HARIANHALMAHERA.COM– Kehadiran media sosial (medsos) memang cukup membantu dalam menyambung tali silaturahim karena kesibukan atau keterpisahan tempat. Namun, di sisi lain medsos juga bisa pintu berbahaya bagi aksi kriminalitas.
Tidak sedikit kasus kriminal yang dilatarbelakangi aktivitas dari medsos. Seperti kasus-kasus kekerasan terhadap anak. Medsos membuat banyak orangtua beramai-ramai memamerkan laku si kecil yang menggemaskan. Beragam unggahan si anak membuat netizen terhibur dan merasa gemas.
Padahal, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait menilai, kebiasaan mengekspose anak di media sosial secara tidak langsung memberi peluang untuk menjadikan si kecil sebagai korban.
Dalam pemantauannya, fenomena ini telah terjadi sejak 2-3 tahun ke belakang. “Dan ini [kebiasaan mengunggah foto anak] sangat berdampak negatif,” tegas Arist, mengutip CNNIndonesia.com.
Dampak negatif itu bisa dilihat dari catatan kekerasan terhadap anak yang dimiliki Komnas Anak. Selama periode Januari-Juni 2019, tercatat 420 kekerasan terhadap anak. Sebanyak 86 kasus di antaranya disebabkan oleh ekspose anak di media sosial. Artinya, sekitar 30 persen kasus kekerasan pada periode tersebut dipicu oleh munculnya laku-laku menggemaskan anak di layar gawai.
“Ini [kebiasaan mengekspose anak di media sosial] dikategorikan memberi peluang untuk anak menjadi korban penculikan, pembunuhan, pemerkosaan, dan tindak kejahatan lain yang mampu mencederai anak,” kata Arist.
Sebagai orang dewasa, seyogianya orang tua bisa melindungi anak. Orang dewasa diyakini paham betul mengenai apa saja risiko-risiko yang mengintai atas apa yang dilakukannya. “Kalau dia [orang tua] pengin melindungi anak-anaknya, ya, jangan [ekspose anak di media sosial]. Orang dewasa seharusnya sudah tahu risiko,” ujar Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti.
Risiko mengekspose tingkah laku anak di media sosial jelas eksis. Jika orang tua peduli, lanjut Ratna, maka mereka harus berhati-hati. “Jangan bikin akun juga lah untuk anak yang masih kecil sekali. Kecuali dia sudah 13 tahun minimal,” ujar Retno.
Tak cuma memamerkan serangkaian kegiatan sehari-hari, beberapa anak di media sosial juga menjelma influencer cilik. Tak ubahnya influencer dewasa pada umumnya, aktivitas serupa endorsement pun dilakukan anak.
Tengok saja Ryan. Influencer cilik asal Amerika Serikat itu berhasil mengumpulkan uang sebesar US$22 juta atau sekitar Rp370 miliar. Mengutip Forbes, uang dalam jumlah besar itu dikumpulkannya selama 12 bulan melakoni peran sebagai influencer cilik.
Dalam kanal YouTube, RyanToysReview, dia berbagi informasi seputar mainan edukatif untuk anak seusianya. Aksi Ryan bermain warna, polimer, hingga lego disajikan dalam kanalnya. Dia mengutarakan tentang apa yang membuatnya menyukai mainan tersebut.
Akibatnya, banyak orang bertanya-tanya, apakah kebiasaan ini bisa dianggap eksploitasi? Jawabannya, tak sepenuhnya eksploitasi.
Retno menjelaskan, kategori eksploitasi mencakup beberapa unsur. Pertama, anak dipaksa melakukan sesuatu. “Tidak senang dia [anak], tapi dipaksa,” katanya. Kedua, jika anak tak mendapatkan bagian dari apa yang dihasilkannya sebagai influencer cilik. “Nah, kalau dua unsur itu ada, baru bisa masuk kategori eksploitasi,” kata Retno.
Akan berbeda jika si anak justru menyukai kegiatannya sebagai influencer cilik. “Kalau memang dia [anak] suka dan senang, tidak masuk eksploitasi,” tegas Retno.
Meski tak ada hak yang dilanggar, namun kebiasaan itu membahayakan anak. Menempatkan anak pada posisi bahaya, lanjut Retno, termasuk pelanggaran.(cnn/fir)
Respon (1)