Oleh: Ali Rif’an
Direktur Eksekutif Arus Survei Indonesia
PADA 23 September 2020 bangsa Indonesia kembali menggelar hajatan demokrasi berupa pemilihan kepala daerah secara serentak. Tak kurang dari 270 daerah (terdiri atas 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota) akan menghelat kontestasi di tingkat lokal tersebut. Sebagai sebuah kontestasi politik, pilkada serentak 2020 tak kalah menarik jika dibandingkan dengan pilkada-pilkada sebelumnya.
Apalagi, dari sisi jumlah, pilkada serentak 2020 merupakan pilkada dengan jumlah daerah terbanyak. Sebelumnya, pilkada seren tak 2018 hanya diikuti 171 daerah. Sementara pilkada serentak 2017 mencakup 101 daerah dan pilkada serentak 2015 diikuti 269 daerah. Berkaitan dengan itu, ada sejumlah tantangan yang menarik untuk dicermati terkait gelaran pilkada serentak 2020.
Pertama, tantangan dinamika politik. Tantangan itu tak dapat dielakkan lantaran pilkada serentak 2020 punya makna strategis bagi partai politik, yakni sebagai ajang untuk memanaskan mesin politik menuju Pemilu 2024. Di sisi lain, lantaran jumlahnya banyak, partai akan berjuang habis-habisan untuk bisa meraih kemenangan sebesar-besarnya di setiap daerah. Matematika politik parpol mengatakan bahwa semakin banyak kader terpilih sebagai kepala daerah, semakin kuat kaki politik sebuah partai untuk menyongsong Pemilu 2024.
Kedua, tantangan figur. Harus diakui bahwa perjalanan pilkada sejak 2005 hingga kini masih menggambarkan kekuatan figur sebagai modal utama dalam merengkuh kemenangan pilkada. Figur telah menggeser dominasi mesin parpol dalam memengaruhi pilihan. Dalam kontestasi pilkada, figur yang diusung jauh lebih penting ketimbang partai yang mengusung.
Apalagi, perilaku pemilih di Indonesia memang menunjukkan figure identification (figure ID) jauh lebih kuat ketimbang party identification (party ID). Selain itu, faktor efek ekor jas (coat-tail effect) membuat partai politik berlomba mencari figur (kandidat) yang potensial menang meski bukan dari kadernya sendiri. Sehingga impor figur ataupun caplok-mencaplok antarkader partai –seperti yang terjadi pada pilkada sebelumnya– akan kembali dilakukan sebagai usaha memenangi kompetisi pilkada.
Ketiga, tantangan pemilih. Dilihat dari demografi pemilih, pilkada serentak 2020 akan didominasi pemilih milenial. Kondisi itu perlu menjadi catatan penting lantaran tren kepemimpinan milenial juga sedang naik daun. Milenial kini bukan sekadar objek politik, tapi sebagian besar sudah menjadi subjek politik. Terpilihnya 52 anggota DPR RI dari kalangan milenial, 1 menteri dan 2 wakil menteri dari kelompok milenial, serta 7 staf khusus presiden juga dari generasi milenial menunjukkan bahwa gelombang kepemimpinan milenial sedang terjadi di Indonesia. Tak tertutup kemungkinan tren itu juga akan berlangsung dalam kontestasi pilkada.
Tantangan Kampanye
Keempat, tantangan kampanye. Mulai ada pergeseran pola kampanye seiring hadirnya era technopolitic. Mengutip Victor Sampredo dalam Introduction: New Trends and Challenges in Political Communication (2011), technopolitic dimaknai sebagai fenomena meleburnya antara teknologi dan politik. Technopolitic membuat wajah politik berubah. Sebagai contoh, pola-pola mendekati masyarakat pemilih (kampanye) secara konvensional seperti pengerahan massa serta pemasangan baliho dan spanduk akan mulai bergeser. Kampanye akbar mulai bergeser menjadi berbasis personal dan kampanye di media massa mulai bergeser ke media sosial.
Mengingat, berdasar data Wearesosial Hootsuite 2019, pengguna media sosial di Indonesia mencapai 150 juta atau 56 persen dari total populasi, sementara pengguna media sosial mobile (gadget) mencapai 130 juta atau sekitar 48 persen dari populasi. Artinya, penggunaan teknologi informasi dalam sebuah kampanye politik mutlak diperlukan. Meskipun harus disadari bahwa kehadiran teknologi dalam politik ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi dapat menjadi sarana kampanye yang murah dan mudah, namun di sini lain bisa mendatangkan ”bencana sosial” berupa hoaks yang tak terkendali.
Sebagai contoh, Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) menemukan bahwa konten politik menjadi isu paling dominan dalam penyebaran hoaks. Saat agenda kontestasi politik, jumlah produksi hoaks politik rentan meningkat. Berdasar data Mafindo selama periode Juli–September 2018, ada 230 hoaks terverifikasi. Sebanyak 58,7 persen di antaranya bermuatan politik; 7,39 persen agama; 7,39 penipuan; 6,69 persen lalu lintas; dan 5,2 persen kesehatan.
Kelima, tantangan kecurangan. Seperti pernah saya sampaikan di harian ini (Mengawal Pilkada Serentak, Jawa Pos, 26/2/2015) bahwa kecurangan di dalam pilkada dapat dibagi dua. Kecurangan ”saat pilkada” dan kecurangan ”pra-pilkada”. Kecurangan pada saat pilkada dimulai ketika sang kandidat sudah ditetapkan KPU sebagai peserta (kandidat) pilkada dan berlangsung hingga pemungutan suara. Dalam hal ini, kecurangan bisa berupa kampanye hitam, politik uang, intimidasi, hingga manipulasi hasil perolehan suara.
Sedangkan kecurangan pra-pilkada biasanya melibatkan kontestan atau melibatkan penyelenggara pemilu seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU). Misalnya, KPU memaksakan orang yang tidak memenuhi syarat diikutkan dalam pilkada. Atau sebaliknya, orang yang memenuhi syarat dicoret atau didiskualifikasi.
Karena itu, sinergi semua pihak sangat diperlukan guna menjawab tantangan pilkada serentak 2020. Bagi partai politik, sikap sportif perlu dilakukan. Misalnya, caplok-mencaplok antarkader partai demi kepentingan pragmatis pilkada sebaiknya dihindari. Selain itu, penyelenggara pemilu (KPU, Bawaslu, dan DKPP) serta aparat negara (TNI, Polri, dan Kejaksaan Agung) harus mampu bekerja secara profesional. Bagi masyarakat, kedewasaan politik diperlukan dalam menyikapi maraknya hoaks dalam kontestasi pilkada.
Dan tentu saja bagi para calon kepala daerah yang berkompetisi dan tim suksesnya, cara-cara culas dalam pilkada dengan melakukan kampanye hitam dan ujaran kebencian harus disingkirkan. Sebab, cara seperti itu tak hanya akan mencederai pesta demokrasi, tetapi juga berpotensi memicu konflik horizontal yang mengkhawatirkan.
Akhirnya, kita berharap pelaksanaan pilkada serentak 2020 mampu menghadirkan kontestasi yang berintegritas. Sebuah kontestasi pemilu bisa dikatakan berintegritas jika seluruh elemen yang terlibat di dalamnya –baik partai politik, penyelenggara pemilu, aparat keamanan, maupun peserta pilkada dan tim suksesnya– tunduk dan patuh pada nilai-nilai moral dan etika kepemiluan. (*)
Sumber: https://www.jawapos.com/opini/14/12/2019/tantangan-pilkada-serentak-2020/