Opini

Transisi Masyarakat Agraris menjadi Masyarakat Industri

×

Transisi Masyarakat Agraris menjadi Masyarakat Industri

Sebarkan artikel ini

Oleh: Yerik Afrianto Singgalen
Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Politeknik Perdamaian Halmahera

TRANSISI masyarakat agraris menjadi masyarakat industri merupakan dinamika dalam pembangunan. Secara kontekstual, masyarakat agraris di Kabupaten Halmahera Utara menjadi pokok pembahasan dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Politeknik Perdamaian Halmahera pada pukul 20.00 Wit di Kafe SS, Kampung Kodok, Desa Gamsungi, Tobelo.
Konstruksi pemikiran hasil diskusi sangat dinamis, hal tersebut terjewantahkan dalam opini sesuai disiplin ilmu masing-masing partisipan ketika menganalisis dinamika pembangunan secara kritis dan konstruktif terkait dengan pokok pembahasan yakni transisi masyarakat agraris menjadi masyarakat industri. Diskusi ilmiah merupakan ruang komunikasi antar individu yang menjamin kebebasan berekspresi terutama dalam menyampaikan aspirasi serta tanggapan terhadap pokok persoalan berdasarkan kaidah ilmu pengetahuan.
Secara kolektif, gagasan berpikir yang direkonstruksi dalam ruang diskusi dapat meminimalisir konflik ideologi yang berimplikasi pada perpecahan kelompok karena perbedaan pandangan. Perguruan Tinggi berperan penting dalam membentuk budaya diskusi ilmiah untuk mencapai kesepahaman bersama guna memperoleh gambaran dan solusi konkret terkait permasalahan pembangunan di suatu daerah.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) terkait dengan profil kemiskinan Maluku Utara tahun 2018, jumlah penduduk miskin di Maluku Utara pada Maret 2018 sebesar 81, 46 ribu orang yang bertambah sekitar 3,2 ribu orang dibandingkan dengan data penduduk miskin pada September 2017. Adapun faktor-faktor yang diduga memengaruhi tingkat kemiskinan di Maluku Utara ialah kenaikan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 2,39 persen yaitu dari 131,86 pada September tahun 2017 menjadi 135,01 pada Maret 2018.
Kemudian terjadi penurunan Nilai Tukar Petani (NTP) khususnya pada subsector holtikultura dan tanaman perkebunan rakyat selama perode September 2017 sampai dengan Maret 2018. Lebih jauh, NTP Subsektor tanaman holtikultura pada Maret 2018 mengalami penurunan sebesar 2,23 poin menjadi 107,24 dibandingkan kondisi September 2017 sebesar 109,47.
Sementara itu, NTP Subsektor tanaman perkebunan rakyat mengalami penurunan sebesar 3,51 poin dari 95,96 pada September 2017 menjadi 92,45 pada Maret 2018. Pada kondisi ini, pertumbuhan produksi industri manufaktur mikro dan kecil triwulanan (y-on-y) pada triwulan III tahun 2018 meningkat sebesar 15,00 persen dari triwulan III tahun 2017.
Adapun, jenis-jenis industri manufaktur mikro dan kecil yang mengalami kenaikan pada triwulan III tahun 2018 dari triwulan III tahun 2017, yaitu: Industri Makanan (meningkat sebesar 25,11 persen); Industri Furnitur (meningkat sebesar 22,84 persen) dan Industri Logam Dasar (meningkat sebesar 10,18 persen). Hal ini menunjukkan adanya indikasi pergeseran matapencaharian masyarakat agraris ke masyarakat industri sebagai upaya mengentaskan kemiskinan, strategi koping maupun strategi bertahan hidup.
Pendekatan matapencaharian berkelanjutan menurut Robert Chambers dan Gordon Conway (1992) dalam sebuah artikel ilmiah tentang Sustainable Rural Livelihoods : Practical Concepts for the 21st Century memberikan gambaran tentang hal-hal yang bersifat fundamental dalam mengentaskan kemiskinan khususnya di wilayah pedesaan yakni kapabilitas (capability), keadilan (equity) dan keberlanjutan (sustainability).
Lebih jauh, konsep matapencaharian berkelanjutan merupakan konsep yang terintegrasi. Penjelasannya, setiap individu memiliki kapabilitas untuk bekerja, akan tetapi sumberdaya yang dapat diakses individu tidak sama. Keberlanjutan matapencaharian sangat bergantung pada akses (claims and access) terhadap sumber daya (stores and resources). Secara spesifik, digambarkan bahwa akses terhadap modal dapat menjadi indikator keberlanjutan matapencaharian dalam konteks nafkah rumah tangga. Adapun, modal-modal yang dimaksud ialah sebagai berikut: modal sumber daya manusia (human capital), modal sumber daya alam (natural capital), modal sosial (social capital), modal finansial (financial capital), modal fisik (physical capital).
Akses terhadap modal sumber daya manusia (human capital) menggambarkan kondisi dimana kapabilitas individu mengalami peningkatan kapasitas melalui akses terhadap pendidikan formal maupun non-formal yang relevan dengan aktivitas matapencahariannya. Sementara itu, akses terhadap modal sumber daya alam (natural capital) menekankan pada akses terhadap sumberdaya lahan sebagai tempat aktivitas matapencaharian. Akses terhadap modal sosial (social capital) menggambarkan hasil interaksi sosial yang mendorong keberlanjutan matapencaharian.
Adapun, akses terhadap modal finansial (financial capital) menggambarkan adanya ketersediaan anggaran yang mendukung aktivitas matapencaharian. Sedangkan, modal fisik (physical capital) menggambarkan ketersediaan sarana dan prasarana yang menunjang aktivitas matapencaharian. Chamers dan Conway (1992) menggambarkan kapabilitas individu yang dapat mengakses modal tersebut dapat mencapai keberlanjutan. Meskipun demikian, terdapat konteks kerentanan yang memengaruhi kapabilitas individu untuk mengakses modal-modal tersebut yaitu tren (trend), guncangan (shocks) dan musiman (seasonality).
Selain itu, aspek struktural seperti kebijakan pemerintah dan kelembagaan ekonomi lokal memengaruhi kapabilitas mengakses modal. Keberlanjutan matapencaharian menjadi salah satu strategi untuk mengentaskan kemiskinan dimana kesejahteraan diperoleh dengan adanya keadilan dalam pembangunan.
Secara kontekstual, wilayah pedesaan di Kabupaten Halmahera Utara masih didominasi oleh masyarakat agraris, hal tersebut dapat dilihat dari karakteristik matapencaharian masyarakat yang dominan di sub sektor holtikultura dan tanaman perkebunan rakyat. Pandangan Chambers dan Conway (1992) sangat relevan dengan konteks negara berkembang, khususnya terkait dengan dinamika pembangunan masyarakat pedesaan.
Perspektif Chambers dan Conway (1992) dapat digunakan sebagai pendekatan untuk menganalisis transisi masyarakat agraris menjadi masyarakat industri di Kabupaten Halmahera Utara. Pada aspek geografis, lokasi pemukiman penduduk di Kabupaten Halmahera Utara dapat dikelompokan menjadi tiga bagian yakni wilayah pemukiman di daerah kepulauan, pesisir dan pendalaman. Perbedaan konteks geografis tidak menutup kemungkinan adanya kapabilitas masyarakat untuk mengakses sumber daya alam (natural capital) sebagai matapencaharian utama di bidang holtikultura dan tanaman perkebunan rakyat.
Permasalahan yang dikemukakan oleh Chambers dan Conway (1992) terkait dengan konteks kerentanan ialah perubahan minat atau kebutuhan pasar (trend) terhadap produk hasil tanaman holtikultura dan tanaman perkebunan rakyat yang menyebabkan terjadinya pergeseran matapencaharian. Selain itu, masyarakat yang dapat beradaptasi dengan perkembangan teknologi informasi di era globalisasi mampu mempertahankan matapencaharian di bidang holtikultura dan tanaman perkebunan rakyat dengan melakukan diversifikasi maupun inovasi untuk mencapai keberlanjutan matapencaharian. Teknologi pangan yang menjadi bagian dalam sistem produksi tanaman holtikultura maupun tanaman perkebunan rakyat menunjukkan kapabilitas mengakses modal manusia (human capital).
Ketersediaan akses terhadap modal sumber daya alam (natural capital) maupun akses terhadap modal manusia (human capital) dapat menyebabkan terjadinya pergeseran matapencaharian sebagai implikasi perubahan haluan ekonomi global atau tren (trend) pasar global. Sehingga terjadi perubahan matapencaharian masyarakat agraris menjadi masyarakat industri. Selain itu, budaya lokal (culture) menentukan percepatan proses adaptasi dalam masa transisi masyarakat agraris menjadi masyarakat industri, sehingga tidak menutup kemungkinan terjadi peningkatan pada aspek industri manufaktur, mikro dan kecil.
Konteks kerentanan selanjutnya ialah guncangan (shocks) yang menggambarkan ketidaksiapan masyarakat terhadap perubahan yang bersifat mendadak. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh budaya local (culture) maupun keterbatasan akses terhadap modal manusia (human capital) sehingga tidak ada langkah antisipatif maupun responsif terhadap perubahan mendadak.
Secara struktural, kondisi politik dan kelembagaan ekonomi lokal memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perekonomian suatu daerah. Kebijakan publik menjadi produk unggulan yang mampu mengatur sistem perekonomian yang berkelanjutan sekaligus mengantisipasi terjadinya konflik akibat konteks kerentanan yakni perubahan tren, guncangan dan musiman (trend, shocks, seasonality) sebagaimana yang dikemukakan oleh Chambers dan Conway (1992).
Penguatan kelembagaan ekonomi lokal menjadi basis ekonomi kerakyatan khususnya di wilayah pedesaan maupun wilayah terpencil yang sulit dijangkau karena keterbatasan aksesibilitas jalan maupun moda transportasi. Melalui kelembagaan ekonomi lokal, sistem perekonomian daerah menjadi terintegrasi untuk mengantisipasi fluktuasi harga produk akibat monopoli pasar oleh oknum yang tidak bertanggungjawab.
Hal tersebut mempermudah proses kendali dalam pengambilan keputusan untuk merumuskan kebijakan publik yang berpihak pada keberlanjutan matapencaharian masyarakat di sektor tanaman holtikultura maupun tanaman perkebunan rakyat. Selain itu, eksistensi kelembagaan ekonomi lokal mampu memobilisasi percepatan adaptasi masyarakat menanggapi perubahan kebutuhan pasar dengan melakukan inovasi maupun diversifikasi usaha dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri.
Pada masa transisi masyarakat agraris menjadi masyarakat industri, kearifan lokal menjadi strategi mempertahankan matapencaharian sub-sektor tanaman holtikultura dan tanaman perkebunan rakyat. Dalam konteks masyarakat Kabupaten Halmahera Utara, tradisi “hirono” dalam proses produksi hasil tanaman perkebunan “kelapa dalam” menjadi kopra, menunjukkan adanya nilai-nilai sosial dalam aktivitas ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa kapabilitas akses terhadap modal budaya, secara kultural juga memberikan peluang akses terhadap modal sosial dan modal ekonomi. Tradisi “hirono” atau “makiriwo” memiliki makna simbolik sebagai bentuk kearifan lokal budaya masyarakat adat hibua lamo. Selain itu, “hohidiai” juga memiliki makna simbolik yakni ikatan sosial yang kuat dalam pembangunan.
Pierre Bourdieu (1986) dalam artikelnya tentang bentuk modal (The Form of Capital) menunjukkan bahwa pemanfaatan modal budaya (culture capital), modal sosial (social capital), modal ekonomi (economic capital) dan modal simbolik (symbolic capital) dapat menjadi strategi koping maupun bertahan hidup. Dalam konteks kebudayaan masyarakat Kabupaten Halmahera Utara menunjukkan adanya konvergensi antara modal budaya (culture capital) dan modal sosial (social capital) yang dapat meningkatkan kapasitas akses terhadap modal ekonomi (economic capital). Kondisi ini memungkinkan terjadinya nafkah ganda sebagai strategi koping maupun bertahan hidup, sesuai dengan kapabilitas akses terhadap modal.
Dengan demikian, upaya mengentaskan kemiskinan dapat dilakukan dengan mempertimbangkan keberlanjutan matapencaharian masyarakat secara kontekstual. Matapencaharian masyarakat yang bersifat dominan tidak terlepas dari aspek kultural sehingga perlu diperkuat dengan kelembagaan ekonomi lokal untuk memobilisasi program peningkatan kapasitas akses terhadap modal-modal yang dimaksud. Dalam konteks Maluku Utara, data Badan Pusat Statistik khususnya profil kemiskinan tahun 2018 menunjukkan adanya peningkatan kuantitas penduduk miskin yang salah satunya disebabkan oleh penurunan Nilai Tukar Petani (NTP).
Oleh sebab itu diperlukan kebijakan yang berpihak pada pada masyarakat miskin (Pro-Poor Policies) yang terintegrasi dengan kelembagaan ekonomi lokal untuk memperluas akses terhadap modal-modal sebagaimana yang dimaksudkan Cambers dan Conway (1992) maupun Bourdieu (1986). Selanjutnya, peningkatan kuantitas industri manufaktur, mikro dan kecil menunjukkan adanya diversifikasi matapencaharian atau pergeseran matapencaharian masyarakat agraris menjadi masyarakat industri sebagai respon terhadap konteks kerentanan.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *