SEJARAH MATRILINEAL DI MINANGKABAU

0
53
rumah adat di Minangkabau

Oleh: Pandu Winata,

(Mahasiswa Universitas Andalas Jurusan Sastra Minangkabau)

Sejarah matrilineal secara turun temurun berdasarkan cerita para tokoh di minangkabau berawal pada masa kepemimpinan Datuk Katumanggungan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang di minangkabau yang kemudian diserang oleh panglima perang kerajaan Majaphit Adityawarman. Majapahit berniat menyerang daerah minangkabau karena daerah minangkabau terkenal sebagai daerah yang cinta akan perdamaian sehingga tidak memiliki angkatan perang maupun kepolisian, karena kerajaan minangkabau memang kerajaan yang tidak menyukai peperangan dan lebih menyukai cara-cara damai, maka Datuk Katumanggungan berupaya keras mencari cara agar peperangan benar-benar terhindar dan tidak terjadi di bumi minangkabau.

Hingga akhirnya Datuk Katumanggungan bersiasat pada saat panglima Adityawarman sampai di bumi minangkabau, maka beliau tidak akan disambut dengan pasukan dan peperangan, melainkan disambut dengan keramah tamahan dan akan dipinang untuk dijodohkan dengan adik kandungnya yang bernama putri Jamilah. Akhirnya sampailah panglima perang Majapahit Adityawarman di ranah Minangkabau.

Adityawarman yang datang dari jawa merasa kaget denganbpenyambutan yang dilakukan oleh tentara minangkabau. Dirinya merasa heran karena Datuk Katumenggungan justru menyambutnya dengan penuh keramahan dan rasa persaudaraan, dan bukannya menyambut dengan bala tentara perang. Utusan dari istana Pagaruyung datang menemuinya dan mengatakan niatnya untuk meminang panglima Adityawarman untuk dinikahkan dengan sang putri dari kerajaan yaitu putri Jamilah yang merupakan adik dari Datuk Katumenggungan. Dan tidak hanya itu demi menghindari perang yang dampaknya akan menyengsarakan rakyat, maka panglima Adityawarman akan diangkat menjadi raja di minangkabau jika bersedia menikah dengan Putri Jamilah.

Tentu saja hal itu membuat sang panglima Adityawarman terkejut dan langsung menerima tawaran itu. Melihat gelagat bahwa panglima Adityawarman akan menerima tawaran itu, maka sang Datuk berusaha mencari cara agar keturunan Putri Jamilah nantinya tetap menjadi orang minangkabau dan agar semua orang tahu bahwa keturunan Putri Jamilah mendapatkan warisan dari kerajaan minangkabau dan bukannya mendapatkan warisan dan kekuasaan dari Adityawarman. Maka akhirnya ditetapkanlah adat Batali Bacambua yang langsung merubah struktur masyarakat.

Minangkabau “Nan dikatokan adat nan batali cambua, iyolah hubungan mamak dengan bapak, dalam susunan rumah tango, sarato dalam korong kampuang. Dek Datuak Parpatiah nan Sabatang, didirikan duo kakuasaan, balaku diateh rumah tango, iyolah tungganai jo rajonyo, nan korong kampuang barajo mamak, rumah tango barajo kali,di rumah gadang batungganai. Dicambua tali malakek”

Yang artinya: “Adat batali bacambua mengatur hubungan antara bapak dan mamak. Intinya, di dalam rumah tangga terdapat dua kekuasaan, pertama kekuasaan bapak, kedua kekuasaan Mamak, yaitu saudara laki-laki dari pihak ibu. Pemikiran itu dibawa Datuk Parpatiah Nan Sabatang pada musyawarah dengan cerdik pandai di balairung sari. Menyadari penting perubahan mufakat didapatkan. Sejak saat itu susunan aturan masyarakat berubah. Dahulu bapak mewariskan kepada anak sekarang harus kepada kemenakan. Dahulu suku didapat dari bapak, sekarang dari ibu.

Ini tidak lebih dari kecerdikan Datuak Parpatiah Nan Sabatang dan Datuk Katumenggungan. Dengan datangnya Adityawarman, ia tetap menginginkan agar kekuasaan tetap berasal dari Datuak Katumanggungan. Dengan waris turun dari mamak, bukan dari bapak ini, nantinya akan memosisikan Aditywarman tidak lebih dari raja transisi bukan raja sebenarnya dari alam Minangkabau. Sebab Datuak Katumanggungan yang menyerahkan kekuasaan padanya, dengan sistem adat yang baru, terkesan hanya menitip kekuasaan. Hingga datang masanya nanti kemenakannya akan lahir dari perkawinan Puteri Jamilah, adiknya dengan Adityawarman.

Cerita tersebut yang secara turun temurun dipercaya oleh masyarakat minangkabau sebagai cikal bakal dari gerakan matrilineal yang masih dijalani oleh masyarakat minangkabau hingga sekarang dimana garis keturunan dan warisanvditetapkan berdasarkan garis keturunan ibu, dan hak perwalian secara adat dari seorang anak bukan terdapat pada ayah kandungnya atau ayah biologisnya, melainkan ada pada paman atau saudara laki-laki ibu yang dalam bahasa minangkabau disebut mamak.

Perubahan bentuk keluarga luas ke keluarga batih, maka banyak nilai-nilai lain yang berubah. Misalnya pergeseran peran mamak dan ayah. Pada masa sekarang, saudara laki-laki ibu (mamak) tidak lagi mempunyai hak dan kewajiban terhadap anak dari saudara perempuannya (kemenakan). Tanggung jawab terhadap anak sepenuhnya terletak di tangan ayah. Pada masa sekarang, ayah bertindak sebagai “ayah biologis” dan juga “ayah sosial”.

Pernyataan dalam tulisan Amri Marzali yang mengatakan “bapak adalah ayah biologis dari anak-anaknya, sedangkan ayah sosial dari anak-anak tersebut adalah mamaknya” tidak akan ditemukan lagi di lapangan (Marzali, 2000: 10-11). Saya menyangsikan etnografi ini merupakan gambaran masyarakat Minangkabau di Silungkang seandainya memang rentang waktu penelitiannya dari tahun 1972 sampai 2000. Gambaran ini hanyalah bentuk yang pernah ada di dalam masyarakat Minangkabau pada masa lalu. Sistem sosial matrilineal di Minangkabau dibentuk berdasarkan kepada ketentuan ketentuan alam yang qodrati.

Secara alamiah yang mengandung, melahirkan, menyusukan, mengajarkan anak berkata-kata dan mendidiknya adalah seorang ibu. Sedangkan ayah sedikit sekali mendapat kesempatan untuk bergaul dengan anak-anak dan memperhatikan kebutuhan kebutuhannya. Seorang ayah lebih banyak berada diluar rumah karena harus mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan istri dan anaknya. Konsekwensinya tidak jarang terjadi anak-anak lebih dekat dan merasa nyaman ketika berada disamping ibunya. Kondisi-kondisi alamiah seperti inilah yang dijadikan sebagai sumber dalam menetapkan suatu sistem sosial di Minangkabau.

Sistem sosial yang ditetapkan berdasarkan kondisi kondisi objektif alamiah tersebut menyebabkan sistem ini menjadi sistem yang universal dan sangat kuat mengakar dalam masyarakat Minangkabau. Sehingga betapapun derasnya arus perubahan yang dibawa merong-rong kekokohan posisinya, dia tetap tegar. Misalnya arus perubahan yang dibawa oleh arus modernisasi ataupun arus merantau. Faktor- faktor tersebut tidak mampu menggeser kedudukan ini, bahkan yang terjadi malah sebaliknya, faktor faktor ini membuat posisinya semakin kuat.

Makanya kekawatiran akan melemahnya sistem matrilineal dan akan bergeser oleh sistem patrilineal tidak perlu menjadi suatu ketakutan yang berkepanjangan sebab sistem ini akan tetap dianut oleh masyarakat Minangkabau, selama masih ada kaum ibu yang mempertahankan citranya dan qodratnya sebagai wanita. Meskipun banyak faktor-faktor yang bertentangan, seperti faktor agama Islam yang mencoba mempertentangkan dengan sistem patrilineal, tapi faktor ini tidak mampu menggoyahkan eksistensi ini. Dimana sampai sekarang masyarakat Minangkabau masih menganut agama Islam, akan tetapi dalam hal ini terjadi proses akomodasi yang seimbang.(***)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here