TIGA huruf yang selalu bikin pusing. Tidak pernah tuntas. Sejak dulu. Padahal Negara kita, Negara agraris. Kaya akan sumber daya alam. Namun, tiga huruf itu selalu menyesakkan dada.
Petani dan nelayan, mungkin tidak pernah tahu apa itu NTP. Kependekan dari Nilai Tukar Petani. Mungkin saja tahu, tapi tidak peduli. Yang mereka inginkan hanya kesejahteraan. Itu saja. Tapi tidak pernah dirasakan oleh mereka.
Sederhananya, NTP hanya variable statistik. Untuk mengukur kemampuan mereka (petani). Sederhananya lagi, perbandingan kemampuan petani dari hasil usahanya atas pengeluaran.
Biasanya dihitung berdasarkan prosentase. Jika di atas 100 persen berarti petani sejahtera. Sebaliknya, di bawah 100 persen, belum sejahtera. Atau kemampuan mereka belum bisa memenuhi selain kebutuhan dasar. Kasarnya belum ada kelebihan untuk ditabung.
Lihat saja angka-angka statistik. Silakan memberikan penilaian tingkat kesejahteraan petani dan nelayan kita. Wajar bila dikatakan, hidup petani Maluku Utara kian sulit. Sebagaimana kami angkat dalam headline Harian Halmahera edisi Senin, 4 Maret 2019.
Pemerintah mungkin sudah berbuat. Tapi, nyatanya belum cukup dan tidak memberikan dampak signifikan. Pencetakan sawah, bantuan bibit, peralatan, pupuk, dan obat-obatan tanaman. Baru menyentuh hulunya. Itupun belum maksimal. Apalagi hilirnya.
Sudah banyak karya tulisan. Bahkan penelitian yang membandingkan petani Indonesia dengan petani Negara lain. Solusi untuk petani pun sudah banyak dikeluarkan pakar. Lantas kenapa tidak berubah?
Ada satu hal yang mungkin bisa dilakukan. Tapi jelas tidak instan. Butuh waktu. Mungkin ada istilah lain, tapi kami suka menyebut peremajaan. Mengarah pada modernisasi pertanian, mengikuti zaman milenial.
Saatnya yang muda bertani. Anak-anak petani harus fokus pada pendidikan pertanian. Mencari modal berupa ilmu pertanian. Segala macam ilmu pertanian dan turunannya. Termasuk managemen pertanian. Bukan seperti sekarang, banyak anak petani, tetapi ingin mengejar ilmu lain. Orangtuanya ditinggal sendiri bertani.
Kemudian soal akses biarlah pemerintah yang siapkan. Teknologinya maupun pasarnya. Toh zaman sekarang semuanya lebih mudah. Menjual hasil pertanian bisa melalui layar laptop maupun handphone.
Ini pula yang dilakukan Jepang saat ini. Meski pertaniannya terbilang maju. Namun ada kekhawatiran. Tidak ada yang melanjutkan. Kondisinya sama, petani yang ada kebanyakan sudah tua. Anak petani lebih memilih ke kota dan mencari pekerjaan lain.
Karena itu, pemerintah menyeriusinya. Diawali dengan wisata ke lokasi-lokasi pertanian. Gratis. Semua didanai pemerintah. Desa pun disulap. Memiliki layanan layaknya kota, terutama internet. Akhirnya, sudah banyak generasi muda yang ingin bertani. Ingin hidup di desa. Tak terpengaruh lagi dengan gemerlap kota.
Sekali lagi, ini bukan jalan instan. Butuh proses panjang. Harus ada kesadaran dari semua pihak. Terutama, dari keluarga petani itu sendiri. Pemerintah dan pihak lain, hanya bisa memfasilitasi. Mari generasi muda hijrah ke desa. Semoga.(*)