Opini

Pilpres 2019 dan Neogeopolitik Indonesia

×

Pilpres 2019 dan Neogeopolitik Indonesia

Sebarkan artikel ini

Oleh: Ribut Lupiyanto
Deputi Direktur Center for Public Capacity Acceleration (C-PubliCA)

 

PEMILIHAN umum khususnya pemilihan presiden (pilpres) tidak hanya menyita energi bangsa Indonesia, tetapi juga menarik secara internasional. Daya tawar geopolitik Indonesia cukup kuat dan diperebutkan banyak negara. Arah kepemimpinan ke depan menjadi penting bagi negara-negara tersebut.

Indonesia tidak boleh terlena, apalagi terbuka celah masukknya intervensi negara lain dalam kontestasi demokrasi. Selama perjalanan bangsa terus muncul beragam tantangan dan ancaman baik dari internal maupun eksternal. Capres yang bertarung mesti memiliki visi besar dalam menguatkan posisi strategis geopolitik Indonesia.

Pascapeta Baru

Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman telah memperbarui peta NKRI pada 2017. Perubahan peta terletak pada perbatasan laut Indonesia dengan negara lainnya, di antaranya yang mencolok ialah nama Laut China Selatan diganti menjadi Laut Natuna Utara.

Penggantian nama saat itu langsung menyulut protes keras dari Tiongkok. Namun, pemerintah Indonesia tetap bersikeras bahwa pembaruan nama laut masih berada dalam zona ekonomi eksklusif (ZEE) 200 mil laut Indonesia. Negeri ini berhasil melewati ujian geopolitik Indonesia berbasis diplomasi dan hukum internasional.

Beberapa pertimbangan mendorong peta NKRI harus diperbarui (Oegroseno, 2017). Pertama, ada perjanjian perbatasan laut teritorial yang sudah berlaku, yakni antara Indonesia-Singapura sisi barat dan sisi timur, serta perjanjian batas zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia dan Filipina yang sudah disepakati bersama dan sudah diratifikasi.

Kedua, adanya keputusan arbitrase Filipina dan Tiongkok yang memberikan yurisprudensi hukum internasional bahwa pulau yang kecil atau karang yang kecil, yang berada di tengah laut yang tidak bisa menyokong kehidupan manusia, tidak memiliki hak ZEE 200 mil laut dan landas kontinen. Konsekuensinya, ada beberapa pulau kecil milik negara tetangga Indonesia yang hanya diberikan batas teritorial 12 mil laut.

Ketiga, pemerintah ingin mempertegas klaim di Selat Malaka dengan melakukan simplifikasi klaim garis batas untuk mempermudah penegakan hukum. Keempat, perlunya memperbarui kolom laut di utara Natuna.

Kelima, di kawasan dekat perbatasan Singapura sudah ada garis batas yang jelas. Dengan demikian, maka peta perlu di-update sehingga aparat keamanan dan penegak hukum dari TNI AL, Bea Cukai, KPLP, akan mudah melakukan patroli di sana karena sudah jelas.

Kharis (2017) menyatakan penetapan peta baru memiliki nilai urgensi positif.

Pertama, meningkatkan kepastian hukum dan kepercayaan diri bangsa dalam mempertahankan teritorial wilayah NKRI. Kedua, bertambahnya potensi sumber daya alam yang bisa dieksplorasi untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Ketiga, peta baru akan membuat batas negara semakin jelas sehingga mengurangi potensi konflik dengan negara-negara yang berbatasan langsung seperti Singapura dan Filipina. Selain itu, dampak langsung dari pembaruan peta ini terkait dengan navigasi kapal yang masuk-keluar wilayah Indonesia.

Selanjutnya, Santosa (2017) menyatakan bahwa penetapan peta baru bukanlah sinyal agresivitas Indonesia. Sebaliknya, sebagai upaya membantu negara-negara lain agar memiliki cara pandang yang sama mengenai batas-batas wilayah negara sehingga tidak saling mengganggu. Indonesia tetap memberi kesempatan kepada dunia internasional untuk menggunakan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) selama tidak bertentangan dengan kedaulatan dan perdamaian.

Visi Geopolitik

Capres mesti memiliki visi untuk merevitalisasi geopolitik dan pengoptimalan geostrategi internasional. Tiongkok berpotensi memberikan tekanan geopolitik dan menyeret dalam konstelasi kawasan. Indonesia mesti memiliki dan menyimpan senjata efektif guna menghadapi raksasa Tiongkok ini.

Indonesia memiliki banyak titik strategis yang membutuhkan penguatan geopolitik. Selain sebagai sumber raw material bagi negara-negara (industri) maju, Indonesia merupakan pasar yang tak pernah mengenyangkan negara maju karena faktor demografi. Berikutnya terkait dengan choke points pada selat-selat dan perairan Indonesia. Dari tujuh selat strategis dunia, empat di antaranya berada di Indonesia. Kondisi ini dapat menjadi bahan posisi tawar yang kuat pada forum diplomasi baik tingkat global maupun regional (Pranoto, 2017).

Indonesia mesti tidak silau terhadap kebesaran dan kekuatan Tiongkok atau negara lain. Asas kesetaraan penting dijadikan motivasi diplomasi. Dasar yang kuat berdasarkan kajian spasial dan hukum internasional tetap harus dipersiapkan.

Negeri ini pernah sukses dalam menentukan batas melalui Deklarasi Djuanda pada 13 Desember 1957. Kala itu, hasil Deklarasi Djuanda lebih dahsyat, yakni luas wilayah kedaulatan RI bertambah 2,5 kali lipat.

Deklarasi Djuanda sempat ditentang negara-negara kuat, seperti Amerika Serikat dan Australia yang berlandaskan kontinen atau daratan. Perjalanan panjang meyakinkan negara lain yang dilakukan para diplomat akhirnya membuahkan pengakuan dengan dimasukkannya konsep negara kepulauan dalam United Nations Convention on the Law of The Sea (UNCLOS) atau Konvensi Hukum Laut PBB pada 1982 (Wongsodimejo, 2012). Kesuksesan ini penting menjadi pembelajaran dan motivasi bagi diplomasi ke depan yang semakin berat mendapatkan tekanan dan tantangan.

Situasi geopolitik di Laut China Selatan sempat panas. Sengketa wilayah terjadi antara beberapa negara ASEAN (Malaysia, Brunei, Vietnam, Filipina), Taiwan, dan Tiongkok. Imbas sengketa mesti diantisipasi tidak merembet ke wilayah negara kita. Pemerintah Indonesia mesti tetap melakukan patroli rutin, guna menguatkan keberadaan negara di kawasan yang menjadi klaim Indonesia.

Indonesia penting membangun poros dan belajar dari negara lain yang bersengketa dengan Tiongkok. Prioritas diplomasi mesti dilanjutkan perjuangannya. Permintaan fasilitasi pihak ketiga yang netral atau badan PBB juga dapat dipertimbangkan jika diplomasi mengalami jalan buntu.

Visi poros maritim dunia yang menjadi andalan pemerintah Jokowi penting ditopang kekuatan geopolitik. Peta baru turut menjadi modal dalam mendukung usaha pencapaian visi tersebut. Modernisasi peralatan TNI AL sebagai penjaga kedaulatan perairan mesti mendapatkan perhatian. Visi geopolitik jangan sampai hanya basa-basi demi keuntungan politik sesaat.(*)

Sumber: http://mediaindonesia.com/read/detail/224634-pilpres-2019-dan-neogeopolitik-indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *