Maluku UtaraTernate

JATAM Malut Soroti Bisnis Tambang Gubernur Sherly

×

JATAM Malut Soroti Bisnis Tambang Gubernur Sherly

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi JATAM gebuk gurita bisnis tambang

HARIANHALMAHERA.COM– Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Maluku Utara (Malut) mencium aroma bisnis pertambangan dibalik rencana pembukaan ruas jalan antar wilayah, yaitu Sofifi-Ekor-Subaim, Kabupaten Halmahera Timur (Haltim) dan Kobe, Kabupaten Halmahera Tengah (Halteng). Pihaknya pun menduga rencana pengada proyek jalan tersebut hanya upaya meningkatkan investasi tambang Gubernur Malut, Sherly Tjoanda dan keluarganya..

JATAM pun menyoroti konsentrasi kekuasaan dan jaringan bisnis ekstraktif keluarga Sherly Tjoanda sebelum dan setelah ia menduduki kekuasaan di Provinsi Malut. Hal itu disampaikan JATAM melalui siaran press bersama simpul JATAM yang merilis catatan kritis berjudul “Konflik Kepentingan di Balik Gurita Bisnis Gubernur Maluku Utara”, pada Rabu 29 Oktober 2025.

Dalam release tersebut, JATAM pun menyebutkan bahwa Sherly Tjoanda tidak hanya terlihat sebagai aktor politik, akan tetapi juga sebagai pebisnis tambang yang terafiliasi dengan jaringan perusahaan dengan menguasai lahan dan sumber daya alam (SDM) di provinsi tersebut.

Menurutnya, temuan utama menunjukkan pola dukungan pemerintahan Sherly terhadap korporasi tambang, meskipun warga menghadapi kekerasan, kriminalisasi, intimidasi, kehilangan ruang hidup akibat serbuan industri ekstraktif, seperti di Maba Sangaji, Haltim.

Narasi pertumbuhan ekonomi dua digit yang sering dibangga-banggakan lanjut JATAM, ternyata tidak menyentuh realitas akar rumput, yang memperlihatkan dampak sosial dan ekologis yang semakin dalam.

Justeru lanjut JATAM Malut, kriminalisasi warga Maba Sangaji serta penolakan warga di Pulau Obi dan Halmahera hanyalah sebagian contoh dari konflik agraria maupun lingkungan yang sering diabaikan.

JATAM Malut menyampaikan bahwa laporan ini mengungkap tentakel jaringan bisnis keluarga Sherly yang meluas, yaitu PT Karya Wijaya, yakni tambang nikel di Pulau Gebe, PT Bela Sarana Permai, tambang pasir besi di Wooi di Obi, PT Amazing Tabara, tambang emas, PT Indonesia Mas Mulia, tambang emas, PT Bela Kencana, tambang nikel, serta entitas lain dibawah kelompok keluarga Laos-Tjoanda.

Kepemilikan mayoritas disebut JATAM Malut bahwa jabatan komisaris dan kendali operasional yang erat dengan pejabat publik memunculkan isu konflik kepentingan antara jabatan politik maupun kepemilikan perusahaan tambang.

Di PT Karya Wijaya sendiri sambung JATAM Malut, ternyata kepemilikan mayoritas berubah signifikan pada akhir 2024: Sherly menjadi pemegang saham terbesar (71%), menggantikan Benny Laos yang wafat; sisanya dibagi rata ke tiga anaknya (masing-masing 8%). Pergeseran ini menandai fase transisi kendali bisnis keluarga.

Selain memperkuat posisi di Karya Wijaya, Sherly tercatat sebagai direktur dan pemegang saham 25,5% di PT. Bela Group, induk beragam lini bisnis keluarga Laos.  Kepemilikan mendiang suaminya masih terlihat di entitas-entitas bahwa grup seperti PT. Bela Kencana (40%), PT. Bela Sarana Permai (98%), dan PT, Amazing Tabara (90%).

PT Bela Co, melalui konstruksi, menguasai 30% saham di PT. Indonesia Mas Mulia (85% dikuasai Bela Group). Anggota keluarga dekat, termasuk Robert Tjoanda, juga memiliki bagian kecil (1%), menandakan jaringan perusahaan terintegrasi dalam lingkar keluarga.

Wilayah operasional perusahaan tersebar luas di Malut, mencerminkan luasnya jejaring usaha keluarga Laos-Tjoanda di sektor sumber daya alam. Misalnya, PT Karya Wijaya mengelola dua konsesi nikel: di Pulau Gebe (500 hektare, izin 2020) dan Halmahera (1.145 hektare, izin Januari 2025).

Kemudian izin terakhir bertepatan dengan momentum Pilgub saat Sherly mencalonkan diri menggantikan suaminya. Selain nikel, kelompok ini aktif di emas dan tembaga di PT. Indonesia Mas Mulia (4.800 hektar di Halmahera Selatan) serta di sektor pasir besi lewat PT. Bela Sarana Permai di Pulau Obi (4.290 hektare).

Potensi pelanggaran kepentingan muncul dari tumpang tindih kewenangan eksekutif dan kepentingan ekonomi. Pembaruan izin konsesi nikel di PT. Karya Wijaya kerap terjadi pada masa transisi pilkada, dengan proses penerbitan izin yang diduga tidak sepenuhnya sesuai prosedur:

Sementara masuk sistem MODI tanpa lelang, izin PPKH belum lengkap, serta tidak ada jaminan reklamasi. Investigasi DPR RI dan dorongan masyarakat sipil menunjukkan bahwa pengawasan terhadap operasi perusahaan milik keluarga kepala daerah lemah, memungkinkan pelanggaran regulasi dan potensi kehilangan penerimaan negara.

Dampak ekologis dan sosial juga nyata: deforestasi di Obi, pencemaran air di Halmahera Selatan, krisis air bersih, dan konflik di pulau Gebe akibat tumpang tindih klaim konsesi. Alih-alih melindungi warga dan ekosistem, terdapat indikasi bahwa kepentingan ekonomi keluarga memberi insentif bagi pengelolaan SDA yang dikendalikan oleh pejabat publik.

Secara hukum, pelanggaran etika dan potensi konflik kepentingan muncul karena rangkap jabatan kepala daerah sebagai pengurus atau pemegang saham perusahaan swasta.

Undang-Undang (UU) Administrasi Pemerintahan, UU Pemda dan Peraturan KPK menegaskan larangan konflik kepentingan dan rangkap jabatan bagi pejabat publik. Praktik semacam ini berisiko melanggar aturan formal dan merusak kepercayaan publik.(red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *