Oleh: Asyari Usman
Wartawan senior
BENARKAH kita sudah menikmati kebebasan berbicara? Kebebasan berpendapat? Kebebasan beropini? Kebebasan menyampaikan kritik? Kebebasan pers, dan seterusnya?
Pertanyaan berikutnya, kalau kebebasan itu ada, sudahkah semua kita di negeri ini menggunakannya secara jujur dan adil? Sudahkah kalangan media massa (elektronik maupun cetak) berperan sesuai dengan “sumpah jurnalistik” (sikap netral) yang seharusnya menjadi panduan?
Sejak Reformasi 1998, kebebasan berbicara tidak lagi mengalami kekangan. Begitu juga kebebasan berpendapat atau beropini. Tidak ada yang menghalangi. Termasuk juga kebebasan mengkritik.
Tetapi, dalam beberapa tahun belakangan ini, Indonesia terasa seperti kembali ke era sebelum Reformasi untuk urusan kebebasan berbicara. Dalam arti, berpendapat apa saja boleh namun harus bersia-siap dipenjarakan oleh UU ITE yang sekarang sangat masif digunakan oleh penguasa.
Penggunaan UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronika) Nomor 11/2008 semakin gencar. Mirip-mirip dengan suasana ketika diberlakukan UU Antisubversi 1963, dulu. Ratusan orang dijerat dengan UU ITE. Dijerat karena mengemukakan opini mereka.
Semula, penerapan UU ITE itu bertujuan untuk menindak ucapan atau tulisan yang berkonten SARA. Termasuk juga ujaran kebencian, penghinaan, pencemaran nama baik, dan sebagainya. Tetapi, dalam perjalanannya, sangat mudah dideteksi bahwa klausul-klausul ITE itu kemudian dijadikan pasal karet yang bisa mengejar apa saja.
Para penulis selalu waswas. Takut terkeseleo dan jatuh ke perangkap pasal-pasal karet ITE. Ketakutan itu sampai ke dunia jurnalistik. Tidak hanya sampai di sini. Para pengguna berbagai jenis ‘platform’ media sosial (Facebook, Twitter, Instagram, dan lain-lain) juga merasa dihatui.
Orang takut menulis kritik. Takut mengeluarkan opini yang tak disukai penguasa. Dan, sejak dua tahun terakhir ini, ketakutan itu menjadi-jadi.
Di tengah ketakutan itu, “the show must go on”. Kebebasan berpendapat tidak boleh berhenti. Harus jalan terus. Tidak boleh terintimidasi.
Di celah-celah kesulitan itulah sebuah media berbentuk tabloid bertekad akan menghidupkan kembali “public service” (pelayan publik) mereka. Dan, memang media massa (elektronik atau cetak) berfungsi sebagai alat “public service” itu. Karena mereka setiap hari, setiap saat, “wajib” menyampaikan kabar gembira, kabar duka, informasi umum, atau kabar biasa, kepada masyarakat pembaca.
Dalam rangka ingin hadir sebagai alat “public service” itulah, tabloid Obor Rakyat (OR) mungkin merasa sudah saatnya kembali berkiprah sebagai “pelayan”. Yaitu, “pelayan” pengetahuan umum.
Selain fungsi “public service”, media massa sejak lama didaulat sebagai salah satu pilar demokrasi. Penjaga demokrasi, penganjur demokrasi. Fungsi ini lebih mulia lagi, tentunya. Atas dasar inilah, Obor Rakyat tampaknya bertekad semakin kuat untuk beperan. Mungkinkah?
Tampaknya, keinginan ini tidaklah mudah. Kita semua sedang berada di alam yang menyukai semuanya ‘serba steril’. Sterilisasi. Tidak boleh ada itu, tidak boleh ada ini.
Alam yang sedang kita huni, hari ini, penuh dengan para ‘perawat kekuasaan’. Sehingga, ‘steril’ adalah slogan sehari-hari mereka. Sebagaimana ‘steril’ yang dikenal di dunia medis.
Kekuasaan tidak boleh terganggu “kesehatan”-nya. Kekuasaan harus kuat. Tidak boleh ada tandingannya, termasuk media massa. Kalau media massa kuat, berarti kekuasaan akan terkontrol.
Siapakah yang paling mungkin mengalah atau dikalahkan? Media massa atau penguasa?
Anda semua bisa menebak jawabannya. Dalam sejarah kekuasaan di negeri ini, yang selalu menjadi “mentimun” (timun) adalah media massa yang berusaha jujur dan adil. Media netral. Media yang berintegritas. Merekalah yang selalu kalah. Mereka pasti berhadapan dengan ‘durian’ kekuasaan yang keras dan berduri tajam itu.
Tapi, jangan dulu berkecil hati. Sebab, “timun” yang lunak itu selalu dicari orang untuk obat penawar ketika tekanan darah tinggi kambuh akibat “durian” yang keras dan tajam.(*)
Sumber: https://rmol.co/read/2019/04/10/385409/media-massa-vs-kekuasaan