Oleh: Yudhi Hertanto
Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
SEJENAK lupakan Pilpres dengan berbagai kontroversinya, kita perlu sabar menunggu rekapitulasi KPU.
Kini beranjak pada persoalan peta legislatif, mengacu perhitungan cepat sementara alias Quick Count. Karena data pada kalkulasi Pileg relatif tidak mengalami deraan permasalahan dibanding Pilpres.
Kalau Pilpres bermasalah, apakah Pileg juga bermasalah? Berbeda, karena surat suaranya terpisah, meski kebetulan dilaksanakan pada saat yang bersamaan secara serentak.
Apakah bila ada human error di Pilpres, tidak terjadi di Pileg? Mungkin saja, maka tugas partai yang berkontestasi penting untuk menjaga dan mengawal perolehan suara, sampai perhitungan final KPU.
Sekali lagi hitung cepat sementara atau Quick Count adalah indikasi awal, bukan hasil akhir. Dengan kata lain, Quick Count memang bukan hasil dari produk KPU dan tidak dapat menentukan keputusan legal. Tapi bisa dijadikan rujukan temporer.
Dengan segala situasi yang terjadi pada Pemilu kali ini, maka perlu ada evaluasi penuh dalam penyelenggaraan, guna mendapatkan koreksi bagi demokrasi yang lebih baik.
Sekedar catatan, ada beberapa hal yang perlu dibenahi, (a) manajemen logistik, terkait dengan persiapan lokasi beserta prasarana pendukung, (b) model pelaksanaan, Pemilu serentak kali ini efektif dan efisien karena sekali penyelenggaraan, tetapi menguras tenaga, bahkan memakan korban para petugas pelaksana, (c) pola kampanye yang terbilang panjang, melelahkan emosi dan fisik publik, membuat kita tidak bisa keluar dari periode wait and see atas proses dan hasil Pemilu.
Selain itu, (d) hiruk pikuk Pilpres mendegradasi Pileg, kita secara riil tidak memiliki pengetahuan rekam jejak para wakil di legislatif, (e) kisruh hasil perhitungan, sistem databased dan pengumpulan hasil dari tingkat terbawah terkendala proses akurasi, verifikasi dan validasi yang menimbulkan mispersepsi, bila tidak ditangani menjadi sumber kekacauan baru.
Mereka yang Tak Lolos
Mengacu pada komposisi perolehan suara partai politik, setidaknya konfigurasi partai politik yang akan berpentas di Senayan tetap mewakili kekuatan partai politik yang ada saat ini. Kemampuan partai-partai baru masih jauh dari pencapaian parliament threshold sebagai ambang batas.
Apa faktor penyebabnya? Penguasaan pasar pemilih dan penetapan tematik isu untuk menggarap segmen serta target pemilih masih jauh panggang dari api. Dalam hal ini partai-partai tersebut terbagi menjadi beberapa cluster sesuai Quick Count Kompas, diantaranya:
(a) cluster partai baru dengan tingkat keterkenalan yang baik di media maupun aktor politik, yakni PSI (2.07%) dan Perindo (2.85%).
Membidik pemilih milenial semata, sebagaimana yang dikerjakan PSI terbukti gagal, glorifikasi milenial terjadi, dan semua partai masuk ke lapisan pemilih tersebut, bagi partai baru yang tanpa basis dukungan terlatih di kancah pemilu, sebagai pemilih tradisional maupun kader loyal, sehingga praktis hanya mengandalkan keterkenalan figur.
Iklan politik yang out of context menempel di benak publik, tetapi tidak terkonversi menjadi dukungan. Bisa jadi kurang dipahami, sehingga diakseptasi secara minimal.
Bagaimana dengan Perindo? Sebuah partai dengan format dukungan dari grup media nasional, praktis menumpukan kekuatannya pada kemampuan untuk memenuhi ruang publik dengan iklan partai, bahkan telah digarap sejak jauh-jauh hari. Tetapi dominasi iklan dengan kombinasi kekuatan figur yang terbatas, membuat hasil yang diperoleh tidak optimal. Padahal, akses kuasa media sudah terkonsolidasi.
Ada ketimpangan antara audiens media massa dengan target khalayak politik, Perindo seolah menyamaratakan pemilih dengan penonton, sebuah kategorisasi yang berbeda dalam aspek ketertarikan pada tema, isu dan program yang ditawarkan, lebih dari sekedar pengenalan nomor, nama, lambang dan mars partai bahkan figur Ketua Partai politik semata.
(b) cluster partai yang memiliki pengalaman kontestasi 2014 sebagai partai kecil, dan lolos kembali untuk berkontestasi di 2019, yakni Hanura (1.35%), PBB (0.75%) dan PKPI (0.23%).
Bagaimana menyoal Partai Hanura, PBB dan PKPI? Pengalaman melewati berbagai periode pemilu sebelumnya ternyata bukan jaminan. Tokoh partai berlevel nasional tidak mampu mendongkrak keterpilihan. Gelanggang politik yang berubah secara dinamis tidak mampu diantisipasi, terlebih friksi dan perpecahan internal partai terjadi, semakin mengecilkan potensi untuk mendulang suara.
Terkait Hanura, ambigu Ketua Partai yang justru mencoba melenggang melalui DPD adalah bentuk anomali. Sementara PBB, kegamangan untuk menyatukan kekuatan partai, semakin menyulitkan dan seolah terlambat terjadi ketika Ketua Partai justru masuk ke ruang pertempuran Pilpres yang tidak mendapat dukungan dari arus bawah.
Dibagian yang nampak terpuruk adalah PKPI, upaya regenerasi kepemimpinan, serta dukungan pada incumbent di Pilpres ternyata tidak mampu menjadi sarana efektif dalam mendulang suara, bahkan hasil perolehan suaranya merupakan yang terkecil diantara seluruh partai kontestan, berdasarkan Quick Count.
(c) cluster partai baru yang terafiliasi pada kekuatan historikal, ataupun yang tidak tersosialisasi ke publik sebagai partai debutan, yakni Berkarya (2.12%) dan Garuda (0.53%).
Pada sisi ini, Partai Berkarya sebagai besutan keluarga Cendana dengan figur Tommy Soeharto mencoba menghadirkan romantisme masa lalu, menggunakan basis kekuatan pecahan Golkar yang masih terasosiasi dengan Orde Baru adalah basis yang menjadi konstituen partai. Sementara itu, Partai Garuda memang kurang terlihat sejak awal kemunculannya. Agresivitas yang rendah dan kemampuan terbatas menempatkan partai ini dengan perolehan yang minimal.
Peta Wakil Rakyat 2019
Bila kita telaah atas perolehan beberapa partai yang lolos ke parlemen, maka basis ikatan yang mungkin dilakukan adalah berdasarkan cluster perolehan suara yang terpolarisasi pada dukungan pada kekuatan kontestasi Pilpres. Dengan begitu dapat diurai menjadi:
(a) partai besar kekuatan pendukung petahana tingkat perolehan suara di atas 10%, yakni PDIP (19.97%) dan Golkar (11.89%). Keduanya akan menjadi lead koalisi yang menentukan serta memainkan pola pembagian tugas di parlemen. PDI-P jelas partai yang mendapatkan dampak elektabilitas melalui jalur Pilpres, karena yang dimajukan adalah figur dari PDI-P.
Sedangkan Golkar, tetap teruji sebagai partai yang memiliki kemampuan pengelolaan organisasi meski dirundung berbagai masalah hukum mulai dari Ketua Partai hingga kader terbaiknya. Meski suaranya terkoreksi, Golkar masih menjadi partai berpengaruh.
(b) partai menengah dengan rentang dukungan 5-10% disisi incumbent, yaitu PKB (9.27%) dan Nasdem (8.27%). Merupakan loyalis petahana yang konsisten, tentu akan menjadi pelengkap benteng koalisi dari gempuran kontestan oposisi. PKB menjadi pemain kunci koalisi, kemampuan mengusung figur yang merepresentasikan NU sebagai kekuatan inti PKB membuat suaranya bertambah.
Sementara Nasdem menguatkan mekanisme kampanye above the line pada media pemberitaan yang dimilikinya, serta kemampuan untuk masuk bersama di daerah kubu koalisi membuat Nasdem memiliki peluang perluasan pengaruh, menjadi penjelas kenaikan suaranya.
(c) partai kecil dengan suara parlemen dibawah 5%, praktis tersisa PPP (4.6%) menjadi elemen penyerta bagi petahana, tentu akan berkonsentrasi melakukan pemulihan partai pasca persoalan internal yang mendera dan kasus OTT KPK Ketua Partainya. Penurunan suara PPP terjadi secara dalam, meski masih terbantu dengan dukungan pemilih tradisional PPP.
Secara keseluruhan koalisi petahana yang mampu meloloskan diri dari batas aman melaju ke parlemen mencapai 54% sebuah angka yang terbilang besar, meski tidak dominan, dengan demikian hasil kompromi dan negosiasi di antara anggota koalisi menjadi titik pencipta keteraturan dan harmoni. Meski PDI-P menjadi yang terbesar, tetapi tetap dibutuhkan kawan sebarisan untuk memuluskan jalan kekuasaan.
Di bagian kelompok partai politik yang menjadi penantang, maka perolehan suara yang didapat terbilang merata, hanya terbagi menjadi dua cluster saja, yakni:
(a) partai besar dengan perolehan diatas 10%, yang secara praktis hanya diisi Gerindra (12.84%) sebagai penentu koalisi oposisi, akan berperan menjadi penggerak dan inisiator. Keuntungan efek ekor jas diperoleh karena partai ini menjadi partai asal dari pasangan yang berkontestasi di Pilpres. Hal tersebut yang menjelaskan kenaikan suara Gerindra. Basis tradisional nasionalis pemilih Gerindra, terbukti memiliki struktur yang telah teruji.
(b) partai menengah dengan dukungan diantara 5-10%, terisi oleh PKS(8.62%), Demokrat (8.03%) dan PAN (6.62%). Kekuatan gabungan ini masih menjadi potensi pendukung kekuatan oposisi.
Bila dirunut dengan aspek riwayat oposisi, PKS adalah sekondan Gerindra. Sejak 2014, PKS adalah partner yang tidak terpisahkan dalam banyak kesempatan agenda politik. Kekuatan kader dengan kemampuan mobilisasi yang baik membuat PKS mampu melewati tantangan Pemilu yang semakin dinamis. Tidak heran perolehannya justru mengalami kenaikan.
Sementara itu Demokrat, pasca estafet figur sentral dari SBY ke AHY perlu melakukan perbaikan pola komunikasi internal, terlebih akibat luka dalam akibat terseretnya kader Demokrat pada berbagai kasus hukum serta konflik internal setelah masa lepas jabatan SBY sebagai presiden pada 2014.
Penurunan perolehan suara Demokrat terbilang signifikan, perlu ada koreksi lebih lanjut strategi partai. Ada kemungkinan berkompromi dengan pemenang Pilpres adalah cara yang dapat ditempuh.
Pada sisi lain, pola penempatan caleg di PAN yang mengandalkan tingkat popularitas publik, tetap mampu meraih simpati publik meski perlu berjuang lebih keras untuk menyakinkan basis pemilihnya.
Salah satu penghambat laju penurunan basis suara PAN secara lebih dalam adalah karena komitmen untuk berada di jalur umat, dengan pendekatan berbasis identitas keagamaan. Dalam rekam jejaknya di 2014, PAN pernah berayun merapat pada kekuasaan.
Kalkulasi suara oposisi dalam yang posisi belum terpecah akan ada disekitaran porsi 36 persen, sebuah bekalan yang baik untuk memainkan peran signifikan bagi upaya penyeimbang. Tetapi bila terbelah, praktis kekuatan efektif oposan akan menjadi lebih kecil dalam memainkan penentuan legislasi.
Masa Depan Politik
Konfigurasi partai politik ini, akan menjadi modal di 2024, setidaknya kerja terukur perlu dirumuskan sejak saat ini. bagi yang masuk di lingkar kekuasaan, metode penerapan janji kampanye, disertai dengan bentuk kompromi kabinet, plus upaya mempertahankan modalitas politik untuk kontestasi periode lima tahun mendatang akan mulai diformulasi.
Hasil Pilpres yang masih perlu ditunggu akan menentukan model kesetimbangan antara tarikan kekuasaan eksekutif dan legislatif. Bila petahana kembali dikukuhkan, maka plot kombinasi keduanya eksekutif sekaligus legislatif akan menjadi kesatuan gerak karena perolehan Pileg yang mayoritas.
Sementara bila oposisi di Pilpres memenangi kontestasi, maka perolehan koalisi legislatif yang tidak dominan akan semakin menguatkan persaingan, terkecuali mampu menarik posisi partai terlemah kubu lawan untuk berbalik arah.
Sementara itu, bagi oposisi ketika kekuasaan tidak mampu diraih, maka proses persuasi publik dapat dijadikan sebagai metode dalam membangun modalitas sosial, berada berseberangan dengan kekuasaan menciptakan ruang berjarak, sehingga mampu memainkan peran artikulasi kepentingan publik, bila hal tersebut dapat dilakukan secara efektif tentu akan menjadi surplus dukungan politik.
Maka masih menarik peta politik jelang penetapan final KPU nantinya, karena kita akan melihat suguhan bagaimana kekuasaan dibangun, disusun dan dikompromikan diantara mereka yang menang dalam kompetisi.
Wilayah perdebatan bisa dipastikan tidak akan pernah berhenti dalam dunia politik.
Hal ini menegaskan bila kekalahan pada kontestasi politik, bukan berarti tidak mampu memberi warna berbeda, karena dalam demokrasi hakikat sesungguhnya kepentingan publik penting disuarakan, untuk mendapatkan simpati dalam mempersiapkan sirkulasi kekuasaan elit!(*)
Sumber: https://rmol.co/read/2019/04/22/387115/catatan-pemilu-dan-wajah-wakil-rakyat