Oleh: Moh. Mahfud MD
Menko Polhukam, Ketua Umum Gerakan Suluh Kebangsaan
DI antara mereka yang tidak mendengar langsung ceramah saya di depan Gerakan Suluh Kebangsaan (GSK) terkait adanya jual beli UU (undang-undang) dan perda (peraturan daerah), ada yang bertanya dengan nada komplain. Katanya, Menko Polhukam harus menunjukkan bukti kalau memang ada jual beli dalam pembuatan UU dan perda. Bagi saya, kalau cuma itu pertanyaannya, jawabannya gampang.
Buktinya Banyak
Banyak pejabat eksekutif dan legislatif di pusat dan daerah yang meringkuk di penjara karena memakai pelicin dalam pembuatan UU atau perda. Sekarang saja masih ada yang meringkuk di penjara setelah ada beberapa yang sudah keluar.
Ada gubernur dan beberapa anggota DPRD-nya yang dijebloskan ke bui karena ”berjual beli” dalam pembuatan perda. Ada juga anggota DPR yang digelandang ke pengadilan dan dihukum karena penyuapan dalam pembuatan UU APBN atau penyuapan dengan fasilitas ”wah” atas nama studi banding atau diseminasi.
Nama-nama itu bahkan gampang diingat. Tentu saja ini bukan terkait dengan pejabat eksekutif dan legislatif yang sekarang karena mereka memang baru dilantik. Tetapi, itu tidak terlalu penting untuk diperdebatkan.
Yang penting adalah mengapa dan dalam konteks apa saya mengatakan itu. Pernyataan itu saya kemukakan sebagai bagian dari ceramah tentang Merawat Semangat Hidup Berbangsa yang juga diisi dengan ceramah oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Acara itu diselenggarakan oleh Gerakan Suluh Kebangsaan (GSK) di Jakarta pada Kamis, 19 Desember 2019, dan dihadiri sekitar 150 orang dari berbagai lembaga pusat dan daerah-daerah yang merupakan sektor-sektor strategis dalam penyelenggaraan negara ke depan.
Karena menteri keuangan diminta untuk presentasi tentang pengalamannya menangani birokrasi di Kementerian Keuangan, sebagai ketua umum GSK saya memberi pengantar tentang potret birokrasi kita yang ditengarai lamban, koruptif, dan diduga ”terpapar” terutama dalam kaitannya dengan pembangunan hukum.
Pembuatan dan Penegakan Hukum yang Koruptif
Saat itu saya memulai dengan uraian bahwa bagi negara demokrasi seperti Indonesia, bernegara adalah berkonstitusi dan berkonstitusi adalah berhukum. Untuk mencapai tujuan negara dan cita-cita bangsa, kita dituntut untuk berhukum. Berhukum itu sendiri sebenarnya secara mendasar hanya mencakup dua hal.
Pertama, ”membuat” atau membentuk hukum yang sifatnya abstrak (in abstracto). Dan, kedua, ”melaksanakan” atau menegakkan aturan-aturan hukum ke dalam praktik yang nyata (in concreto).
Saya katakan, berdasar fakta yang berlangsung sampai kini yang dirasakan dan menjadi fakta di pengadilan, pembentukan hukum dan penegakan hukum di Indonesia diwarnai proses yang korupsi dan kolusi. Birokrasi kita dalam pelaksanaan aturan hukum sehari-hari, selain lelet, juga koruptif.
Berdasar pengalaman saya dalam memimpin Mahkamah Konstitusi (2008–2013), dalam pembuatan hukum (misalnya dalam pembuatan UU atau perda) di Indonesia, tidak jarang ada kesalahan yang berakibat munculnya ketidakadilan atau kerancuan.
Ada empat sebab terjadinya kesalahan dalam pembuatan hukum. Pertama, karena tukar-menukar kepentingan politik (political tradeoffs) di antara politisi atau organisasi politik di lembaga pembuat UU. Meski tidak disukai, tukar-menukar kepentingan politik itu bisa dimaklumi.
Kedua, karena kurangnya wawasan atau ilmu di kalangan pembentuk UU atau perda. Sesuatu yang juga bisa dimaklumi karena di antara anggota-anggota parlemen itu banyak yang dipilih bukan karena ilmu atau profesionalitasnya, melainkan karena dukungan politiknya yang besar.
Ketiga, karena kesalahan teknis yang sifatnya ringan, misalnya, menyebut pasal X yang harus diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah, tetapi yang ditulis adalah pasal Y. Itu bisa dimaklumi, tetapi jika telanjur diundangkan, pembetulannya tetap harus melalui legislative review atau judicial review, tidak bisa hanya dengan renvoi.
Keempat, karena jual beli isi UU atau perda dengan tujuan mendapatkan keuntungan secara ilegal dari masuknya pasal-pasal tertentu ke dalam UU atau perda. Yang itu tidak perlu diperdebatkan. Nama-nama pelakunya sudah tercatat di KPK dan atau di dalam vonis pengadilan. Dan, banyak yang menjadi penghuni penjara. Banyak pelakunya, bukan hanya satu atau dua dan bukan hanya di pusat, tapi juga di daerah-daerah.
Penegakan hukum sebenarnya mencakup, minimal, dua arti. Pertama, penyelesaian oleh pengadilan dan aparat penegak hukum jika ada konflik atau pelanggaran yang diperkarakan. Kedua, pelaksanaan peraturan hukum sehari-hari oleh pejabat atau pegawai di birokrasi pemerintahan. Baik penegakan hukum untuk menyelesaikan konflik di pengadilan maupun penegakan hukum dalam arti pelaksanaan sehari-hari atas aturan-aturan yang ada juga masih diwarnai korupsi dan kolusi, suap-menyuap, pemerasan, dan lain-lain.
Dalam konteks berhukum yang mencakup hal-hal yang seperti itulah sebenarnya saya mengatakan adanya jual beli UU dan perda sebagai bagian dari keseluruhan bangunan berhukum yang masih koruptif. Buktinya, tinggal lihat vonis-vonis hakim atau kasus-kasus yang sedang ditangani KPK, Kejaksaan Agung, dan kepolisian. Atau, lihat saja dari daftar nama penghuni penjara.(*)
Sumber: https://www.jawapos.com/opini/27/12/2019/jual-beli-uu-dan-perda-itu-memang-ada/