Firman Toboleu
Jurnalis
JUJUR, pemerintah dari tingkat daerah (provinsi/kabupaten/kota), kecamatan, hingga desa, masih lemah dalam mitigasi bencana. Termasuk di Kabupaten Halut. Salah satu indikatornya, bencana yang terus terjadi di lokasi yang sama setiap tahunnya.
Harusnya dengan prediksi atau prakiraan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), memudahkan pemerintah melakukan mitigasi bencana. Meski, harus jujur lagi, dampak bencana (alam) sulit dihindari. Meski begitu, menghindari atau meminimalisir dampak bencana bukan sesuatu yang tidak mungkin.
Mitigasi bencana tak lain sebagai upaya, baik pemerintah maupun masyarakat untuk mengurangi risiko bencana. Mitigasi juga menandakan kemampuan pemerintah dan masyarakat dalam menghadapi ancaman bencana.
Mitigasi dampak bencana bagi pemerintah, lebih mengarah pada kebijakan dan program dalam bidang rekayasa dan konstruksi tahan bahaya (bencana). Sementara mitigasi untuk masyarakat harus lebih sadar dan tanggap akan dampak buruk bencana.
Contoh sederhana mitigasi dampak bencana, seperti pembersihan got atau saluran air yang tersumbat, pembuatan drainase dengan perhitungan kapasitas maksimal sehingga air tidak meluber ke jalan, atau pemangkasan cabang, ranting pohon yang mudah patah. Mitigasi bukan ketika air sudah meluber ke jalan dan pemukiman atau sudah ada cabang bahkan pohon yang tumbang ke jalan.
Lebih luas lagi, untuk kegiatan mitigasi dampak bencana, pemerintah sudah harus memiliki data (update) terkait faktor-faktor penyebab bencana. Misalnya data kondisi daerah aliran sungai (DAS), kondisi tanah di bantaran sungai, kemiringan lereng, jenis dan ketahanan tanah, penggundulan hutan, curah hujan, dan sebagainya.
Dengan data-data ini kemudian dianalisis. Hasilnya bisa peta rawan bencana banjir, peta rawan bencana longsor, peta erosi, dan peta potensi kebencanaan lainnya. Selanjutnya, buat kebijakan dan program yang dibahas melalui Musyawarah Rencana Pengembangan (Musrenbang) secara berjenjang dari desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, dan nasional.
Untuk Kabupaten Halut tidak diketahui apakah pemerintah memiliki data-data kebencanaan seperti itu. Pun kalau ada apakah up to date (terkini) atau tidak. Sebagai perbandingan, data yang dihimpun Badan Pusat Statistik (BPS) dari setiap instansi daerah yang disajikan dalam buku tahunan BPS saja banyak yang tidak lengkap dan tidak up to date.
Lemahnya mitigasi kebencanaan ini tidak lain lemahnya sumber daya pemerintah dalam pengumpulan data, pengelolaan data, hingga administrasi kearsipannya.
Padahal, pengumpulan dan pengolahan data kebencanaan di era teknologi saat ini lebih mudah dilakukan. Salah satunya bekerjasama dengan perguruan tinggi yang memiliki program studi terkait. Mahasiswa program studi kehutanan, pertanian, teknik, bisa dilibatkan.
Mahasiswa Halut yang akan melakukan penelitian untuk skripsi diberikan biaya penelitian dengan tema yang sudah ditetapkan. Misalnya, dampak deforestasi Hutan Halmahera Utara terhadap banjir. Atau, kajian erodibilitas tanah di beberapa DAS. Bisa juga dengan judul kajian drainase perkotaan, dan sebagainya.
Dengan lemahnya sumber daya aparatur, pemerintah harusnya membuka pintu dan membangun jaringan dengan para ahli yang ada di perguruan tinggi. Hasil kajian akademis, baik dosen maupun mahasiswa bisa menjadi bahan penting bagi pemerintah dalam penyusunan kebijakan dan program daerah.(*)