Opini

Dekonstruksi Politik Uang

×

Dekonstruksi Politik Uang

Sebarkan artikel ini

Oleh: Ribut Lupiyanto
Deputi Direktur Center for Public Capacity Acceleration (C-Publica)

 

PEMILIHAN Umum (Pemilu) 2019 telah masuk tahap kampanye terbuka. Panasnya suhu politik menjadi kewajaran dan keniscayaan. Demikian pula hadirnya kerawanan, seperti gesekan hingga konflik dan politik uang.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menegaskan fatwa haram atas hukum politik uang (money politic). Politik uang dinilai haram karena termasuk suap (rasywah).

Politik uang menjadi bibit korupsi yang menjadi penyakit kronis Indonesia. Politik uang yang tidak logis jika ditilik dalam kalkulasi gaji sangat rentan menimbulkan malapraktik politik, seperti korupsi dan gratifikasi. Apa pun yang terjadi, politik uang mesti dilawan demi meminimalkan korupsi 5 tahun mendatang. Dekonstruksi politik uang dalam kontestasi demokrasi menjadi harga mati.

Modus dan Konsepsi

Korupsi politik bertengger di jajaran atas kasus korupsi di negeri ini. KPK menyebut 60% lebih pelaku tindak pidana korupsi yang ditangani merupakan politikus. Data penanganan perkara KPK (2018) mengungkapkan sekitar 61,17% orang pelaku diproses dalam kasus korupsi yang berdimensi politik, yaitu 69 anggota DPR, 149 anggota DPRD, 104 kepala daerah, dan 223 orang pihak lain yang terkait dalam perkara tersebut.

JPPR (2014) memaparkan ada dua modus operandi yang umum terjadi pada praktik politik uang dalam pemilu. Pertama, modus politik uang dapat dilakukan antara peserta pemilu atau tim sukses dan pemilih. Modus itu paling lazim terjadi dengan sebaran yang diindikasikan semakin luas. Publik kadang tidak berdaya menerima, tidak sadar sebagai politik uang, menerima demi kepentingan publik, dan sebagian kecil proaktif meminta karena desakan ekonomi.

Kedua, antara kandidat atau tim sukses dan penyelenggara, mulai KPPS hingga KPU. Modus di antara kandidat dan penyelenggara berjalan dua arah. Hal itu karena upah penyelenggara yang dianggap rendah dan iming-iming peserta yang menggiurkan. Imbalan politik uang biasanya ialah  manipulasi suara dalam rekapitulasi.

Derrida (1970) menjelaskan dekonstruksi dapat dimengerti sebagai deskripsi yang ditujukan pada dua pergerakan ganda, yaitu melakukan destruksi atau pembongkaran sekaligus remanage atau menata kembali.

Dekonstruksi sebagai gerakan destruksi merujuk pada usaha pengurangan, penurunan, atau pelepasan atas suatu bentuk, susunan, atau struktur sosial yang keberadaannya sudah terbangun. Sementara itu, penataan kembali (remanage) memuat makna bahwa dekonstruksi tidak semata melakukan pengurangan atau penurunan, tetapi juga diikuti dengan usaha mengatur, menata, dan menyusun ulang.

Dekonstruksi politik ialah upaya pembongkaran sekaligus perbaikan terhadap segala dimensi politik. Pembongkaran dan perbaikan tersebut dijalankan melalui pelepasan, pembongkaran, dan penataan kembali pada segala apa yang berorientasi pragmatis, menuju sebuah sistem sosial politik yang menjunjung tinggi nilai idealis. Baik pembongkaran dan perbaikan tersebut menyangkut sistem, struktur, bentuk, maupun konstruksi konsep politik itu sendiri (Hannan, 2016).

Strategi Dekonstruksi

Politik uang tidak jarang dikaburkan dengan biaya politik. Biaya politik ditujukan untuk aktivitas politik yang direstui regulasi, sedangkan batasan politik uang ialah menjanjikan sesuatu agar pemilih tidak menggunakan atau menggunakan hak pilihnya.

Tindak politik uang semakin sistematis, berjaringan rapi, dan bervariasi bentuknya. Politik uang tidak bisa terjadi jika bertepuk sebelah tangan. Ada pemberi dan harus ada penerima. Fakta ini menuntut keterpaduan penghadangan dari semua lini dan komponen.

Pertama, dari sisi peserta pemilu. Caleg dan parpol mesti menunjukkan kejujuran dan kedewasaan berpolitik. Politik uang juga perlu disadari hanyalah mitos politik. Survei Charta Politika (2019) memang menunjukkan bahwa masyarakat masih memiliki budaya permisif terhadap praktik politik uang atau pemberian hadiah saat kampanye. Namun, politik uang tidak menjamin terpilihnya kandidat tersebut. Kajian ICW juga menyebutkan bahwa politik uang tidak linear dengan hasil pemilihan dalam pemilu.

Rangkuti (2019) mengklaim tingkat keterpengaruhan politik uang terhadap pemilih lambat laun menurun. Tingkat pengaruh politik uang terhadap pemilih 2019 ini di bawah 30%. Riset Muhtadi (2014) bahkan menunjukkan bahwa pengaruh politik uang pada Pemilu 2014 hanya berkisar 10%-11%.

Kedua, dari sisi penyelenggara pemilu. KPU mestinya mengeluarkan regulasi rinci terkait dengan bentuk-bentuk kampanye yang tergolong politik uang. Selama ini, definisi politik uang terlalu umum dan sering kabur dalam menilai kasus. Sosialisai penting dilakukan masif bekerja sama dengan pemerintah daerah dan jajarannya. Bawaslu juga mesti tegas dan adil dalam menegakkan aturan terkait dengan politik uang. Lembaga pengawas itu mesti peka mencermati modifikasi politik uang yang semakin dikemas kreatif.

Ketiga, dari sisi publik. Publik mesti cerdas memilah dan memilih antara politik uang yang haram dan biaya politik yang halal. Kesadaran awal penting ditumbuhkan bahwa politik uang merupakan bibit penyakit korupsi. Amplop yang bernilai tidak seberapa hanya akan dinikmati sesaat, tetapi uang rakyat dengan nilai berlipat akan berpotensi digarong selama menjabat. Publik membutuhkan pendidikan politik yang mencerahkan. Publik juga dapat didorong menjadi pengawas lapangan yang siap proaktif melaporkan jika terjadi tindak politik uang.

Keempat, dari sisi masyarakat sipil, seperti LSM dan akademisi. Komponen ini ditunggu perannya dalam melakukan pendidikan politik. Informasi akurat dan rinci dibutuhkan publik. Gerakan sosial juga penting digalang dalam rangka menghadang politik uang. Politik uang mesti gencar dikampanyekan sebagai kejahatan politik dan musuh bersama bangsa.

Politik uang itu ibarat kentut. Diyakini ada dan sudah menjadi rahasia umum, tetapi susah sekali melacak dan menangkapnya. Langkah terpenting ialah bagaimana bisa mencegahnya. Pendekatan spiritualitas dan moralitas penting ditempuh secara implementatif untuk pencegahan. Penegakan hukum juga penting untuk memberikan efek jera. Transparansi finansial mesti dituntut secara terbuka kepada peserta pemilu. Semua langkah itu menuntut pengoperasian yang penuh totalitas, integritas, keterpaduan, dan sistematis.(*)

Sumber: http://mediaindonesia.com/read/detail/227577-dekonstruksi-politik-uang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *