Opini

Politik 2020 di Persimpangan Jalan

×

Politik 2020 di Persimpangan Jalan

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi Pilkada 2020 (Foto : Net)

Oleh: Gun Gun Heryanto

Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute, Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta, Presidium Asosiasi Ilmuwan Komunikasi Politik Indonesia (AIKPI)

 

DINAMIKA politik tak pernah berjalan linear. Banyak perulangan peristiwa, baik dengan aktor yang sama maupun berbeda, meski setiap kejadiannya kerap tak bergantung pada satu faktor saja. Membaca pola politik Indonesia, membutuhkan kejelian mengurai ragam faktor dan konteks dari setiap pergerakan aktor dalam sebuah peristiwa sebelum memakani pesan dari panggung yang disuguhkan.

Pun demikian, dengan panggung politik Indonesia di 2020, akan tetap berpola acak, cair, penuh kejutan, dan kompleks. Paling tidak ada dua catatan penting di awal tahun ini untuk memprediksi kecenderungan arah dan dinamika politik yang berkembang. Fenomena yang menggambarkan dilema di persimpangan jalan, antara tetap bergerak menuju perbaikan atau belok dan nyasar ke arah yang tidak seharusnya.

Mengomunikasikan Omnibus Law

Pertama, yang menarik diberikan catatan tahun ini akan terjadi tarik-menarik kepentingan politik yang alot terkait dengan rencana pemerintah dan DPR dalam hal omnibus law bidang politik. DPR dan pemerintah memang berupaya menyusun regulasi untuk menyederhanakan sistem politik dan pemerintahan Indonesia melalui penggabungan lima undang-undang (UU) ke dalam omnibus law bidang politik, di antaranya UU tentang Pemilu, UU tentang Pilkada, UU tentang Parpol, UU tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3), serta UU tentang Pemerintah Daerah. Rencana ini muncul saat Kemendagri berkonsultasi dengan pimpinan Komisi II, menjelang penepatan Prolegnas 2019-2024.

Niatan ini sesungguhnya baik saja jika mau dioptimalkan dalam pembenahan ragam UU yang kerap tak terhubung satu sama lainnya. Misalnya, rencana yang terkait dengan penggabungan sejumlah UU yang berhubungan dengan proses elektoral. Ikhtiar ini, bisa lebih menyinkronkan banyak hal. Misalnya, memastikan adanya mekanisme persyaratan yang seiring sejalan di tingkatan jabatan presiden, kepala daerah, dan lembaga legislatif. Menyinkronkan sejumlah teknis kepemiluan, proses pilkada dan pemilu berada dalam satu pengaturan. Hal substansial lain yang kerap bermasalah dalam penyelenggaraan pemilu, seperti pemuktahiran data kependudukan, pengaturan kampanye, dan penggunaan teknologi informasi.

Omnibus law dipraktikkan di beberapa negara, di antaranya Irlandia, Kanada, dan Amerika Serikat. Masalahnya, Indonesia belum punya pengalaman melakukan ini secara serius. Oleh karenanya, perlu kesiapan DPR terkait model pembahasan yang lain dari biasanya selama ini. Selain itu, proses politik juga dinilai akan menjadi kendala utama dalam merealisasikan omnibus law ini. Hal ini terutama jika membaca kebiasaan DPR dan pemerintah saat membahas UU bidang politik. Saat dirumuskan, justru sejumlah pasal dan ayat di UU bidang politik kerap dibuat ambigu, menjadi pengaman, bahkan sering menjadi mainan politik (political game) untuk menjadi strategi bertarung dengan kekuatan lain baik di MPR, DPR, DPRD, maupun saat proses-proses pemilu dan pilkada diselenggarakan.

Butuh pendekatan yang lebih substantif, yakni praktik demokrasi deliberatif dalam penyusunan omnibus law bidang politik ini. Kata deliberatif berasal dari kata Latin deliberatio yang artinya konsultasi, musyawarah, atau menimbang-nimbang. Demokrasi bersifat deliberatif jika proses mampu menghadirkan konsultasi publik atau diskursus publik.

Demokrasi deliberatif berupaya meningkatkan intensitas partisipasi warga negara dalam proses pebentukan aspirasi dan opini. Intensifikasi proses deliberasi lewat diskursus publik ini merupakan jalan untuk merealisasikan konsep demokrasi, regierung der regierten (pemerintahan oleh yang diperintah). Dengan demikian, ada kemauan dan kemampuan untuk membentuk konsensus dengan basis rasionalitas warga masyarakat.

Pembahasan sejumlah UU bidang politik yang sangat kompleks dan memiliki dampak pada sistem politik nasional kita, jangan dibuat dan disusun serampangan! Jangan bersifat elitis, hanya mempertimbangkan semata-mata strategi memenangi pertarungan mereka sendiri di masa mendatang. Sudah seharusnya mengoptimalkan semacam paradigma politik Grunigian. Dalam Managing Public Relations (1984), Grunig dan Hunt mendeskripsikan model ini sebagai upaya menciptakan pemahaman bersama dengan tindakan pokoknya pada keuntungan bersama (mutual benefit) antara pemerintah dan rakyat, bukan hanya elite!

Dalam menyusun omnibus law DPR jangan hanya terjebak pada tendensi mayoritarian (majoritarian tendency). Adam Przeworski dan Jose Maria Maravall dalam bukunya Democracy the Rule of Law (2003), menyebut mayoritarian sebagai agenda dan filosofi tradisional yang menyatakan bahwa mayoritas dalam populasi merupakan kelompok utama dan berhak membuat keputusan yang berpengaruh bagi masyarakat keseluruhan. Praktik koalisi besar parpol di DPR yang menjadi penyokong pemerintah saat ini, memungkinkan untuk meloloskan apa pun yang dikehendaki mereka menjadi UU. Catatannya, jangan sampai menegasikan suara atau kehendak rakyat!

Benar, bahwa keputusan mengesahkan UU jika tak disetujui aklamasi, pada akhirnya akan ditentukan suara mayoritas dari pemilik kursi DPR. Namun, sebagai wakil rakyat, tentu para anggota DPR juga wajib menjalankan fungsinya untuk menampung sebanyak mungkin kehendak publik melalui FGD, hearing, audiensi, expert panel, survei, naskah akademik pembanding, dan cara-cara lain dalam memperkaya dialog DPR dengan LSM, para akademisi, pegiat pemilu, elemen organisasi massa, dan organisasi kepemudaan.

Mengomunikasikan rencana penyusunan omnibus law bidang politik ini menjadi sangat penting dan strategis agar setiap upaya perbaikan mengarah untuk menguatkan kebaikan bersama (bonum commune), bukan semata-mata menyenangkan segelintir kelompok kecil yang memikirkan Indonesia dalam rentang jangka pendek. Melihat kebiasaaan dalam penyusunan UU bidang politik, memang menyeruak pesimisme. Alasannya karena dalam pembahasannya, DPR sering tidak visioner untuk jangka waktu panjang, melainkan lebih banyak memikirkan aspek BATNA (the best alternative to negosiated agreement) dari setiap pilihan yang mungkin dinegosiasikan dengan para mitra partai lain di DPR. Tujuannya guna mengamankan kepentingan strategis mereka. Regulasi menjadi semacam pertarungan pendahuluan sebelum pertarungan nyata pemilu atau pilkada datang kemudian.

Pilkada Serentak untuk Siapa

Kedua, yang penting juga diberi catatan dinamika politik kita tahun ini tentu saja penyelenggaraan pilkada serentak di 270 daerah se-Nusantara, dengan rincian sembilan pemilihan gubernur, 224 pemilihan bupati, dan 37 pemilihan wali kota. Pilkada tahun ini, melibatkan sekitar 107 juta pemilih atau 68% dari total daftar pemilih dalam Pemilu 2019. Dengan demikian, turut menentukan secara signifikan kualitas konsolidasi demokrasi Indonesia saat ini dan di masa mendatang.

Hal mendasar yang penting kita pikirkan sekarang, proses sirkulasi elite di pilkada ini untuk siapa? Apakah banyak daerah yang sudah berpilkada kondisinya membaik? Secara umum memang masih memprihatinkan sehingga sering membuat rakyat berada di persimpangan antara berpartispasi dalam pemilu dengan berkesadaran dan ikut serta dalam pilkada, tetapi lebih sekadar meramaikan pasar jual-beli suara. Selebihnya mungkin apatis untuk tak mau peduli apa yang sedang terjadi.

Celakanya, bagi banyak elite, pilkada kerap menjadi semata-mata sebagai finite game. James P Carse, dalam Finite and Infinite Games (1987), menjelaskan finite game sebagai permainan yang memiliki awal dan akhir khususnya tentang kekuasaan, yang kecenderungannya menjadi mekanisme memenangi kekuasaan belaka untuk kepentingan pribadi dan golongan. Situasi ini, lazim cuma menghadirkan finite player, yakni para politikus yang secara optimal menyalurkan hasratnya semata-mata guna mendapatkan ‘piala kekuasaan’ tak lebih dari itu.

Kita bisa menjadikan indeks demokrasi Indonesia (IDI) sebagai rujukan. Dari 11 variabel IDI 2018, ada tiga yang berkategori buruk, yakni partisipasi politik dalam pengambilan keputusan (54,28), peran DPRD (58,92), dan variabel peran birokrasi pemerintahan daerah (55,74). Dengan demikian, pilkada sudah seharusnya menjadi mekanisme demokratis yang dapat melahirkan para pemimpin transformatif. Berkat pilkada langsung memang mulai bermunculan para kepala daerah yang berkualitas, berintegritas, dan mampu mewujudkan banyak perubahan di daerahnya. Hanya, secara kuantitas jumlah mereka masih sangat minor ketimbang keberadaan kepala daerah yang bermasalah. Dengan demikian, agenda pilkada harus menjadi momentum evaluasi semua pihak, termasuk para pemilih.

Buruknya pemerintahan daerah, salah satunya yang utama banyak disebabkan oleh kepala daerah yang tidak punya kapasitas kepemimpinan, nirintegritas, serta minim jaringan komunikasi diferensial dalam menginisiasi banyak inovasi perubahaan di tengah banyak keterbatasan di daerahnya. Masalah menjadi lebih kompleks, saat kepala daerah yang dipilih lahir dari sebuah proses oligarki.

Menurut Jeffrey Winters, akademisi dari Northwestern University, dalam bukunya Oligarchy (2011), demokrasi kerap dikuasai kaum oligarki sehingga makin jauh dari cita-cita memakmurkan rakyat. Dalam International Encyclopedia of Social Sciences, oligarki didefinisikan sebagai bentuk pemerintahan yang kekuasaannya berada di tangan minoritas.

Yang menarik dari analisis Winters, menurutnya, oligarki menekankan kekuatan sumber daya material sebagai basis dan upaya pertahanan kekayaan pada diri mereka. Adanya ketidaksetaraan material tersebut kemudian menghasilkan ketidaksetaraan kekuasaan politik. Kondisi inilah yang terjadi di Indonesia. Secara faktual, kondisi ini terjadi pada pilkada di berbagai daerah. Penguasaan sumber daya material oleh seseorang atau sekelompok orang yang pada akhirnya melakukan penguasaan politik untuk melindungi kekayaan mereka. Fenomena ini bisa kita amati dalam praktik dinasti politik yang terjadi di banyak daerah atau juga fenomena ‘investor’ yang menjadikan kandidat sebagai pion dari beroperasinya kekayaan mereka di daerah bersangkutan.

Catatan khusus untuk Pilkada 2020, supaya bisa keluar dari dilema di persimpangan, wajib mengatasi tiga tantangan utama dalam hal penyelenggaraan pilkadanya, yakni integritas, profesionalisme, dan manajemen tata kelola pemilu. Selain itu, para kandidat harus memiliki kualitas sebagai petarung sejati, yakni integritas, kapasitas, dan pengalaman profesionalitas untuk perubahan daerah yang ingin dipimpinnya.

Pilkada serentak memang belum ideal, masih banyak sekali kelemahan-kelemahan mendasar dalam penyelenggarannya. Namun, di tengah maraknya ragam persoalan, pilkada langsung tetap harus dipertahankan karena tentu kita tak rela proses demokrasi kita melangkah mundur ke masa lalu, yakni pemimpin hanya ditentukan elite oligarki di DPRD.

Mengomunikasikan rencana penyusunan omnibus law bidang politik ini menjadi sangat penting dan strategis agar setiap upaya perbaikan mengarah untuk menguatkan kebaikan bersama (bonum commune), bukan semata-mata menyenangkan segelintir kelompok kecil yang memikirkan Indonesia dalam rentang jangka pendek.(*)

Sumber: https://mediaindonesia.com/read/detail/281465-politik-2020-di-persimpangan-jalan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *