan kekerasan terhadap anak yang terjadi di dunia pendidikan berada di urutan ketiga (Media Indonesia, 24/10/2017).

Kekerasan demi kekerasan terjadi, padahal kita sering mendengar ‘pendidikan karakter’ atau ‘penguatan pendidikan karakter’. Kita mungkin lupa bahwa pendidikan karakter dulu–dan saat ini mestinya masih–menjadi fokus pemerintah. Kurikulum 2013 disebut-sebut sebagai kurikulum yang berintegrasi dengan program penguatan pendidikan karakter. Aakan tetapi, bagaimana hasilnya?

Guru-guru malah kerepotan dengan banyaknya administrasi penilaian yang dilakukan. Aspek sikap–karena berhubungan dengan karakter–yang sebelumnya tidak ada di beberapa mata pelajaran, diada-adakan dalam penilaian agar sesuai dengan fokus pendidikan, yaitu karakter. Jadi, berhasilkah pendidikan karakter itu? Tampaknya masih jauh kalau kurang patut disebut sekadar angan-angan. ‘Pendidikan karakter’ mirip dengan ‘revolusi mental’–sering disebut-sebut, tapi tak jelas diimplementasikan dalam hal apa.

Hari demi hari kita membaca berita demi berita tentang berbagai harapan baru di dunia pendidikan. Mendikbud yang baru, Nadiem Makarim, dalam usianya yang masih muda dan sosoknya yang inovatif diharapkan memberi perubahan dan warna baru bagi pendidikan.

Sekarang orang makin ramai membincang perubahan kurikulum. Beberapa hari lalu, Mendikbud menyampaikan rencananya untuk mengganti ujian nasional dengan asesmen kompetensi minimum dan survei karakter yang terdiri atas kemampuan bernalar menggunakan bahasa (literasi), kemampuan bernalar menggunakan matematika (numerasi), dan penguatan pendidikan karakter. Sayangnya, penguatan pendidikan karakter sampai sekarang pun masih berjalan setengah hati.

Masyarakat membutuhkan kebijakan yang benar-benar menghasilkan terobosan yang signifikan dan esensial, bukan sekadar melemparkan wacana-wacana hebat, tapi hanya berhasil pada taraf melahirkan slogan. Pendidikan karakter sejak dulu sudah dicanangkan, tapi dalam pelaksanaannya tak jelas dibawa ke mana dan kita pun kesulitan mengukur capai­an atau hasilnya.

Karakter dan Kasih Sayang

Penguatan pendidikan karakter sangat berhubungan dengan kasih sayang. Guru bisa saja dituntut membuat dan melaporkan setumpuk administrasi untuk menjadi bukti bahwa pendidikan karakter memang dilaksanakan. Namun, tanpa kasih sayang, itu semua semu, sekadar formalitas. Apa pun zamannya, juga kurikulumnya, semangat kasih sayang itulah yang mesti dipelihara. Sekolah mestinya tetap menjadi tempat yang mana kasih sayang dan rasa aman diwujudnyatakan. Ketika ada rasa aman di sekolah, pendidikan pun berlangsung damai.

Namun, lagi-lagi, berdasarkan data KPAI, sejumlah kasus menunjukkan bahwa kekerasan dalam pendidikan masih berlangsung. Sekolah pun menjadi tempat tak aman. Pada paruh semester pertama 2019, terdapat 13 kasus kekerasan seksual di sekolah yang berhasil ditemukan. Pelaku kekerasan terhadap anak ialah kepala sekolah, wali kelas, guru agama, guru olahraga, guru seni budaya, hingga guru komputer (Media Indonesia, 23/7).

Begitulah pada hari-hari ini kita sering mendapat kabar soal ujian nasional yang diganti (baca: dihapus) dan wacana penguatan pendidikan karakter yang dimunculkan kembali. Guru–juga kepala sekolah, masyarakat, dan terutama pemerintah–perlu mengenali apa yang esensial, mendasar, dan urgen bagi pendidikan kita. Para pelajar di seluruh tingkat satuan pendidikan, jangan sampai sekadar menjadi kelinci percobaan dari perubahan kebijakan dan kurikulum yang berkali-kali dilakukan pemerintah.

Kita bisa saja menggagas berbagai rancangan yang hebat dan inovatif untuk memajukan pendidikan, tapi tidak bisa menutup mata bahwa kekerasan dalam dunia pendidikan terus terjadi. Hal itu perlu mendapatkan perhatian dan penanganan yang serius. Malangnya, kekerasan itu justru terjadi saat kita sering menyebut-nyebut penguatan pendidikan karakter.

Segala ide dan wacana dalam dunia pendidikan yang berhubungan dengan istilah ‘internasional’, ‘inovatif’, atau ‘progresif’ pun makin marak dibincangkan. Tentu itu semua terdengar hebat–tapi apakah esensial? Istilah ‘kasih sayang’ makin jauh; padahal itulah napas pendidikan yang esensial, fondasi bagi pendidikan karakter. Tanpa kasih sayang, guru akan sekadar mengajar demi memenuhi kebutuhan hidup. Tanpa kasih sayang, pendidikan mungkin bisa maju, tapi karakter siswa tak menjadi perhatian. Kasih sayang dalam pendidikan, yang dalam hal ini berhubungan dengan keluhuran budi pekerti, mestinya menjadi modal dan pilar pendidikan kita.(*)

Sumber: https://mediaindonesia.com/read/detail/279391-pendidikan-karakter-mau-ke-mana

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *