Opini

Ibu Kota Tetap di Jakarta

×

Ibu Kota Tetap di Jakarta

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi pemindahan ibu kota. (Foto: Prokal/JPNN)
Trisno Mais, SAP

Oleh: Trisno Mais, SAP
Domisili Desa Buo, Loloda, Halbar

 

SEDIKITNYA, untuk agenda pemindahan Ibu Kota Negara, sudah empat kepala daerah diundang hadir oleh Presiden Jokowi di Istana, Senin (6/5/2019). Gubernur Sulawesi Barat (Sulbar), Ali Baal Masdar, Gubernur Kalimantan Timur (Kaltim), yang diwakili Kepala Bidang Prasarana Wilayah Bappeda, Yusliando, Gubernur Kalimantan Selatan (Kalsel), Sahbirin Noor, Gubernur Kalimantan Tengah (Kalteng), Sugiarto Sabran. Poinnya, membahas mengenai pemindahan Ibu Kota Negara.

Akibatnya, wacana ini semakin menguat: jadi perbincangan publik, dan ‘seksi’. Apalagi pasca Presiden Jokowi mengeluarkan keterangan resmi baru – baru ini. Meski begitu, saya menganggap ini adalah bagian dari pengalihan wacana, semata. Mungkin saja, itu akibat dari kurang lebih setahun lamanya rakyat Indonesia sibuk dengan agenda dan urusan politik, makanya sontak pernyataan kontrovesi itu dimunculkan. Itu dugaan saya, karena memang tidak ada yang urgen dengan urusan pemindahan Ibu Kota.

Setelah Presiden Jokowi bertemu dengan beberapa kepala daerah, orang nomor satu di Indonesia ikut mengagendakan dengan ketua dan pimpinan lembaga Negara untuk membahas kelanjutan agenda pemindahan Ibu Kota Negara, “Saya ingin menyinggung sedikit yang berkaitan dengan pemindahan ibu kota,” kata  Jokowi, di Istana Negara. Pernyataan Jokowi memberi isyarat bahwa pemerintah sangat serius dengan agenda tersebut.

Lantas, apakah Jakarta sedang genting sehingga pemerintah cukup serius mengupayakan agar Ibu Kita Negara segera dipindahkan? Apakah Ibu Kota Negara sudah sesegara mungkin akan hancur, atau kah ini karena faktor politis? Semua kita bisa menduga – duga, dan memberi presepsi publik atas agenda ini.  Bagi saya, Ibu Kota Negara tetap di Jakarta, karena apabila ditilik lebih jauh, maka logika pemindahan Ibu Kota Negara adalah akibat dari masalah banjir, urbanisasi, serta kemacatan.

Mestinya Pemprov DKI dan pemerintah pusat harus bekerja sama mengatasi laju urbanisasi dan mendukung pengembangan pusat-pusat kegiatan ekonomi baru di luar Pulau Jawa. Itu poinnya. Laju urbanisasi sulit dibendung karena akibat ekonomi dan pembangunan cenderung berpusat di Jakarta dan Jawa, pada umumnya. Atas akibat itu, harusnya pemerintah perlu melakukan pemerataan pada sektor ekonomi, pembangunan dan  lain sebagainya.

Sebelumnya ada beberapa negara yang telah berhasil memindahkan ibu kota. Misalnya, Jepang. Ibu kota Jepang dulunya adalah Kyoto, sampai kemudian keluarga kekaisaran berpindah ke Edo (Tokyo) pada pertengahan abad ke-19. Kaum oligarki juga mendukung perpindahan ibu kota atas pertimbangan dagang dan koneksi ke dunia Barat. Secara tak langsung, kala itu Jepang memiliki dua ibu kota, yaitu Kyoto di Barat dan Edo di Timur. Kemudian Malaysia.

Sama seperti ibu kota negara di Asia Tenggara lain, Kuala Lumpur harus berhadapan dengan masalah kemacetan dan kepadatan penduduk. Pada 1999, Pemerintah Malaysia mengambil keputusan memindahkan pusat pemerintahan ke Putrajaya. Kantor Perdana Menteri dipindahkan ke Putrajaya.

Namun, tidak demikian dengan Gedung Parlemen dan pusat perekonomian tetap berada di Kuala Lumpur. Selain itu, Kazakhstan. Negara tersebut adalah satu negara yang paling muda di dunia yang berdiri setelah Uni Soviet runtuh pada awal 1990-an. Awalnya, ibu kota Kazakhstan adalah Almaty. Namun, Desember 1997, mereka memidahnya ke bagian utara negara tersebut, tepatnya di Kota Astana.

Kemudian Tanzania. Negara yang terletak di timur Afrika ini sempat memiliki ibu kota bernama Dodoma. Walau kota utama, nyatanya kehidupan di Dodoma jalan di tempat dan tidak ada perkembangan berarti. Nigeria juga sama. Dahulunya, ibukota Nigeria terletak di Lagos. Namun, pada 1991 pemerintah negara dengan ekonomi terbesar di Afrika ini memutuskan memindahkan pusat pemerintahannya, ke Abuja.

Jakarta harusnya tetaplah menjadi Ibu Kota Negara. Namun, public policy lah yang perlu dievaluasi. Laju urbanisasi di Jakarta merupakan akibat dari pembangunan yang tidak adil. Semangat Presiden Jokowi dengan menyalurkan sejumlah dana desa (dandes) satu dari banyak fakta bahwa kebijakan itu akibat dari wilayah perkotaan sejak dahulu terlalu diperhatikan, akibatnya sejumlah desa di Indonesia selalu terkebelakang.

Jokowi pernah menyampaikan bahwa anggaran dana desa (dandes) yang digelontorkan setiap tahunnya tidak pernah mengalami penurunan. Dari Rp 20,67 triliun pada 2015 meningkat menjadi Rp 46,98 triliun pada 2016, lalu menjadi Rp 60 triliun pada 2017 dan 2018 sebesar Rp 60 triliun. Sedangkan untuk tahun 2019 akan dinaikkan menjadi Rp 70 triliun. Keberpihakan tetap pembangunan desa cukup serius.

Kukis pembangunan di Jawa terlalu diprioritaskan, makanya terjadi kesenjangan sosial. Di luar Jawa sangat kelihatan adanya ketimpangan sosial, misalnya untuk sarana prasarana apabila dibandingkan dengan yang ada di Maluku, Sulawesi maupun Papua, Jawa jauh lebih unggul. Keseimbangan antara pemerataan dan pertumbuhan itu perlu.

Salah satu metode yang umum digunakan dalam menilai pengaruh dari pembangunan terhadap kesejahteraan masyarakat adalah dengan mempelejari distribusi pendapatan. Sebuah model yang dinamakan pemerataan dengan pertumbuhan atau redistribution with growt (RWG) dikembangkan berdasarkan suatu studi yang disponsori oleh Bank Dunia pada tahun 1974 (Chenery, et.al., 1974).

Ide dasarnya adalah pemerintah harus mempengaruhi pola pembangunan sedemikian rupa sehingga produsen yang berpendapatan rendah (yang di banyak Negara berlokasi di perdesaan dan produsen kecil di perkotaan) akan mendapat kesempatan untuk meningkatkan pendapatan dan secara stimulan menerima sumber ekonomi yang diperlukan.

Dalam konteks ini, Indonesia butuh public policy yang  menjawab, bukan sebuah keputusan Negara untuk memindahkan ibu kota Negara. Mestinya, dalam bentuk kebijakan publik ada distribusi penduduk yang berkeadilan. Caranya, pemerintah perlu melakukan pemerataan. Ubah pola pembangunan, kalau selama ini ada upaya Jawa sentris atau Jakarta sentris, pola semacam itu perlu ditingalkan.

Jangan lagi mengorientasikan pembangunan cenderung ke Jawa, model itu harus dirubah, karena dengan model pembangunan yang cenderung ke barat, akibatnya pembangunan di timur (di luar Jawa) menjadi disorientasi dan terkebelakang.

Pengalaman Taiwan menunjukan bahwa pertumbuhan dan pemerataan dapat berjalan beriringan. Taiwan merupakan salah Negara dengan tingkat kesenjangan yang paling rendah ditinjau dengan berbagai ukuran (tahun 1987, Gini rasionya 0,30 termasuk terendah di dunia), tetapi dengan pertumbuhan yang tinggi dapat dipelihara secara berkelanjutan (Brautigam, 1995).

Konsepnya adalah pembangunan ekonomi yang bertumpuh pada pertumbuhan yang dihasilkan oleh upaya pemerataan, dengan penekanan pada kualitas sumber daya manusia.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *