Opini

Tarikan Politik Papua: Antara Merah Putih dan Bintang Kejora

×

Tarikan Politik Papua: Antara Merah Putih dan Bintang Kejora

Sebarkan artikel ini

Oleh: Muh. Ichwan R Silim
Pc. PMII Ternate

 

 

AKHIR-AKHIR ini situasi negara mulai terguncang. Beberapa waktu lalu persoalan rasisme terjadi. Bertempat di Surabaya dan Malang yang berujung panjang pada demo besar-besaran di Makasar, Manokwari, Sorong, dan Jayapura.

Demo juga terjadi di depan istana Presiden, dan terakhir ditolaknya kunjungan Gubernur Papua Lukas Enembe dan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa di asrama mahasiswa Papua, Surabaya.

Peristiwa ini menjadi sorotan media massa nasional disela-sela rendahnya pemberitaan mengenai agenda pemindahan ibukota RI dari Jakarta ke Kalimantan Timur yang diumumkan oleh Presiden Jokowi. Seakan memberikan gambaran kepada kita bahwa fenomena rasisme belum berakhir di dunia, terutama di Indonesia yang masyarakatnya heterogen berbeda suku, ras dan agama.

Jika ditarik jauh ke belakang, persoalan ras sudah menjadi perdebatan panjang Bung Karno dan Bung Hatta dalam menentukan soal wilayah atau teritorial Indonesia. Hatta menghendaki Indonesia adalah bangsa melayu polinesia, dimana Maluku atau Halmahera adalah batas antropologisnya. Sedangkan Soekarno dan kawan-kawan membantah bahwa Indonesia (kelak) termasuk Irian Barat karena bekas daulat Kesultanan Tidore di kawasan lautan pasifik.

Hatta memberi perbedaan malanesia dan polonesia berdasarkan garis wallacea (wallace line). Namun dalam perdebatan di BPUPKI, Irian Barat menjadi bagian dari Indonesia dengan merujuk pada konferensi meja bundar, den haag, pada 23 Agustus-23 November 1949. Hasil kepsekatan, yakni Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat dan Irian Barat akan diselesaikan setahun setelah pengakuan kedaulatan.

Sekalipun kita ketahui bahwa Belanda telah mengingkari isi perjanjian konferensi meja bundar dan disiasati oleh Bung Karno untuk mencanangkan trikora 1961. Trikora sendiri dibuat untuk merebut Irian Barat kembali kepangkuan ibu pertiwi setelah upaya diplomatis yang dibangun Bung Karno ke Jhon F Kennedy. Kesepakatan pun lahir melalui perjanjian New York pada 15 Agustus 1962 dan Dewan Keamanan PBB untuk melakukan penentuan nasib sendiri (PAPERA).

Polemik yang terjadi di papua adalah bagian dari luka lama, yang selalu berteriak persoalan kesejahteraan. Sekalipun pemerintah pusat telah memberikan otonomi khusus kepada Provinsi Papua, tetapi secara esensial kemanusian yang dibutuhkan masyarakat papua adalah perhatian pemerintah pusat dalam bentuk pendidikan, kesehatan, dll.

Karena tidak bisa dipungkiri bahwa Papua memiliki kekayaan melimpah sumber daya alam mineral logam, yang kini dikelola oleh PT. Freeport perusahaan Amerika Serikat.

Terlalu lama penantian dan pengharapan kesejahteraan oleh masyarakat papua yang berujung dengan kekecewaan, sehingga sebagian dari masyarakat papua memutuskan membentuk OPM. Sebuah organisasi yang hanya menginginkan agar Papua keluar dari negara Indonesia. Dalil OPM tersebut berangkat dari landasan diskriminasi dan tidak ada pemerataan kesejahteraan yang diberikan dari hasil sumber daya alam PT. Freeport.

Kebijakan UU Minerba terhadap disvestasi saham 51% mengecilkan hasil pemerataan masyarakat untuk kesejahteraan dan pemerintah memperoleh keuntungan lebih besar lewat penguasaan saham oleh segelintir elit korporador sekaligus pemilik partai besar.

Persoalan Papua jika dikaji lebih kritis, ternyata tidak terlepas dari bentuk kecemburuan dan ketersinggungan penguasa pasar. Utamanya perang dagang China dan Amerika.

Invasi ekonomi China dan penguasaan sektor pertambangan di wilayah Indonesia Timur yang sekarang ini menjadi sorotan, tengah mengakomodir Indonesia dalam satu gerbong besar Sanghai Corporasi Organisation (SCO).

Hal inilah yang menjadi kecemburuan AS terhadap China dalam penguasaan ekonomi di Indonesia. Padahal penguasaan Indonesia telah lama menjadi desain AS terutama masa kepemimpinan Soeharto. Salah satu program AS yang telah didesain dalam kurung waktu yang lama mulai 1944 dibuat dalam pertemuan Breto words dan pertemuan MITT.

Hal ini menunjukan bahwa program Amerika yang membahas persoalan penguasaan negara-negara baru merdeka untuk dilindungi pada satu organisasi besar dan memberikan pinjaman donasi untuk memulihkan kembali perekonomian negara yang baru merdeka.

Program kepentingan AS yang di desain begitu lama termuat dalam satu program, yaitu Gren Area. Gren area menandai wilayah yang harus ‘tunduk’ pada kepentingan AS. Seketika kebijakan Indonesia telah berpihak kepada China, pastinya ini akan mengganggu iklim kepentingan perekonomian AS di dunia, termasuk di Indonesia.

Sebagai bangsa dan negara memiliki kewajiban untuk menjaga stabilitas dan situasi politik yang berkemanusiaan, karna entah harus memilih bertahan bersama merah putih atau melepaskan bersama-sama bintang kejora. Hal itu telah telah termaktub dalam pikiran dan hati masyarakat ditandai dengan konflik yang mampuh diselesaikan oleh seorang tokoh pruralisme Alm. KH Abdul Rahman Wahid.

Hal ini menunjukkan bahwa pentingnya menjaga dan menjunjung tinggi persatuan dan persaudaraan, sehingga berbagai polemik perpecahan dapat di antisipasi.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *