Oleh: Reza Indragiri Amriel
Alumnus Psikologi Forensik, The University of Melbourne
BRAMACORAH memang tidak mengenal hari libur. Rupa-rupa aksi kriminalitas juga berlangsung menjelang bulan suci Ramadan. Demikian pula, diperkirakan, menyongsong Idul Fitri nantinya. Itu semua, seperti pada tahun-tahun sebelumnya, membangkitkan kembali simpulan jelek bahwa–katanya—aksi kejahatan terjadi lebih marak di bulan Puasa.
Sebuah studi menyimpulkan, menjelang Natal, kejahatan properti memang mengemuka di Amerika Serikat. Penyebabnya ialah karena orang-orang membutuhkan anggaran ekstra untuk mempersiapkan diri menyambut liburan. Sebagian orang menggunakan cara-cara jahat untuk memenuhi kebutuhan finansial mereka itu.
Situasi serupa juga dipersepsikan terjadi pada masa Ramadan dan menjelang Idul Fitri di Indonesia. Namun, mengemuka atau menonjolnya suatu peristiwa kejahatan tidak serta-merta berarti bahwa tindak kriminalitas itu meninggi secara kuantitatif. Untuk memastikannya, data di kepolisian bisa menjadi rujukan walau tetap perlu diperhatikan banyaknya kejadian kejahatan yang tidak dilaporkan kepada polisi.
Juga, manakala angka kejahatan mengalami peningkatan, boleh jadi ada pemaknaan positif yang dapat dibangun, yakni kejahatan yang meninggi secara statistik dan mengemuka dari sisi persepsi publik bisa dihasilkan oleh masyarakat ataupun korban lebih bernyali untuk melapor. Media lebih kencang mewartakan, serta polisi juga lebih intens menindak.
Jadi, terlalu tergesa-gesa dan bombastis apabila disimpulkan bahwa Ramadan niscaya merupakan bulan ideal bagi para bandit untuk melancarkan aksi kejahatan. Narasi semacam itu malah berpotensi menyebar kecemasan yang tidak proporsional pada masyarakat, sekaligus memperkuat rasa percaya diri para pelaku kriminal.
Sesungguhnya, sinergi sedemikian rupa antara masyarakat, media, dan polisi sangat dibutuhkan untuk menekan aksi kejahatan. Tinggal lagi bagaimana quick response Polri dipertajam dan dijaga konsistensinya.
Polisi harus memastikan bahwa konsentrasi mereka tidak diforsir pada pengamanan arus mudik-balik semata. Perlibatan personel TNI sebagai armada bantuan sepatutnya juga tidak sebatas dikerahkan di lokasi-lokasi perniagaan. Juga sangat baik apabila Mabes Polri memerintahkan seluruh Kapolsek dan jajarannya untuk selekasnya membagi nomor ponsel mereka kepada masyarakat.
Masyarakat, di samping terus melakukan langkah-langkah pencegahan agar tidak menjadi korban, juga patut menjadikan asuransi sebagai instrumen proteksi jiwa. Asuransi, kendati tidak mungkin membalik arah jarum jam, setidaknya memungkinkan korban ataupun sanak keluarga korban bernapas lebih panjang.
Media kudu jaga stamina untuk memastikan bahwa kabar yang mereka angkat tidak melulu mengenai kehebohan belaka. Pemberitaan yang terhenti pada fase geger, yakni tentang tindak kejahatan dan jumlah korban serta besaran kerugian yang diakibatkan, hanya akan mengirim pesan bahwa situasi bahaya tidak kunjung terkendali. Padahal, efek jera baru bisa diharapkan muncul ketika media menginformasikan pula bentuk perlakuan hukum yang diterima oleh pelaku kejahatan.
Pun media perlu tak jemu-jemu menginfokan ke masyarakat ihwal nomor hotline dan lokasi pos-pos jaga polisi. Narasi tentang situasi Ramadan memang harus diubah. Dari ‘bulan rawan kejahatan’ menjadi ‘bulan lawan kejahatan’.
Untuk maksud itu, polisi, selaku ujung tombak, perlu mendongkrak kepercayaan diri masyarakat dengan melakukan operasi besar-besaran dan gilas tanpa ampun terhadap geng motor, sarang narkoba, dan calo sebagai pilot projects-nya.
Modus Baru
Berangkat dari logika tentang kejahatan properti di musim liburan seperti tertulis di atas, polisi dan masyarakat juga perlu mengantisipasi kemungkinan maraknya kejahatan-kejahatan dengan motif serupa, tetapi dengan modus yang lebih canggih.
Ancaman terhadap keamanan publik tidak lagi sebatas kejahatan konvensional semisal pencurian di rumah kosong dan perampokan. Yang lebih mengandalkan kekuatan teknologi ialah pembuatan dan peredaran uang palsu serta kejahatan properti via internet, yang juga menemukan kans baiknya ketika lalu lintas uang dan barang meninggi ketimbang biasanya.
Andaikan modus-modus kejahatan yang lebih terorganisasi semacam itu juga berlangsung marak, terlebih pada musim liburan seperti bulan Puasa, jelas efeknya akan sangat serius. Utamanya terhadap masyarakat yang dewasa ini kian mengandalkan transaksi nontunai. Cashless society diyakini mengurangi risiko masyarakat menjadi korban kejahatan. Namun, ketika kejahatan properti via media daring tak terbendung, entah ragam masyarakat seperti apa lagi yang perlu diciptakan untuk mengatasi potensi warga mengalami viktimisasi. Allahu a’lam.(*)
Sumber: https://mediaindonesia.com/read/detail/234320-ramadan-aman