HARIANHALMAHERA.COM–Stok minyak goreng (migor) di Ternate yang sepekan terakhir langka di pasaran, segera tersedia lagi. Ini menyusul akan segera tiba pasokan minyak goreng yang dikirim melalui kapal.
Kepala Bagian (Kabag) Ekonomi Setda Ternate, Nurhasanah Somadayo menuturkan, saat ini kapal yang membawa satu kontainer minyak goreng dalam perjalanan.
Jika tidak ada halangan, kiriman 1 ton minyak goreng merek Fortune itu akan tiba Jumat (25/1) besok. “Diperkirakan tangggal 25 Pebruari nanti sudah ada kapal yang masuk membawa 1 ton minyak goreng merk Fortun, yang nantinya ditangani PT Kali Mas,” katanya, Rabu(23/2).
Minyak goreng ini menurutnya akan dijual dengan harga yang ditetapkan pemerintah yakni Rp 14 ribu per liter. “Nantinya dijual dengan harga enceran tertinggi ( HET) Rp 14. 000 per liter,” ucapnya
Nurhasanah mengatakan, kelangkaan minyak goreng ini tidak hanya terjadi di Ternate, namun nasional. Apalagi, Ternate juga merupakan daerah adopsi bukan daerah produksi.
Dia menyebut, pada Sabtu pekan kemarin pihak toko Kali Mas juga menyalurkan minyak goreng ke toko-toko sebanyak 12 titik dengan catatan mereka yang menerima wajib menjual sesuai harga eceran tertinggi HET) HET Rp 14.000 per liter.
Meski demikian dia mengakui untuk minyak goreng merk Bimoli yang ditangani PT Kendari, masih kosong sehingga masih menunggu pasokan masuk.
Disinggung ada tidaknya langkah Pemkot berupa operasi pasar, Nurhasana mengaku belum dilakukan mengingat operasi pasar dilaksanakan juga menyesuaikan kebutuhan stok.
Sebelumnya, Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyalurkan 60 juta liter minyak goreng ke wilayah Indonesia timur. Penyaluran dilakukan melalui sistem operasi pengisian pasar. Sistem itu jauh berbeda dengan operasi pasar untuk mengatasi stok barang yang kosong.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Oke Nurwan menjelaskan, teknis operasi pengisian pasar adalah dengan menyuntikkan stok minyak goreng ke pedagang pasar. Kemudian, pedagang menyalurkan kepada konsumen.
”Saya nggak mau operasi pasar, dagang ke konsumen. Saya nggak mau itu. Saya operasi pengisian pasar. Supaya pedagang hidup, konsumen datang ke pedagang,” ucap Oke, Selasa (22/2)
Menurut Oke, sistem itu bisa mencegah penimbunan minyak goreng seperti yang sempat terjadi di Sumatera Utama. Oke akan memastikan kelancaran distribusi minyak goreng.
”Kami akan koordinasi pasokan ke pasar. Sekarang kebutuhan per bulan di angka 58 ribu ton atau 60 juta liter. Kebutuhan besar karena jadi heart (pusat) untuk wilayah (Indonesia) Timur,” kata Oke.
Alasan itulah yang membuat Oke mengawasi distribusi minyak goreng dari Kota Surabaya dan Provinsi Jawa Timur. Sebab 60 juta liter yang diberikan Dirjen Perdagangan Dalam Negeri untuk menutup kebutuhan wilayah Indonesia Timur.
Biasanya, lanjut Oke, pasokan nasional atau kebutuhan minyak goreng per bulan mencapai 327 juta liter. Artinya, kebutuhan nasional mencapai 10–11 juta liter per hari.
”Sekarang saya gelontorkan 20 juta liter per hari. Sekarang sudah 6 hari sudah tersalurkan 146 juta liter. 22 juta liter di antaranya, mungkin 30 juta liter hari ini, 27 juta liter per hari kemarin. Mungkin sudah 30 juta liter di Jatim,” papar Oke
Oke menegaskan, pihaknya mampu dan dapat menyalurkan minyak goreng tanpa bantuan ritel modern. Sebab kemampuan distribusi ritel modern hanya mencapai 25 juta liter per bulan.
”Sementara kebutuhan nasinal 327 juta atau 300 juta kalau mandek. Kalau 25 juta ritel modern dapat tekanan seolah barang langka padahal ada. Tapi di ritel modern lebih tertib karena ada jaminan konsumen dapat harga 14 ribu. Kalau di pasar rakyat enggak,” tutur Oke.
Dia Nurwan kembali memberikan peringatan kepada para produsen, distributor, dan produsen pengemas minyak goreng agar segera mengeluarkan stok yang dimiliki. ”Jika kami temukan pelaku usaha yang belum mengeluarkan stok minyak goreng, kami siap jemput dan distribusikan minyak goreng yang mereka miliki,” tegasnya.
Selain itu, pihaknya mendorong distributor dan peritel meningkatkan kapasitas gudang untuk menampung minyak goreng. ”Ritel modern ini kan punya distribution center. Nah, ini dari kapasitas normal 25 juta liter akan coba dinaikkan jadi 50 juta liter. Harapannya, dengan mendobel kapasitas itu bisa memperbaiki kelancaran pasokan,” tambah Oke.
Sementara itu, kebijakan menerapkan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng dianggap tidak efektif. Harga memang turun, tapi minyak goreng justru kerap menghilang di pasar. Ada masalah distribusi sehingga berakibat pada kelangkaan.
Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira menyatakan, intervensi pemerintah terhadap masalah minyak goreng membingungkan pelaku usaha. Pengusaha berada di posisi serbasalah. Jika menjual stok lama dengan HET, mereka akan rugi. Sementara itu, jika membiarkan di etalase dan menjual dengan harga pasar, mereka khawatir terkena sidak dan disanksi pemerintah.
Sebelum menerapkan HET, menurut Bhima, idealnya pemerintah sudah memiliki grand design soal distribusi. ”Bulog tidak bermain di minyak goreng. Jadi, rantai distribusi minyak goreng tidak dikuasai pemerintah,” ujar Bhima kemarin (22/2).
Menurut Bhima, stok-stok lama yang dimiliki pengusaha itu seharusnya dibeli pemerintah untuk kemudian didistribusikan sendiri. ”Selanjutnya, produksi yang baru diarahkan untuk dijual sesuai HET dan diberi subsidi jika ada selisih,” terang dia.
Selain opsi tersebut, Bhima mengingatkan bahwa kelapa sawit yang menjadi salah satu bahan baku minyak goreng merupakan komoditas hak guna usaha yang ditanam di lahan negara. ”Seharusnya pemerintah punya pressure ke perusahaan-perusahaan minyak goreng yang terafiliasi dengan CPO. Rekomendasi ekspor itu kan juga dibuat pemerintah,” ujarnya.
Dia menegaskan bahwa Indonesia merupakan negara hukum. Bhima menyarankan ada tindakan hukum bagi para penimbun dan pemain harga atau kartel. ”Cara-cara itu sebenarnya bisa digunakan untuk menjaga stabilitas harga minyak goreng,” tegasnya.
Terkait dengan sisi hulu atau produsen minyak goreng, Bhima menilai pemerintah perlu mencermati proporsi penguasaan pasar yang saat ini hanya dimiliki produsen besar. ”Saya kira untuk memperbaiki rantai distribusi, pertama harus bisa bongkar struktur produsen yang terlalu oligopoli. Jadi, idealnya dilakukan breakup supaya tidak ada penguasaan atau dominasi,” katanya.(jpc/par/pur)