Oleh: Trisno Mais SAP
Alumni Fispol Unsrat Manado, asal Desa Buo, Loloda, Malut
SETALAH rezim otoriter Orde Baru (OrBa) pada 1998 runtuh, sistem demokrasi dilihat sebagai satu-satunya harapan yang dapat membawa bangsa ini menuju masyarakat adil, makmur, dan sejahtera. Harapan publik semakin menguat. Yakni, proses demokratisasi dapat melahirkan pemerintahan yang bersih dan tidak korup.
Akan tetapi, setelah lebih dari satu dekade masa transisi, yang tumbuh di kalangan masyarakat adalah pandangan pesimistis terhadap sistem demokrasi itu sendiri. Publik cenderung tidak percaya. Itu sebuah rangkaian panjang dari praktik demokrasi yang cenderung menyimpan dan bias nilai. Dalam hal ini dapat dilihat para pejabat publik terjerat dengan masalah hukum, atau dengan kata lain menjadi ‘pasien’ lembaga penegakan hukum.
Demokrasi malah diasosiasikan dengan aneka bentuk kekerasan massal, kekacauan publik, demonstrasi anarkistis, tindak kejahatan, perilaku intoleransi, ketiadaan hukum, matinya etika publik, runtuhnya moral serta ketakpedulian sosial.
Komisi Pemilihan Umum RI memperkirakan potensi konflik dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak tahun 2018 meningkat dibandingkan tahun sebelumnya. Dalam Data Indeks Kerawanan Pemilu IKP 2017 yang dirilis oleh Bawaslu, Papua Barat memiliki IKP sebesar 3,38%, Aceh sebesar 3,33% dan Banten sebesar 3,15%. Sedangkan DKI Jakarta dengan IKP sebesar 2,30% berada di urutan kelima setelah Sulawesi Barat.
Pun, kekerasan yang terjadi selama kampanye cenderung meningkat dengan presentase 49% kasus kekerasan terjadi di masa persiapan, dan 51% kasus terjadi di masa kampanye. Data yang diperlihatkan adalah suatu rangkaian dari kandidat tertentu akan dimenangkan oleh proses demokrasi. Lucu kan? Ini fenomena yang tak lazim.
Tragis. Padahal, publik berharap bahwa demokrasi akan melahirkan berbagai kebijakan politik yang berpihak terhadap kepentingan publik. Nyatanya, ada saja sejumlah wakil rakyat, elit dan kepala daerah yang diseret pada persoalan hukum. Konon, jabatan publik dijadikan sebagai instrument untuk mendapatkan kekuasaan yang ‘pincang’: menindas dan korup. Ironinya. Hajatan demokrasi dilakoni dengan praktik kekerasan. Pelanggaran dan kecurangan saat pemilu pun dianggap hal biasa, elit kehilangan etika dan moral!
Politik praktis selalu memberikan tontonan yang tidak edukatif. Publik ‘sakit hati’ atas laku sejenis itu. Kekecewaan publik berbuntut panjang. Akibatnya, proses demokratisasi mewarisi banyak ‘dosa kekuasaan’. Kebanyakan pejabat ketika menjabat, dijerat dengan masalah korupsi.
Publik sakit hati dengan realitas politik semacam itu. Publik menjadi transaksional. Para kontestasi harus mengeluarkan uang jutaan bahkan milyaran rupiah demi sebuah kursi kekuasaan. Yakni, pada setiap momentum politik karena trauma politik yang telah membekas dan sudah menjadi luka masa lalu, suara rakyat menjadi dagangan politik. Rakyat menjadi kambing hitam atas keteledorkan elit pada waktu lampau. Publik memberikan keputusan politik dengan bayaran. Konon, pasaran ditentukan oleh pemilik hak suara.
Nah, dari terminologi politik yang bebas nilai semacam itu, kursi menjadi mahal. Jadi, untuk menduduki jabatan politik tak cukup hanya memiliki kemampuan dan keahlian pada peran dan fungsinya. Sebagai wakil rakyat misalnya harus memahami benar tugas dan kewenangan. Itu tak cukup. Setiap kontestasi (legislatif maupun eksekutif) harus memiliki kemampuan finansial. Ketika berhasil menduduki jabatan politik, pejabat yang dipilih rakyat dengan sistem politik transaksional kecil kemungkinan akan berpikir kepentingan publik. Karena dalam proses – proses politik berlangsung tadi tidak sedikit uang yang dikeluarkan. Korup? Itu sangat berpotensi.
Tahun 2018 misalnya, dari data KPK, terhitung hingga saat ini terdapat 98 kepala daerah yang sudah diproses oleh KPK dalam 109 perkara korupsi dan pencucian uang. Hal teresebut selain melanggar sumpah jabatan, kepala daerah berarti mengkhianati masyarakat yang telah memilih secara demokratis. Wakil Ketua KPK Saut Situmorang di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (18/7/2018), menjelaskan sejak Januari hingga pertengahan Juli 2018, 19 kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka. Dari jumlah itu, sebanyak 15 di antaranya berawal dari operasi tangkap tangan.
Soal lain, masalah pokok dalam proses demokrasi adalah bagaimana merumuskan batas, kadar, tingkatan, serta konteks kebebasan (freedom), sebagai prinsip sentral demokrasi. Ketimbang menjadi prinsip pembangun, kebebasan itu sering justru menjadi luka dalam tubuh demokrasi itu sendiri.
Di sini, perlu reinterpretasi terhadap makna kebebasan dalam konteks demokrasi kita: apakah kebebasan diintrepestaikan menjadi domain individual atau sosial? Apakah tidak berbatas atau terbatas? Sifatnya absolut atau relative? Yang pasti, dalam sistem demokrasi versi apapun, tidak ada yang disebut kebebasan penuh. Dalam praktiknya, demokrasi dianalogikan semacam melepaskan kepalanya, namun ekor tetap digenggam.
Demokrasi kini menjadi panggung pertunjukan kebebasan yang parsial (bertindak, berbicara, protes, manipulasi, persuasi, berekspresi) tanpa ada respek terhadap aneka regulasi dan aturan. Akibatnya, penyusunan aneka rancangan undang-undang (jabatan, profesi, buruh, pornografi, pendidikan, media) cenderung diterima secara negatif, karena dianggap membatasi kebebasan individual dan kelompok. Padahal, kekuatan demokrasi adalah pada aturan bersama.
Demokrasi mestinya lahir dari kesadaran yang sifatnya kolektif. Bukan, individualis! Proses demokratisasi yang berlangsung dapat diartikan sebagai pergerakan budaya politik ke arah “individualisme”. Politik yang berwatak “individualisme” menjadikan individu sebagai “inisiator” dalam kompetisi perebutan kekuasaan, yang membangun “kepercayaan” masyarakat melalui wacana politik sesat (politic of image). Media komunikasi dimanipulasi untuk menciptakan citra diri. Berbagai rekayasa elit memainkan. Hal itu tentunya sebagai cara menggiring persepsi dan preferensi politik masyarakat. Di masa depan, tampaknya perlu semacam “reposisi” subjektivitas ini, agar tidak terjadi asimetri politik.
Demokrasi yang direduksi menjadi “wadah propaganda elit” akan menciptakan “demokrasi tak efektif”, karena aktivitas demokrasi terkonsentrasi pada pembangunan kekuasaan melalui “permainan citra”, dengan mengabaikan realitas sosial. Diskusi pada ruang publik semakin membias, yang diperlihatkan dan diskusikan bukan persoalan publik, namun menaikkan posisi tawar di hadapan konstituen.
Demokrasi tidak mempunyai dasar dan legitimasi kuat di dinamika politik, karena figur politik sering tidak mempunyai kompetensi, kemampuan, dan kapasitas seperti yang dilukiskan melalui citra. (Fareed Zakaria, The Future of Freedom: Illiberal Democracy at Home and Abroad, 2004). Nah, tugas kita ialah bagaimana mengembalikan spirit demokrasi.
Tentunya untuk bisa menghasilkan demokrasi yang bermartabat, dan menghasilkan pandangan yang optimis diperlukan upaya dan pembenahan secara fundamental. Demokrasi diperlukan upaya “reinterpretasi demokrasi”. Perlu upaya mendesain kembali demokrasi secara konseptual, dengan mengambil pelajaran dari etika kekuasaan yang berbasis kearifan lokal.
Di sisi lain, pada tingkat komunitas politik-partai politik-kebebasan lebih diartikan sebagai kebebasan absolut, dan “komunikasi politik” parsial, dengan mengabaikan tanggung jawab sosial dan pendidikan warga. Fungsi-fungsi partai selain tidak berjalan baik, hal – hal tersebut bukan menjadi hal yang fundamental. Sehingga, demokrasi ‘bebas nilai’, yang mengakibatkan ruang publik dipenuhi dengan wacana politik liar.
Demokrasi menjadi kehilangan nilai yang menggiring ke arah “demokrasi ilusi”, yaitu permainan bebas “citra politik”, yang tercabut dari kompleksitas persoalan negara, bangsa, dan kemasyarakatan yang sesungguhnya.
Ruang politik disarati oleh jutaan citra politik manipulatif, dan sangat kering propagandis yang dimainkan. Kekuasaan berhasil diperebutkan, namun kepentingan rakyat terabaikannya. Pikiran publik tidak lagi diperas pada aneka persoalan substansial, di balik gemerlap kemasan citra politik yang berhasil diramu oleh elit.
Kesemrautan demokrasi disebabkan oleh ulah parpol. Karena ia bukan sebuah institusi publik. Parpol an sich bukan institusi publik. Harusnya didorong pada institusi publik, karena parpol yang berorientasi pada kepentingan publik adalah institusi publik. Sebagai institusi publik, partai tidak terjebak pada mekanisme kedaulatan partai atau elit, namun kedaulatan publik yang menjadi basis pendukung atau konstituen. Demokrasi mestinya mengarahkan partai menjadi institusi publik.(*)