Oleh: ADHIE M. MASSARDI
Aktivis, koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB)
BAGAIMANA peta pemilih dalam pemilu serentak 2019? Paslon mana yang bakal memenangi pilpres kali ini? Bagaimana membacanya?
Itulah pertanyaan yang muncul di masyarakat politik nasional sejak lima bulan terakhir.
Momentum keingintahuan publik ini dimanfaatkan lembaga-lembaga survei dan konsultan politik menjalankan aksinya. Mereka memanfaatkan kegalauan petahana (Joko Widodo) yang popularitasnya di mata masyarakat terus anjlok akibat pertumbuhan ekonomi stagnan di lima persen sehingga musykil melahirkan lapangan kerja signifikan.
Persepsi pemerintahan Joko Widodo memusuhi umat Islam juga kian menebal seiring kriminalisasi terhadap ulama dan tokoh-tokoh yang berseberangan dengan penguasa. Sementara masyarakat yang mengalami kesulitan ekonomi dengan daya beli merosot sementara harga kebutuhan pokok melangit, malah terus dibombardir oleh isu-isu SARA dan politik adu domba.
Itu sebabnya pada tiga bulan pertama sejak kampanye resmi pilpres digulirkan sejumlah lembaga survei yang dikontrak petahana dengan harga mahal, mengguyur publik dengan hasil survei AKS (Asal Klien Senang) yang bertolak belakang dengan apa yang dirasakan dan dilihat masyarakat.
Dalam versi lembaga survei AKS ini, elektabilitas petahana dan tingkat kepuasan masyarakat terhadap pemerintah senantiasa bertengger di atas angka 60 persen. Sedangkan elektabilitas sang penantang, Probowo-Sandi berada di kisaran angka 12-20 persen saja.
Angka-angka produk lembaga-lembaga survei AKS itu tentu saja tidak bisa dipercaya karena bertentangan dengan akal sehat yang memperlihatkan betapa tingginya antusiasme masyakarat pada setiap kampanye paslon no 02 baik bersama maupun sendiri-sendiri, cawapres Sandiaga Uno dan capres Prabowo Subianto.
Kalau dibandingkan secara visual, rata-rata dua kali lipat perhatian publik dari kampanye paslon petahana 01 baik Joko Widodo sendiri apalagi cawapres KH Maruf Amin.
Masyarakat mulai agak percaya kepada angka-angka dalam survei setelah hasil survei Litbang Kompas diumumkan. Elektabilitas Jokowi-Maruf 49,2 persen sedangkan Prabowo-Sandi 37,4 persen. Meskipun tetap kurang realistis, survei Litbang Kompas cenderung lebih masuk akal.
Hasil Survei Realistis
Dalam bulan-bulan terakhir ini ada beberapa lembaga survei yang melansir hasilnya dengan angka-angka yang lebih mendekati realitas sosial politik hari ini.
Pertama, dari Lembaga Kajian Pemilu Indonesia (LKPI) yang mengungkap fakta tingkat elektabilitas pasangan Jokowi-Maruf hanya 40,9 persen sedangkan Prabowo-Sandi 58,1 persen.
Kedua, Lembaga Survei Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis). Katanya, elektabilitas capres-cawapres Prabowo-Sandi menang atas Jokowi-Maruf di Pilpres 2019. Selisih kemenangan diprediksi hanya 2,14 persen.
“Pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mendapatkan respons publik sebesar 47,59 persen sedangkan pasangan nomor urut 01 (Jokowi-Maruf) mendapat suara 45,37 persen,” kata Direktur Eksekutif Puskaptis Husin Yazid, Senin (8/4).
Ketiga dilakukan lembaga survei Precision Public Policy Polling (PPPP) Amerika yang merilis hasilnya terkait pemilihan presiden dan wakil presiden Indonesia pada 17 April 2019 yang menyebutkan paslon 02 Prabowo-Sandi memperoleh suara 55 persen sedangkan paslon 01 Jokowi-Maruf memperoleh suara 39 persen.
Membaca Realitas Politik
Sesungguhnya berapa sih perolehan suara paslon 01 Jokowi-Maruf dan paslon 02 Prabowo-Sandi? Bagaimana membacanya secara logika awam dan logika politik?
Untuk memperoleh gambaran (hasil) yang lebih realistis sebaiknya kita pakai dasar perhitungan perolehan pilpres 2014. Karena peta sosial dan politiknya nyaris tidak berbeda kecuali sekarang Joko Widodo berada di posisi petahana.
Pada Pilpres 2014 Joko Widodo yang berpasangan dengan M. Jusuf Kalla memperoleh 53,15 persen (70.997.833 suara) sedangkan Prabowo Subianto yang berpasangan dengan Hatta Rajasa meraih 46,85 (62.576.444 suara).
Kalau kita bedah hasil Pilpres 2014 itu maka akan menemukan beberapa komponen (saham) yang memberi andil dalam perolehan suara.
Hasil yang diperoleh pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla terdiri dari: a. 30 persen daya tarik Joko Widodo yang ketika itu fenomenal (tapi tidak lebih besar dari 30 persen mengingat PDIP yang menikmati Jokowi effect hanya memperoleh 18,95 persen), b. 16 persen andil Jusuf Kalla (di luar faktor Jokowi dan PDIP adalah JK motor pendulang suara yang membiayai seluruh operasional parpol maupun ormas seperti NU dan Muslimat NU pimpinan Khofifah makanya inisial JK juga akronim dari jaringan dan keuangan), c. tambahan 5 persen faktor Basuki Tjahaja Purnama (etnis Tionghoa dan non muslim), d. sisanya 2,15 persen saham dari pemilih baru dan swingvoters.
Perolehan suara pasangan Prabowo-Hatta yang 46,85 persen terdiri dari: a. 35 persen karena figur Prabowo sendiri, lima persen suara dari Hatta Rajasa dengan parpolnya PAN, lima persen saham parpol pendukung PKS, PPP, Golkar (dengan catatan di lapangan suara parpol pendukung sudah digerogoti tim Jusuf Kalla), sisanya 1,85 persen pemilih baru dan swingvoters.
Dengan membawa modal pilpres 2014, maka akan muncul konfigurasi peta suara baru yang bisa dibaca dengan mudah menjadi seperti ini:
Joko Widodo kalau diasumsikan tidak mengalami penurunan padahal banyak rakyat kecewa akibat nyaris program kampanyenya tak ada yang jalan kecuali infrastruktur (itu pun banyak bermasalah), tetap bernilai (suara) 30 persen. Tapi Joko Widodo berpotensi kehilangan 15 persen saham suara Jusuf Kalla yang sudah tidak jadi pasangannya lagi. Orang-orang JK malah aktif di paslon lawannya 02.
Potensi hilang suara 2,5 persen (setengah dari pendukung Ahok) akibat Joko Widodo memilih berpasangan dengan KH Maruf Amin yang menurut mereka orang paling bertanggung jawab menyingkirkan Ahok dari pentas politik nasional, padahal seharusnya justru yang menjadi pasangan Joko Widodo.
Dengan modal kotor 35,65 persen (minus 17,5 persen dari perolehan Pilpres 2014) kalau toh akan ada tambahan suara dari KH Maruf Amin dan NU maksimal lima persen (mengingat peta suara NU secara tradisional memang senantiasa terpecah apalagi ada sentimen darah biru karena Kiai Maruf bukan trah Jawa Timur-Madura).
Sedangkan tambahan dari pemilih baru dan kelompok milenial tak akan lebih dari 1,5 persen mengingat informasi digital soal kegagalan Joko Widodo memenuhi janji kampanye yang mereka peroleh membuat mereka tidak tertarik seperti pada Pilpres 2014.
Jadi dengan matematika politik sederhana tapi sangat masuk akal dan realistis, paslon Jokowi-Maruf harus sudah puas dengan perolehan suara 42,15 persen.
Dibandingkan dengan Jokowi, capres Prabowo jauh lebih beruntung karena modal suara yang diperoleh dari Pilpres 2014 relatif masih utuh karena pendukungnya tetap. Paling berkurang tiga persen (suara PPP, PBB dan setengah Golkar) jadi 43,85 persen.
Akan tetapi berbeda dengan Jokowi yang mengalami minus besar (17,5 persen), Prabowo pada Pilpres 2019 berpotensi mendapat surplus dari pendukung Sandiaga Uno, cawapres yang mewakili generasi milenial.
Makanya, dari saham suara yang disumbangkan Sandiaga ditambah migrasi pendukung Jusuf Kalla dan rakyat yang kecewa yang semula milih Jokowi plus dukungan besar umat Islam serta para pemilih baru dan swingvoters niscaya tak akan sulit bagi paslon Prabowo-Sandi untuk mendulang suara minimal 56,15 persen.
Begitulah membaca kemungkinan hasil Pilpres 2019 secara mudah, akurat dan realistis. Insya Allah tidak akan meleset jauh dari fakta.(*)
Sumber: https://rmol.co/read/2019/04/11/385629/membaca-logika-hasil-pilpres-2019