HARIANHALMAHERA.COM–Awal pemerintahan periode kedua Ir Frans Manery dan Muchlis Tapi Tapi, sudah menimbun sejumlah persoalan. Tidak hanya ribut soal pangkalan minyak tanah, juga ribut soal proyek penyeragaman lapak di alun-alun kawasan pemerintahan yang dinilai tabrak aturan.
Meski sudah ada teguran dari DPRD selaku lembaga pengawas kerja pemerintahan (eksekutif) karena proyek tersebut tidak tertata dalam pos Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) 2021, namun Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) terkesan ngotot menyelesaikan proyek tersebut.
Reinal Mole, salah satu kontraktor saat dikonfirmasi, membenarkan jika anggaran lapak tersebut belum dibahas di DPRD. Proyek tersebut akan dianggarkan pada tahun depan. “Saya hanya membangun saja walaupun proyek tersebut belum dibahas di DPRD. Karena ini permintaan Perindagkop Halut. Jika suda selesai dan Pemkab sudah punya uang, maka bisa menggantikan uang saya,” ucapnya.
Reinal juga mengaku yakin akan proyek tersebut karena usai membangun lapak, Pemkab dan kontraktor akan melakukan penandatanganan MoU. Menurutnya, Pemkab Halut dan pihaknya melakukan pertemuan untuk membicarakan kelanjutan lapak alun-alun kawasan kantor pemerintahan. “Jika pemkab belum memiliki anggaran, maka pihak ketiga yang akan mengelola lapak tersebut dan menyepakati melalui penandatanganan MoU. Pengelola pihak ketiga ini sampai modal yang dikeluarkan itu balik, setelah itu baru diserahkan ke Pemkab. Nantinya para pedagang akan dikenakan biaya setiap bulan,” jelasnya.
Bersamaan dengan proyek lapak, Reinal menyebut tahun depan juga akan dilelang proyek untuk pemasangan paving blok dan membuat taman di tengah-tengah lapak. “Saat ini pekerjaannya hanya seragamkan semua lapak. Sudah ada masterplan dan pada tahun depan Pemkab tinggal mengerjakannya. Kita belum tahu pasti siapa mendapat proyek tersebut,” tuturnya.
Pernyataan kontraktor ini cukup kontras dengan pernyataan Kepada Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Nyoter Koenoe, lalu. Saat itu, Nyoter mengklarifikasi bahwa pembangunan lapak tersebut bukan proyek dan hanya pengembang. Soal pembangunan lapak tersebut memang ada inisiatif dari pemkab, namun soal anggaran tidak melekat di Disperindag, sehingga dirinya tidak mengetahui.
BACA JUGA : Proyek Lapak Alun-Alun Disetop
Sebelumnya juga, Ketua komisi I DPRD Halut Irfan Soekoenay menegaskan proyek lapak tersebut telah dihentikan, menyusul pertemuan antara badan anggaran (Banggar) DPRD Halut bersama tim anggaran pemerintah daerah (TAPD) Pemkab Halut. ”Pekerjaan proyek lapak di alun-alun telah dihentikan setelah DPRD dan TAPD bersepakat dalam pertemuan beberapa hari kemarin. Sebab musabab dihentikan proyek ini, karena sumber pengadaannya tidak jelas atau intinya tidak punya dasar kesepakatan,” katanya, Selasa (14/9).
Menurut ketua DPC PKB Halut ini, dalam pertemuan bersama TAPD Pemkab Halut telah mencetuskan beberapa poin penting terkait proyek tersebut, salah satunya disepakati untuk tidak berlakukan tagihan terhadap pengguna lapak. ”Perlu diketahui bahwa tidak dasar kesepakatan atas proyek lapak antara Pemda, DPRD dan pihak ketiga,”jelasnya.
Selain menolak tagihan lanjut Irfan, DPRD dan Pemkab Halut juga bersepakat untuk alokasikan anggaran proyek tersebut pada tahun 2022 nanti. ”Jadi memang sudah disepakati untuk siapkan anggaran proyek itu di 2022, dimana telah dianggarkan sebesar Rp 1,7 miliar,” ungkapnya.
BACA JUGA : Lapak Usaha Alun-alun Diseragamkan, Uang Muka Rp 1,5 Juta
Meski demikian, belum lama ini penyeragaman lapak berdampak pada pemilik lapak sebelumnya. Pada Jumat (17/9), pedagang sempat mengamuk. Dia mempertanyakan lapaknya yang sudah dimiliki orang lain. “Masa saya pe (punya) tempat ini, terus tanpa pemberitahuan, dorang (pihak kontraktor) kasih di orang yang sebelumnya tara (tidak) pernah berjualan disini,” kata Tuti, pemilik lapak sebelumnya.
Kejadian tersebut rupanya disaksikan langsung anggota DPRD Sahril H Rauf. Dia pun menegaskan, dia (Tuti) punya hak untuk marah serta mempertanyakan. Apalagi proyek lapak yang sementara dibangun itu jelas-jelas tidak sesuai prosedur dan mekanisme birokrasi di daerah sebagaimana amanat Undang-Undang (UU).
“Wajar kalau pedagang marah atau mengamuk dikarenakan status tanah ini jelas-jelas milik Negara dan itu warga punya hak untuk berjualan disini. Begitu juga kontraktor sebagai warga Negara punya Hak, tetapi ingat pembangunan yang dilakukan ini sangat tidak berdasar. Kami DPRD menolak pembangunan ini,” tegas Sahril, kepada sejumlah awak media belum lama ini.
Dia juga menyebut, apabila pembangunan lapak kontainer terus berlanjut, sudah pasti akan banyak yang mempersoalkan. “Percaya saja hal ini akan jadi masalah kalau pihak kontraktor paksakan,” ucapnya.
Dia juga mengimbau kepada seluruh para pedagang yang berjualan di lokasi tersebut, jika ada paksaan dari pihak kontraktor untuk membongkar lapak, langsung saja dilapor ke DPRD Halut. “Kalau ada tekanan-tekanan tolong laporkan ke kami di DPRD,” pungkas Sahril.(cw/san/fir)