Opini

Konsumerisme Dalam Perayaan Natal

×

Konsumerisme Dalam Perayaan Natal

Sebarkan artikel ini

Oleh: Mutlaben Kapita
Pegiat Literasi Maluku Utara, Tokoh Pemuda Kao Barat

TIDAK terasa kini sudah memasuki bulan Desember, kalender mengingatkan pada kita bahwa perayaan Natal telah tiba. Rumah dan gereja kembali dihias dengan pohon Natal, lagu Natal pun berkumandang di mana-mana. Mall dan toko-toko ikut merayakan dengan menaruh pohon Natal di setiap sudut, pula banyak baliho dan spanduk mulai bertebaran yang bertuliskan, “Happy Merry Christmas”.
Suasana sukacita Natal begitu terasa di setiap bulan Desember. Sebab, pada bulan tersebut umat Kristen merayakan hari Natal sebagai wujud mengenang kisah lahirnya Sang Juru Selamat (Yesus).
Melacak sepintas sejarah perayaan Natal yang kini selalu kita rayakan sebagai perayaan lahirnya Yesus yang merupakan tokoh sentral dalam Agama Kristen. Patut diketahui bahwa perayaan Natal baru dimulai sekitar tahun 200 M di Aleksandria (Mesir).
Dimana para teolog Mesir menunjuk tanggal 20 Mei dan ada pula pada 19 Mei, juga ada 20 April. Sedangkan di tempat-tempat lain perayaan Natal dilakukan pada tanggal 5 dan 6 Januari; ada juga dirayakan bulan Desember.
Untuk perayaan Natal pada tanggal 25 Desember dimulai tahun 221 M oleh Sextus Julius Africanus (seorang pengelana dan sejarawan Kristen Romawi), dan baru diterima secara luas pada abad ke-5.
Apabila kita menelisik lebih jauh sejarah perayaan Natal, kita akan dibawa pada suatu perdebatan panjang: ada yang tidak mengakui Yesus lahir tanggal 25 Desember dan pula sebaliknya. Namun disini saya tidak mengulas hal itu, sebab tulisan ini lebih fokusnya pada esensi Natal yang sesungguhnya.

Konsumerisme
Dalam perayaan Natal, kita biasanya sibuk menyiapkan beragam hal, mulai dari menghias rumah dengan pernak-pernik Natal sampai pada kebutuhan material.
Kebutuhan material seakan menjadi wajib bagi kita dalam perayaan Natal, ini adalah suatu pola baru kapitalisme menjerat kita melalui produk. Kendati demikian, berapa pun harga dan dalam kondisi ekonomi separah apapun, kita tetap membelinya. Itu semua dengan alasan, persiapan menyambut hari lahirnya Sang Juru Selamat.
Ada istilah lazim bahwa dalam perayaan Natal ‘semua harus serba baru’. Pakaian ibadah harus baru, pula mengikuti trend model pakaian yang harus sesuai zaman, rambut (bagi perempuan) harus diluruskan atau merapikan (smoothing) dan lainnya.
Lihat saja, setiap perayaan Natal gereja seakan menjadi wadah di adakan kegiatan peragaan busana (fashion show). Gereja di penuhi dengan beragam model pakaian yang kita kenakan, masing-masing menunjukan gaya hidup (lifestyle) dan pakaian yang serba baru.
Begitu tampak budaya konsumerisme mewabah pada prilaku kita dalam setiap perayaan Natal, sehingga kemampuan ekonomi bukan lagi menjadi ukuran dalam pemenuhan kebutuhan, karena konstruksi berpikir yang sudah terkontaminasi dengan tradisi perayaan Natal sejak dulu yang penuh materialis.
Akibatnya Natal yang sejatinya dirayakan secara sederhana, apa adanya, berubah menjadi hari raya yang amat mewah dengan membutuhkan keuangan (financial) yang besar, karena beragam kebutuhan material harus dipenuhi.
Ironisnya lagi, perayaan Natal kadang diselipkan dengan acara ‘pesta’. Sehingga Natal yang sesungguhnya perayaan lahirnya putra tunggal Allah ke dunia dengan membawa kabar sukacita bagi seluruh umat yakni, misi pembebasan bagi kita dari belenggu dosa; malah kita menyambut dengan sukacita perayaan yang sifatnya hedonis.
Hal demikian mengakibatkan esensi Natal menjadi buram, sebab kita terperangkap pada jaring kapitalisme yang namanya konsumerisme.

Makna Natal
Bahwasanya perayaan Natal merupakan kegiatan keagamaan umat Kristen seluruh dunia yang dirayakan sebagai peringatan kisah lahirnya Yesus sebagai Sang Juru Selamat manusia. Melihat realitas, makna perayaan Natal mulai dikaburkan dengan sukacita budaya konsumerisme yang menjadi tujuan utama dalam perayaan Natal.
Padahal, perayaan Natal mestinya kita petik makna bahwa kelahiran Yesus di dalam palungan menyatakan pada kita tentang kesederhanaan; dan itu yang mestinya kita teladani dibalik kelahiran-Nya. (Lukas 2:12)
Olehnya itu, perayaan Natal tidak perlu berlebihan (mewah), sebab kemewahan yang tampak bukan menjadi tuntutan Allah kepada kita, melainkan kesederhanaan dan melihat kesungguhan hati merayakan akan kelahiran-Nya yang Allah butuhkan. (1 Sam 16:7)
Selain itu, Allah mengutus Anak-Nya datang ke dunia sebagai bukti nyata bahwa Dia begitu mengasihi kita, sehingga rela mengorbankan putra tunggal-Nya di salibkan hanya untuk membebaskan kita dari jeratan dosa. Maka, perayaan Natal bukan sekadar mengenang tetapi menjadi perenungan akan pengorbanan Allah kepada kita yang begitu besar.
Pengorbanan Allah harus kita balas setimpal kasih-Nya kepada kita dengan cara meneladani pribadi-Nya; bahwa kita harus rela berkorban untuk menyatakan kasih Allah kepada dunia dengan menjadi manusia yang saling menolong dan saling mengasihi antar sesama.
Apalagi dewasa ini, gereja-gereja dilanda beragam masalah baik secara internal bahkan eksternal. Perpecahan gereja pun tak terelakkan, sesama umat saling membenci, memusuhi, bahkan hingga berakhir pada kematian atas nama gereja.
Maka lewat perayaan Natal kita bangun kembali solidaritas untuk menjaga keutuhan umat Allah, sebab Allah mengutus Anak-Nya adalah membawa kabar baik dan kesukaan besar bagi seluruh umat manusia.
Untuk itu, merawat persaudaraan, menebarkan kasih Allah serta saling memberikan salam damai Natal bagi sesama adalah bagian dari makna Natal yang sejatinya.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *