HARIANHALMAHERA.COM— Tingkat keterwakilan politik perempuan di daerah masih rendah. Efeknya, partisipasi kaum hawa pada pembangunan nasional tidak representatif. Bahkan disebut kurang dari 30 persen.
Hal itu dinilai berdampak pada rendahnya kapasitas representasi perempuan pada pembangunan nasional. Masni pun menyebut, kaum perempuan di Maluku Utara masih memiliki berbagai persoalan untuk terjun ke dunia politik.
Dari 252 anggota legislatif di DPRD provinsi hingga DPRD kabupaten/kota di Maluku Utara, hanya ada 27 anggota legislatif perempuan atau 10,71 persen.
“Masih banyak dari mereka yang belum menyadari pentingnya berperan dalam politik dan perundang-undangan,” tutur Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Provinsi Maluku Utara Masni di Jakarta, Jumat (1/3), melansir indopos.co.id.
Ia mengatakan beberapa hambatan partisipasi perempuan dalam berpolitik diantaranya, ideologi, psikologi, dan keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM).
“Perempuan harus tampil, harus bisa, tapi harus siapkan SDM yang matang. Karena kadang belum mengerti apa itu politik, apa itu peraturan perundang-undangan, sudah mau terjun. Sehingga kapasitasnya juga terbatas,” turutnya.
“Demokrasi sehat tidak akan terwujud tanpa ada keadilan relasi yang setara antara perempuan dan laki-laki,” tambah Masni.
Perempuan harus mampu dan harus menyuarakan hak-haknya di segala lini. Untuk itu porsi parlemen baik di tingkat Nasional maupun di daerah harus memenuhi kuota yang ada.
Dia menuturkan, selain dari sisi perempuan sendiri, di sisi eksternal masih banyak partai politik yang belum memberikan kesempatan kepada politisi perempuan untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.
“Perempuan belum mendukung perempuan. SDM-nya juga belum maksimal. Dari eksternalnya kita lihat ketua-ketua partai juga belum ikhlas memberikan kesempatan kepada perempuan,” ujar Masni, melansir jawapos.com.
Dalam kasus yang selama ini terjadi, perempuan juga masih memiliki ego yang tinggi. Banyak dari mereka yang sama-sama ingin mencalonkan diri dalam kapasitas yang terbatas. Padahal, tak jarang mereka memiliki teman yang lebih mampu.
“Masih banyak ego. Padahal kan kapasitasnya masih terbatas. Sebenarnya mau saya mereka memilih perempuan yang mampu. Misalnya kalau mereka melihat temannya lebih mampu, kenapa tidak mendorong untuk sama-sama. Kalau dana itu saya pikir belakangan,” pungkasnya.
Diketahui, dalam Pemilihan Umum 2019, banyak perempuan turun atau berpartisipasi dalam politik. Akan tetapi, gejalanya cenderung menjadi negatif. Misalnya, terkait partai emak-emak dan penyebaran hoaks oleh Ratna Sarumpaet.
“Memang belum ada angka yang pasti tentang aktivitas perempuan turun di politik karena belum ada penelitiannya. Tetapi kalau dari gejalanya cukup banyak,” kata Pengamat Politik Universitas Indonesia, Reni Chandriachsja Suwarso, mengutip pikiranrakyat.com.
Reni pun menyatakan kegelisahannya karena kenaikan aktivitas perempuan dalam politik itu tidak dibarengi dengan pengetahuan yang memadai tentang politik. Ditambah lagi, kata Reni, para perempuan itu belum mempunyai akses yang benar untuk mengonfirmasi isu-isu yang beredar.
“Keinginan mereka besar tapi belum diikuti dengan cara berpikir yang kritis, bertanggung jawab, serta memiliki data dan bukti yang kuat,” ucapnya.
Penguatan pendidikan politik bagi perempuan itu, lanjut Reni, seharusnya dilakukan oleh negara. Reni menuturkan bahwa pendidikan politik bagi perempuan itu tidak hanya terkait persoalan pemilu. Akan tetapi, hal itu berdampak pada area yang lebih besar yang berkaitan dengan masa depan dan keutuhan bangsa.
“Ini tugas negara dan kampus untuk memberikan pendidikan politik bagi perempuan. Kalau dilakukan partai politik, nantinya hanya untuk kepentingan partai,” ujar Reni.
Lebih lanjut Reni mengatakan, di setiap pemilu selalu ada upaya branding yang dibangun untuk menunjukkan keberadaan perempuan sebagai calon legislatif (caleg) hanya untuk memenuhi kuota 30%. Akan tetapi, bila dibandingkan dengan pemilu sebelumnya, tidak hanya ada kenaikan kuantitas, tapi juga peningkatan kualitas.
Ia menyatakan, banyak yang mengaitkan kehadiran perempuan sebagai caleg karena ia memiliki kekerabatan dengan tokoh politik laki-laki. Padahal, laki-laki pun sama. “Hal yang sama terjadi juga pada caleg laki-laki. Mereka memiliki kekerabatan dengan tokoh tertentu,” katanya.
Yang paling penting, kata dia, ketika perempuan dicalonkan, mereka harus mampu belajar memperkuat diri. Perempuan harus mampu menyusun strategi dengan belajar dari semua orang, sehingga tidak akan dinilai sebagai dekorasi.
Ditambahkannya, perempuan yang menjadi caleg juga harus menguasai aspirasi yang mewakili perempuan. Seperti aspirasi atas isu kejahatan, pendidikan, pangan, dan ketersediaan air bersih.(ind/jpc/prc/fir)