Oleh: Khofifah Indar Parawansa
Gubernur Jawa Timur
SEBULAN lebih, pemerintah menerapkan aturan belajar di rumah. Sebulan lebih pula, pemerintah menganjurkan bekerja dari rumah (work from home). Kebijakan tersebut menjadikan aktivitas di dalam rumah meningkat. Utamanya bagi mereka ’’Kartini’’ yang sehari-hari menjadi ibu rumah tangga.
Bisa jadi, dulu predikat ibu rumah tangga hanya seorang perempuan yang berada di rumah. Aktivitas yang dikerjakan mulai menyiapkan sarapan pagi, mengantar anak-anak ke sekolah, menyiapkan kebutuhan suami beraktivitas di kantor, lalu kembali ke rumah, dan menunggu semua anggota keluarga pulang dari aktivitasnya. Itu tidak berlaku sekarang, di tengah pandemi Covid-19.
Ibu rumah tangga memiliki tugas baru, sekalipun tidak benar-benar baru. Kini mereka tidak hanya menyediakan sarapan. Ada jadwal baru yang menanti. Ibu rumah tangga mulai mengawasi anak-anak yang belajar di rumah.
Bahkan, mereka tak sekadar mengawasi. Banyak ibu rumah tangga yang berubah profesi menjadi guru bagi anak-anaknya. Tugas sekolah didistribusikan dari guru kepada siswa melalui orang tua. Selanjutnya, orang tua mengarahkan dan mengajarkan materi pelajaran itu kepada anaknya.
Dan ibu menjadi subjek yang mengarahkan, bukan bapak. Di sinilah, sosok perempuan sebagai Kartini benar-benar tampak. Lebih tepatnya, mereka menjadi sosok Kartini di tengah pandemi korona.
Di awal penerapan kebijakan ini, banyak orang tua yang mengeluh. Mereka harus berpikir untuk mengajarkan tugas kepada anaknya. Bisa jadi karena tidak terbiasa dengan aktivitas barunya tersebut. Parahnya, tak sedikit ibu rumah tangga yang memiliki dua anak dengan usianya berdekatan. Otomatis, dia menjadi guru untuk dua anak di rumahnya.
Sulit, karena belum terbiasa. Mengeluh, karena ini kebiasaan baru baginya. Tapi, ada hikmah di balik semua itu. Ibu rumah tangga perlahan-lahan mulai belajar tentang filosofi hidup seorang Kartini. Ibu rumah tangga sekaligus pencerah bagi anak-anaknya.
Ibu rumah tangga memiliki amanah baru. Mereka tak sekadar mendidik perilaku anak. Mereka turut membantu guru melaksanakan kegiatan belajar-mengajar. Aktivitas yang tak bisa diremehkan.
Keberhasilan anak dalam memahami tugas yang diberikan sekolah bergantung kemampuan ibu rumah tangga dalam menyampaikan. Ibu rumah tangga dituntut memahami wawasan baru. Mereka harus tahu tentang mata pelajaran yang dijalani anaknya. Mereka juga tahu seberapa jauh sang anak paham dan mengerti mata pelajaran yang diajarkan sekolahnya.
Aktivitas baru yang mewajibkan ibu rumah tangga belajar. Menambah ilmu, informasi, serta pengetahuan. Hal yang sama dilakukan Kartini sewaktu dia berusaha mencerdaskan kaum hawa di masanya.
Perempuan memang tak sekadar konco wingking, yang selalu menjadi orang nomor dua di keluarga. Perempuan tidak hanya mengerjakan urusan dapur. Tapi, perempuan memiliki andil besar dalam mencetak generasi bangsa. Ibu menjadi guru sekaligus pengarah anak-anaknya untuk mencapai cita-cita pada masa depan.
Mereka memiliki peran mendidik anak-anak yang sedang belajar di rumah. Mengawasi, mengajari, dan melaporkan hasil belajar-mengajar itu kepada guru. Pekerjaan yang berat dan melelahkan. Semua itu adalah pesan moral yang disampaikan Kartini di masanya.
Sejenak mari kita mengingat kilas balik tentang Kartini. Perempuan yang memiliki nama lengkap Raden Adjeng Kartini itu berasal dari kalangan priayi. Dia putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat dan Mas Ayu (MA) Ngasirah.
Kartini lahir di masa penjajahan Belanda. Kala itu hak kaum perempuan terabaikan. Mereka dianggap tidak patut memiliki jenjang pendidikan yang tinggi. Tradisi pingit sangat kental. Perempuan yang sudah dipingit tak boleh keluar dari rumah. Sebagian besar, mereka dipingit saat masih belia. Karena itu, pendidikan bagi kaum perempuan di masa Kartini kecil dianggap tak penting. Fenomena itu yang membuat Kartini berontak.
Kartini merupakan anak kelima dari sebelas bersaudara kandung dan tiri. Dia mengenyam pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS) hingga usia 12 tahun. Setelah itu, dia diwajibkan tinggal di rumah karena sudah waktunya dipingit hingga menjelang pernikahan. Kartini pun berada di rumah. Namun, semangat untuk belajar tetap menggebu.
Kala itu aktivitas Kartini memang lebih banyak di dalam rumah. Meski demikian, Kartini remaja kala itu tetap belajar. Dia juga aktif menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berada di Belanda. Kartini memang menguasai bahasa Belanda. Dia menyerap banyak informasi dari buku, koran, dan majalah Eropa. Salah satu surat kabar yang sering dibaca adalah Semaran De Locomotief. Wawasan Kartini semakin luas. Termasuk wawasan bahwa perempuan berhak memperoleh kebebasan, otonomi, dan persamaan hukum.
Dia membandingkan status perempuan di Eropa dengan negerinya sendiri. Kartini beranggapan bahwa perempuan di negerinya juga berhak mendapat perlakuan yang sama. Satu tahapan yang kelak menjadi modal untuk memperjuangkan persamaan hak alias emansipasi kaum perempuan.
Di masa remaja, Kartini dijodohkan dengan Bupati Rembang Kanjeng Raden Mas (KRM) Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. Setelah menikah, keinginan Kartini diwujudkan. Dia diberi kebebasan dan dibangunkan sekolah khusus perempuan di Rembang, Jawa Tengah. Di situ, Kartini mulai mewujudkan cita-cita luhurnya untuk membangun karakter perempuan Indonesia. Pendek kata, kaum perempuan saat itu harus banyak mendapat sentuhan pendidikan.
Di mata Kartini, perempuan Indonesia harus bisa mewarnai pembangunan. Mereka harus memiliki kebebasan untuk mengenyam pendidikan sekaligus persamaan di depan hukum. Sekat jenis kelamin tidak semestinya menjadi penghalang bagi perempuan untuk beraktivitas di luar rumah.
Emansipasi diperjuangkan. Tentu, emansipasi pada batas atau kadar tertentu. Kodrat wanita tetap dijaga. Dengan begitu, perempuan bisa menjadi tiang negara. Menjadi kekuatan dalam pembangunan karakter bangsa.
Saat ini pandemi korona sedang terjadi di semua negara, tak terkecuali di Indonesia. Banyak orang yang merasakan dampaknya. Pertumbuhan ekonomi melambat. Aktivitas tak sebebas dulu. Tapi, ada hikmah di balik semua itu. Kartini memiliki peran besar di tengah pandemi korona.
Peran ibu rumah tangga sebagai perempuan yang membentuk karakter anak sangat dibutuhkan. Hari Kartini menjadi momen untuk merenungkan semuanya. Perempuan masa kini harus bisa mewujudkan cita-cita mulia itu. Perempuan masa kini harus mewarnai semua lini kehidupan. Baik di rumah tangga, organisasi, pemerintahan, maupun lini kehidupan lainnya. Sukses selalu, Kartini-ku. Sukses selalu, Kartini Indonesia… (*)
(Sumber: https://www.jawapos.com/opini/21/04/2020/kartini-di-tengah-korona/)