Oleh: Adhie M. Massardi
Aktivis Politik
LOMBA panjat pinang adalah ikon perayaan hari Proklamasi Kemerdekaan RI (17-an) yang digelar setiap 17 Agustus. Memang sejak 15 tahun terakhir, lomba yang enak ditonton ini tidak banyak lagi ditampilkan. Karena sudah tak mudah mendapatkan bahan baku utamanya, yakni pohon pinang setinggi 8-12 meter.
Makanya, bila panitia perayaan 17-an di lingkungan anda mengadakan lomba panjat pohon pinang berlumur pelicin sintetis, tontonlah dengan seksama. Memang sudah tidak terlalu asyik karena lomba panjat pinang sekarang menyempal dari kaidah lama seperti mula-mula lomba ini dibikin oleh para nDoro Toean di zaman kolonial.
Pada mulanya, panjat pinang adalah cabang lomba perseorangan, diikuti secara individual. Para peserta akan berebut untuk manjat pohon pinang yang licin itu. Peserta yang bisa manjat lebih tinggi, bisa ditarik atau merosot ke bawah lagi sehingga menimpa peserta di bawahnya. Akibatnya, semua pemanjat kembali sejajar bumi.
Situasi para priboemi yang jatuh bangun demi hadiah yang tak seberapa itulah yang menambah kebahagiaan para nDoro Toean dalam merayakan ulang tahun ratu mereka (Wilhelmina).
Hingga akhir 80-an panjat pinang tetap merupakan cabang lomba individual seperti balap karung atau makan kerupuk yang digantung dengan kedua tangan ditaruh di belakang.
Pasca reformasi, sejalan dengan perkembangan politik kekuasaan, para peserta lomba panjat pinang pun mulai mengenal koalisi. Lomba ini tidak lagi menjadi ajang adu gesit memanjat tiang berlumur pelicin yang dahsyat. Tetap menjadi ajang permufakatan sekelompok orang untuk membangun koalisi taktis guna mencapai kekuasaan mengambil berbagai hadiah yang digantung di atasnya.
Maka bila nonton lomba panjat pinang yang digelar panitia 17-an di lingkungan anda, pasti akan terasosiasi dengan pertarungan politik di negeri sendiri, terutama di ajang pemilihan pemimpin tertinggi, baik di tingkat kabupaten/kota, provinsi maupun nasional (presiden).
Dalam struktur koalisi pemanjat pinang, kita bisa saksikan orang dengan kekuatan fisik paling oke, paling kuat, akan berada di paling bawah. Para peserta koalisi ini akan menyusun diri ke atas. Nanti, setelah tersusun sampai ujung pohon, orang yang paling gesit mendapat tugas memanjat punggung “pohon manusia” itu hingga dia bisa nangkring di pucuk pinang.
Jadi berbeda dengan di masa lalu, orang yang bisa sampai ke pucuk pinang bukan orang paling hebat memanjat, tapi orang yang sudah dikondiskan untuk meniti puncak oleh koalisi. Sehingga semua hadiah yang berhasil diraihnya, bukan mutlak milik dia. Tapi harus berbagi atau dibagi.
Tapi analisa koalisi pemanjat pohon pinang bukan berarti kelar setelah semua hadiah ditahukan si pemanjat paling akhir. Sebab kita belum tahu siapa nanti dari peserta koalisi yang memiliki hak untuk membagi hadiah-hadiah itu.
Apakah membagi hadiah hak prerogatif pemanjat yang sampai ke atas, atau jangan-jangan justru merupakan kewenangan orang paling kuat yang menjadi fondasi pohon manusia itu?
Bukan mustahil juga yang berwenang membagi hadiah ternyata justru bukan mereka yang kita lihat secara fisik manjat itu pohon. Tetapi orang lain yang oleh peserta koalisi panjat pinang dianggap sebagai koordinator sekaligus menjadi bohir mereka.
Benar, lomba panjat pinang sekarang ini memang (nyaris) persis pertarungan politik merebut kekuasaan. Ada koalisi. Ada pemimpin koalisi. Juga ada bohir (penyandang dana) untuk seluruh kegiatan itu.
Bedanya, dalam panjat pinang yang dibagi-bagikan adalah hadiah berupa barang atau sesuatu yang menjadi kebutuhan sehari-hari. Sedangkan dalam lomba perebutan kekuasaan politik, yang dibagi-bagi di antara para angota koalisi dan bohir adalah hajat hidup orang banyak.
Dalam pilpres, malah bisa lebih serius lagi. Karena menurut undang-undang, presiden (terpilih) memiliki hak, antara lain: Mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri; Membuat perjanjian internasional lainnya dengan persetujuan DPR; Mengangkat duta dan konsul; Memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.
Semua hak dan kewenangan presiden itu terkait langsung dengan kesejahteraan dan masa depan rakyat yang dipimpinnya. Tentu saja tidak boleh dibagi-bagi sesuka hati, seperti dalam panjat pinang pada perayaan 17-an.(*)
Sumber: https://rmol.id/read/2019/08/13/399210/panjat-pinang-berhadiah-hak-prerogatif