Oleh: Zainal Bintang
Wartawan senior dan pemerhati masalah sosial dan budaya
HASIL Pemilu 2019 khususnya Pilpres (pemilihan presiden) terpaksa menjalani proses persidangan PHPU (Perselisihan Hasil Pemilihan Umum) di gedung MK (Mahkamah Konstitusi) Disengketakan! Ibarat pasien ia memerlukan perawatan di ruang ICU (Intensive Care Unit) sebuah rumah sakit besar.
Pasalnya paslon 02 (Prabowo – Sandi) menolak hasil perhitungan suara KPU (Komisi Pemilihan Umum) yang memberikan jumlah suara yang lebih banyak kepada kontestan paslon 01 (Jokowi – Maruf Amin).
Pergeseran ke gedung MK itu, menunjukkan komisioner KPU dan Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) tidak mampu menyelesaikan wewenang yang diberikan konstitusi. Meskipun demikian, penanganan sengketa perselisihan itu oleh MK itu menguntungkan bagi kubu paslon 01. Karena tugas MK hanya menangani perselisihan angka.
Kedua kubu itu yang bersengketa mengerahkan pendekar hukum papan atas. Kubu paslon 01 merekrut YIM (Yusril Ihza Mahendra) sebagai ketua tim. Mantan menteri, politisi dan advokat papan atas itu dikenal sebagai sosok dari dunia “jet set”. Dia sangat terkenal sebagai pelanggan perkara sengketa di MK.
BW (Bambang Wijoyanto) menjadi pilihan kubu 02 sebagai ketua tim kuasa hukum, dikenal pernah sejak belia sudah malang melintang menangani perkara yang banyak membelit rakyat kecil yang berhadapan dengan kekuasaan bertangan besi secara gratis.
BW pernah bertahun-tahun di LBH (Lembaga Bantuan Hukum) di Jayapura dan DKI Jakarta (1986 – 1993). Pendiri Kontras bersama Munir dan pendiri ICW (Indonesian Corruption Watch). Terakhir sebagai komisioner KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). BW juga pelanggan perkara di MK.
Menariknya kedua pendekar hukum itu akan beradu argumentasi membahas kearah mana selayaknya diletakkan mandat rakyat hasil Pemilu itu. Akankah dibawa semakin mendekat kepada rakyat, atau sebaliknya, malah “dipaksa” meninggalkan induknya (rakyat) dan mengabdi pada sebuah kekuasaan melalui retorika rekayasa hukum manipulatif?
Kewenangan MK di dalam menangani sengketa pemilihan umum telah dipatok: hanya bertugas membuktikan adanya perselisihan angka perolehan antara pihak. Hal itu telah dipraktikkan selama tiga kali pemilu presiden (2004, 2009 dan 2014). Namun demikian, lambat laun tumbuh tuntutan baru dari masyarakat. Mereka merasakan patokan itu tidak memberikan hasil totalitas mewakili aspek kejujuran dan keadilan sebagai syarat utama sebuah negara demokratis.
Dasar berkembangnya tuntutan masyarakat adalah sesuatu yang wajar secara alamiah jika merujuk pasal 22 E, UUD 1945 ayat (1) yang berbunyi: Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Dari balik frasa itu memang jelas berisi pesan sakral tentang pengutamaan kejujuran dan keadilan.
Menurut mantan Hakim Agung almarhum Bismar Siregar, “hakim tidak hanya mengacu pada peraturan perundang-undangan saja, tapi juga hati nurani”. Mantan Hakim Agung itu pernah mengeluh, “melihat hakim di Indonesia hanya menjadi corong undang-undang, masih berkutat pada peraturan formal”.
Tidaklah berlebihan rasanya, apabila kepada sembilan Majelis Hakim MK, masyarakat luas sangat berharap adanya “terobosan” hukum dari yang mulia itu. Melompati barikade kuantitatif dan memberi ruang yang memadai kepada aspek kualitatif. Apalagi jika dikaitkan dengan pesan yang tersirat dibalik falsafah hukum ini: “Lex Prospicit, Non Respicit”. (The law looks forward, not backward): Hukum melihat kedepan, bukan ke belakang.
Sikap yang simpatik majelis hakim MK yang tidak mempersoalkan perubahan isi surat gugatan kuasa hukum 02 memantik secercah cahaya pengharapan akan adanya signalperubahan. Meskipun hal itu mendapat kecaman dari tim kuasa hukum KPU sebagai tergugat maupun tim kuasa hukum 01 sebagai pihak terkait.
Majelis Hakim Konstitusi menyatakan perdebatan terkait permohonan PHPU Pilpres 2019 yang diajukan kubu 02 versi gugatan awal maupun perbaikan, menjadi kewenangan MK. Permohonan ini sebelumnya dipersoalkan oleh pihak termohon KPU dan pihak terkait kubu 01 usai tim kuasa hukum 02 mengajukan perbaikan permohonan pada 10 Juni lalu. Bawaslu juga mempermasalahkan soal gugatan awal dan perbaikan kubu paslon 02 tersebut.
Jika merujuk pada Peraturan MK Nomor 4 Tahun 2018 dan Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2019, tidak diatur mengenai perbaikan permohonan dalam sengketa pilpres. Sementara kubu 02 telah mengajukan permohonan awal sejak 24 Mei 2019 dan baru mengajukan perbaikan permohonan pada 10 Juni 2019 atau sekitar empat hari jelang sidang perdana.
“Mahkamah akan mempertimbangkan apakah merujuk pada undang-undang atau Peraturan MK, atau kombinasi apa nanti yang diargumenkan pemohon,” ujar salah seorang hakim anggota MK dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di ruang sidang MK, Jakarta, Jumat (14/6).
Tim hukum 02 menyoal biasnya posisi antara petahana yang masih berkuasa dengan calon presiden yang pada saat kampanye tidak mengambil cuti, sehingga tidak dapat dibedakan: apakah petahana sedang kunjungan kerja atau berkampanye.
Sementara itu, cawapres K.H.Maruf Amin pun ramai dipersoalkan di ruang publik terkait dengan statusnya yang masih sebagai pejabat dua anak perusahaan berkualifikasi BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Cawapres itu dinilai publik telah mendegradasi dirinya alias kurang peka dengan nafas kerakyatan. Dia dianggap sengaja membiarkan potensi konflik itu melekat justru ketika sedang menaiki tangga ujian sebagai wakil presiden.
Sambil menanti pengelolaan (pemuliaan) mandat rakyat di rumah konstitusi, rasanya kita perlu menundukkan kepala merenungkan pesan hukum sebagai berikut: Inde datae leges be fortior omnia posset – Law were made lest the stronger should have unlimited power (hukum dibuat, jika tidak maka orang yang kuat akan mempunyai kekuasaan tidak terbatas).(*)
Sumber: https://rmol.id/read/2019/06/15/392908/mandat-rakyat-di-rumah-konstitusi