Oleh: Herlambang Perdana Wiratraman
Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga
NAMA-NAMA Dewan Pengawas (Dewas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera diumumkan secara resmi oleh Presiden Joko Widodo hari ini (20/12). Sederet nama calon dewas pun sudah berseliweran di media massa.
Ada hakim Albertina Ho, mantan pimpinan KPK Taufiequrachman Ruki, dan mantan hakim agung MA Artidjo Alkostar.
Melihat perkembangan pemerintah yang tidak mendengar suara publik untuk menghentikan revisi Undang-Undang (UU) KPK, saya masih sangat pesimistis atas perkembangan masa depan pemberantasan korupsi.
Apalagi, melihat struktur KPK yang baru berdasar revisi UU tersebut. Kewenangan dari dewas jauh lebih besar. Dewas mengontrol semua proses, terutama yang berkaitan dengan penegakan hukumnya.
Ketika presiden menetapkan nama-nama dewas, itu memang sudah menjadi kewenangannya. Namun, kami –para akademisi– mencatat apa yang terjadi itu bukan lagi penguatan, tetapi pelemahan KPK.
Secara individual, nama-nama yang disebutkan media tersebut merupakan figur yang relatif bersih dan berintegritas. Nama-nama itu di satu sisi menjadi harapan publik.
Namun, saya melihat lebih dari itu. Ada masalah sistem di dalamnya. Sistem yang melemahkan KPK.
Jadi, kami tidak terfokus pada siapa yang ditunjuk sebagai dewas oleh presiden. Siapa saja bisa dipilih sebagai dewas. Harapannya, integritas itu dimiliki tidak hanya individu-individu, tetapi juga ada pada sistem di dalamnya.
Kami akan melihat secara menyeluruh yang dijalankan KPK. Selain itu, KPK milik publik. Suara publik juga harus didengar.
Meskipun pada kenyataannya, suara ribuan akademisi dari berbagai kampus di Indonesia tidak dianggap penting. Presiden lebih mendengar suara parlemen. Itu adalah catatan sejarah Indonesia.
Upaya dari akademisi tidak berhenti. Saat ini kami terus melakukan proses mengembangkan dan merawat semangat antikorupsi di kampus masing-masing. Selain itu, meneruskan langkah hukum dengan koordinasi bersama jaringan dari berbagai kampus.
Saat ini banyak keputusan sidang yang menguntungkan koruptor. Berbicara hukum, apakah ia punya dampak terhadap upaya memberantas korupsi lebih efektif? Apakah penegakan hukum memberikan efek jera terhadap ketikdakberulangan tindak pidana korupsi? Apakah ketika putusan itu punya pengaruh menghentikan proses-proses korupsi yang sistemik?
Di saat korupsi masih terus terjadi, putusan-putusan yang meringankan koruptor terus diketok. Saya sungguh khawatir dengan pondasi keadilan hukum Indonesia.(*)
Sumber: https://www.jawapos.com/opini/20/12/2019/fokus-ke-sistem-bukan-individu/