Oleh: Abd Rahim Odeyani
“Penjabat Kepala Daerah Harus Undur Diri”
Berlakunya UU 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah & Wakil Kepala Daerah secara serentak, mengakibatkan terjadinya kekosongan kepemimpinan di tingkat daerah. Untuk mengisi kekosongan kepemimpinan tersebut diangkat penjabat gubernur dari jabatan pimpinan tinggi madya, sedangkan untuk penjabat bupati atau walikota berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama.
Pengisian jabatan kepala daerah yang kosong tersebut, sejatinya adalah merupakan upaya untuk tetap menjamin terpenuhinya pelayanan publik dan tercapainya kesejahteraan masyarakat di daerah. Pasal 7 ayat (2) huruf q UU Nomor 10 Tahun 2016 telah mengatur ketentuan di mana, seorang bakal calon kepala daerah atau bakal calon wakil kepala daerah tidak sedang berstatus sebagai penjabat (Pj) kepala daerah.
Lebih lanjut penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf q UU Nomor 10 Tahun 2016 berbunyi: Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota mengundurkan diri untuk mencalonkan diri menjadi Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, atau Wakil Walikota “Ketentuan tersebut merupakan norma yang memitigasi potensi abuse of power. UU Pilkada ingin menjaga terwujudnya kepemimpinan pemerintah daerah yang berintegritas & berkeadilan pada saat dipimpin oleh penjabat kepala daerah,”
Mengacu pada dasar pijakan diatas, maka secara Etik & moral maupun tidak menimbulkan multi tafsir dan presepsi negatif atas penyalahgunaan kewenangan yang di miliki saat ini, maka seorang penjabat kepala daerah yang ingin mencalonkan diri sdh harus mengundurkan diri secara terbuka (***)