Opini

Selebrasi Politik Kemanusiaan

×

Selebrasi Politik Kemanusiaan

Sebarkan artikel ini

Oleh: Umbu TW Pariangu
Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang

 

SUASANA Lebaran kali ini menjadi sangat bermakna. Bukan saja karena Tol Trans-Jawa yang sangat ramai dilalui pemudik hingga menembus angka sejuta atau arus mudik yang semakin lancar dan nyaman, yakni angka kecelakaan menurun hingga 64%. Namun, munculnya ‘selebrasi’ yang tidak biasa di panggung politik, yakni kunjungan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) beserta istri masing-masing ke beberapa elite, termasuk sesepuh politik.

Dimulai dari kunjungan mereka ke Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka yang berlangsung secara hangat dan terbuka pada Rabu (5/6), dilanjutkan dengan menyambangi Presiden ke-5 RI sekaligus Ketua Umum PDI Perjuangan di Jalan Teuku Umar, ke kediaman Presiden ke-3 RI BJ Habibie, dan dilanjutkan mengunjungi istri mendiang Presiden ke-4 RI Gus Dur, Sinta Nuriyah Wahid, pada Lebaran ke-2, Kamis (6/6). Yang paling membetot perhatian publik, tentu saja soal silaturahim AHY dan Megawati, dua simpul politik yang selama ini komunikasinya sempat merenggang.

Sulit untuk tidak mengatakan, momen tersebut merupakan ajang silaturahim kebangsaan yang didorong spirit kemanusiaan. Kita tahu, sebelumnya Megawati turut menghadiri pemakaman istri SBY, Ani Yudhoyono, di Taman Makam Pahlawan Jakarta, Minggu (2/6).

Di momen tersebut, SBY dan Megawati pun saling berjabat tangan. Megawati tampak mengucapkan sesuatu kepada SBY dan tersenyum. Senyuman yang oleh banyak kalangan dimaknai sebagai senyum tulus tokoh politik yang menerbitkan secercah harapan kian solidnya para elite, terutama dalam memancarkan aura kesejukan, khususnya bagi panorama politik kita belakangan yang sempat diwarnai ketegangan akibat kontestasi politik.

Modal Sosial

Silaturahim penuh guyub di atas semakin menunjukkan bahwa sekeras apa pun elite bangsa ini diperhadapkan dengan pelbagai konflik kepentingan, nilai-nilai solidaritas dan kemanusiaan tidak akan pernah bisa dinegasi. Apalagi, bangsa ini secara historis telah terbukti dibesarkan modal sosial-kemanusiaan yang dirajut para pendiri bangsa, yang mampu menaruh seluruh platform perbedaan nilai dan kepentingan mereka di bawah fondasi keindonesiaan yang berselimutkan kebinekaan, tetapi tetap satu adanya.

Presiden Soekarno pernah mengatakan bahwa musuh terbesar yang dihadapi bangsa ini ke depan bukan lagi kaum penjajah, melainkan diri sendiri. Hal itu terjadi ketika ‘kawan’ dan ‘lawan’ dalam politik semakin tipis maknanya dan semakin sulit untuk diidentifikasi. Ketika mekanisme pengendalian diri di dalam berpolitik dimatikan watak dan saraf politik egosentris dan narsisisme yang berlebihan. Seperti kata Arnold J Toynbee bahwa peradaban-peradaban mati karena ‘bunuh diri’, bukan karena ‘dibunuh’ dari luar (civilizations die from suicide, not by murder).

Apa yang dilakukan elite kita kemarin bertepatan dengan perayaan Idul Fitri, merupakan simbolitas kekompakan untuk terus mempercantik wajah demokrasi dari luka-luka perseteruan dan luka-luka politik. Bagaimanapun wajah demokrasi harus menemukan eskalasi bobot kualitasnya dalam praktik-praktik politik keseharian yang beresensikan etika, moralitas, kebenaran, dialogis.

Para elite politik punya kewajiban moral untuk menciptakan sistem dan kondisi politik yang berkeadaban, bersikap altruistik dalam memperjuangkan nilai-nilai kebaikan bersama, melebihi dari nilai kebaikan sekelompok orang. Suatu aksi politik yang secara esensial menjauhkan relasi percakapan bernegara dari berbagai benih konflik yang berlarut-larut dan tidak konstruktif.

Sebenarnya, konflik dalam politik pada batas tertentu berguna memperjelas siapa ‘kawan’ dan siapa ‘lawan’ dalam politik sehingga dengan demikian lebih mudah untuk melakukan intervensi dan pegendalian terhadap sistem politik. Namun, itu hanya akan terjadi jika prinsip-prinsip dasar politik, seperti ideologi, rasionalitas, dan penghormatan terhadap nilai-nilai keberagaman melekat dalam orientasi dan budaya politik keseharian.

Sayangnya, dalam konstelasi politik beberapa waktu lalu, justru prinsip-prinsip dasar tersebut perlahan-lahan dibuat memudar. Kontestasi politik seolah-olah hanyalah playing fields alias lapangan untuk bermain-main menurut selera dan kepentingan pragmatis, bukan menurut ideologi politik masing-masing. Akibatnya, rakyat semakin jarang melihat watak kenegaraan terpancar dari panggung politik selain yang mengemuka justru watak pecundang (defeatocrat).

Padahal, gagasan dalam ideologi bisa mengurangi risiko ketidakpastian dalam interaksi sosial terutama di kalangan elite dan di antara elite dan masyarakat. Ia bisa menjadi perangkat penyederhanaan yang efektif, yang dapat digunakan para elite untuk menyatu dengan masyarakat dan sebagai instrumen penyederhanaan dalam pengambilan keputusan (North, 1981).

Memperluas Dialog

Kita sudah melihat entropi politik kemanusiaan diretas di momen Lebaran kemarin. Saat ini kita ingin menyaksikan para elite politik mendiskusikan serius soal ideologi atau gagasan kebangsaan pasca-pemilu. Misalnya, bagaimana agar sebuah kemenangan politik diterjemahkan sebagai sebuah sikap konstruktif yang tidak terkesan mengancam eksistensi kubu yang kalah dalam bingkai rekonsiliasi. Misalnya, mengonversi kemenangan politik tersebut menjadi blue print untuk memperkuat fundamen negara sehingga alokasi nilai dan distribusi kesejahteraan kepada seluruh rakyat tanpa kecuali, bisa terwujud.

Sebaliknya, pihak yang kalah menyikapi hasil kontestasi sebagai konsekuensi logis dari proses pemungutan suara, yang perlu dihormati. Lagi pula kekalahan kuantitatif elektoral dalam pemilu bisa dikonversi menjadi kekuatan kualitatif dalam barisan oposisi, untuk menjamin bahwa mesin pemerintahan terpilih dapat bekerja di atas rel politik kenegaraan dan konstitusi yang ada. Kerja oposan seperti ini justru sangat berharga nilainya dalam menjaga keseimbangan kekuasaan.

Semoga para politikus tak jemu-jemunya untuk terus memperlebar atau memperluas jalan dialog demi membuka kanal-kanal komunikasi yang ‘masih tersumbat’ akibat riak kontestasi, termasuk merekatkan kembali komunikasi politik dengan Kartanegara. Di satu sisi, kita ingin rakyat terus membangun kepercayaan terhadap institusi demokrasi, termasuk elite politik dan pemerintah.

Namun, kepercayaan tersebut akan sangat tergantung pada kekompakan elite mempromosikan keteladanan, dengan membuang arogansi, ego politik, dan kecurigaan yang mempersempit ruang-ruang dialog sehingga jalan untuk merajut persatuan sebagai modal melambungkan bangsa ini ke capaian prestasi mondial kian mudah.

Hanya dengan begitu, demokrasi elektoral yang baru saja kita rayakan akan berkorelasi positif dengan demokrasi substantif, yang memberikan keadilan dan kesejahteraan (ekonomi) bagi seluruh rakyat tanpa kecuali.(*)

Sumber: https://mediaindonesia.com/read/detail/240833-selebrasi-politik-kemanusiaan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *