MIRIP berita Syahrini dan Reino Barack. Sudah lebih sepekan, masih saja menjadi sajian utama di layar kaca. Terutama infotainment.
Demikian pula PT Karapoto. Masih menjadi headline media lokal Maluku Utara. Mungkin karena masih banyak misteri yang belum terpecahkan.
Mungkin saja karena jumlah nasabah yang banyak. Mungkin juga jumlah uang yang fantastis. Sebelum ada kepastian cair, maka berita ini masih hangat.
Perkembangan terbaru, Dewan Kota (Dekot) Ternate mulai menjadi sasaran tembak nasabah. Menjadi fasilitator. Antara bos Karapoto dengan nasabah.
Dekot, meski banyak persoalan kemasyarakatan yang perlu diurusi, pasrah saja. Apalagi ada ancaman golput dalam pemilu. Serba salah. Nasabah punya hak suara. Penentu siapa yang duduk di kursi dekot Ternate nantinya.
Perkembangan lain. Uang nasabah kabarnya diinvestasikan ke Hongkong. Benarkah? Ini yang dikatakan Wakil Ketua Dekot Ternate, Mubin A Wahid. Dia pun mendapat penjelasan itu dari bos Karapoto sendiri.
Menjadi aneh, karena kata para pengacara PT Karapoto, kliennya bukan perusahaan investasi. Tetapi perusahaan jasa finansial teknologi (Fintech). Atau yang dikenal saat ini investasi online alias pendanaan peer to peer (p2p) lending.
Kalau di kampung-kampung, mungkin ini system pinjam meminjam melalui perantara. Si A pemberi pinjaman. Si B perantaranya. Dan C si peminjam.
Modal si B hanya keyakinan kepada si C. Bahwa dia akan mengembalikan pinjaman disertai bunga sesuai kesepakatan. Ini pula yang diyakinkan kepada A si pemberi pinjaman.
Yang sederhana seperti itu. Dulu. Kini perantara memanfaatkan fasilitas daring (dalam jaringan). Berbekal jaringan internet dan website. Lebih canggih.
Bahkan ada perusahaan lain mirip Karapoto yang sudah menggunakan teknologi AI (Artificial Intelligence) dan Machine Learning. Fasilitas ini digunakan untuk menyeleksi kredibilitas si peminjam.
Dalam dunia fintech p2p lending, seperti yang dipraktekan Karapoto. Si
pemberi pinjaman disebut lender. Sementara pihak peminjam disebut borrower.
Karapoto bukan salah satunya. Banyak fintech p2p lending di Indonesia. Yang resmi terdaftar dan diawasi OJK jumlahnya sebanyak 99 perusahaan. Belum yang illegal mencapai ratusan perusahaan.
Bayangkan saja, saat ini puluhan perusahaan berebut untuk menjaring lender. Berbagai cara dilakukan. Salah satunya merebut simpati lender dengan tawaran bonus yang fantastis.
Namun, justru disinilah letak masalah. Sebagaimana kata beberapa pengamat fintech di Indonesia. Disebutkan, keuntungannya 5-10% per bulan, itu sudah tidak masuk akal.
Hitung saja kalau imbalan Bungan 5% per bulan, berarti setahunnya 60%. Jelas angka itu tidak rasional. Sebab suku bunga p2p lending resmi hanya sekira 1,5-2,5% per bulan. Selain itu, yang sering dilupakan masyarakat adalah detail kontrak pendanaan online.
Hal ini tentunya menjadi pelajaran. Bisnis fintech p2p lending memang menjanjikan. Namun, calon lender harus memahami dulu sejak awal. Kemudian ada kontrak pendanaan sebelum menyetujui pendanaan. Karena dalam kontrak itu ada poin-poin penting, termasuk resiko kerugian.
Nah, silakan menilai. Semoga perusahaan yang diinvestasikan di Hongkong bisa dicairkan, tanpa ada kendala ekonomi perang dagang Amerika vs China. (*)