Oleh: M Kholid Syeirazi
Sekretaris Umum Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU)
PERIODE kedua pemerintahan Jokowi makin defisit kepercayaan publik. Selain oleh Jokowi, modal politik itu juga digerogoti oleh ulah pembantu-pembantunya yang tidak kompeten. Saya mencatat sejumlah catatan atas kepemimpinan pasangan Jokowi-KH Maruf Amin selama beberapa bulan terakhir.
Pertama, Jokowi tidak melibatkan Kiai Maruf Amin (KMA) dalam proses penyusunan kabinet. Penyusunan kabinet memang hak prerogatif Presiden, tetapi kita semua maklum, Jokowi bicara dengan Jusuf Kalla dalam penyusunan Kabinet Kerja Jilid I. Ini boleh saja disebut subjektif dan sektarian sebagai kader Nahdlatul Ulama.
Kedua, rekonsiliasi direduksi menjadi konsesi politik, bahkan kepada kubu lawan pemilihan presiden (Pilpres). Orang memilih Jokowi karena menolak Prabowo. Ternyata Prabowo bersedia bergabung dengan platform politik Jokowi yang diserangnya, dengan sangat sarkas oleh pendukungnya, sepanjang Pilpres. Saya menganggap ini aneh tapi nyata.
Yang ketiga, Jokowi hampir pegang semua kunci kekuasaan. Tetapi saya kaget, Jokowi bilang tahu siapa mafia migas dan berniat menggigitnya. Kalau memang tahu mafianya, kenapa tidak perintahkan Kapolri untuk menangkapnya. Jokowi juga bisa minta Jaksa Agung untuk memburunya.
Ini saya anggap krusial, tetapi kalau cuma pernyataan, pengamat seperti saya juga bisa. Dari dulu mafia migas kayak kentut, ada baunya tetapi tidak jelas bentuknya.
Jokowi juga mengecewakan publik karena baik langsung atau tidak langsung membiarkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diperdaya. Peragaannya dibayar kontan dengan drama yang menyertai operasi tangkap tangan (OTT) OTT komisoner KPU yang diduga melibatkan petinggi partai penguasa (PDIP). Jelas KPK tidak digdaya seperti sebelumnya. Lakon di sekitar drama itu seperti pertunjukan dalam sebuah dagelan.
Kelima, Jokowi bukan berasal dari elit oligarki. Bahkan dia berasal dari rakyat kebanyakan. Tetapi kita tahu, sejak pidato pertama di periode kedua kekuasaannya, Jokowi akan memberi karpet merah bagi oligarki.
Jokowi terobsesi kepada pertumbuhan yang harus didongkrak dengan investasi. Semua hambatan akan disingkirkan. Jokowi bicara omnibus law. Garis besarnya, regulasi yang menghambat dibabat, investasi digenjot, sistem ketenagakerjaan akan dibuat se-fleksibel mungkin.
Obsesi tentang pertumbuhan dan liberalisasi tanpa sistem jaminan sosial yang handal hanya akan memperparah ketimpangan. Padahal, harapan kita Jokowi dapat meletakkan fondasi yang kuat bagi pengembangan koperasi dan UMKM. Proses legal drafting RUU Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) mirip operasi senyap seperti revisi UU KPK. Kita patut bertanya, udang apa di balik batu?
Jokowi juga mengangkat menteri agama yang tidak kompeten. Pensiunan jenderal, tanpa background keagamaan yang memadai, Menag pilihan Jokowi ini diharapkan dapat memperkuat pemberantasan radikalisme. Tapi sikap dan pernyataannya plin-plan sejak awal.
Pernyataannya yang plin-plan soal cadar dan celana cingkrang, soal perpanjangan izin FPI, soal pemulangan kombatan ISIS eks-WNI, betul-betul membingungkan. Kita jadi bertanya-tanya, apakah Jokowi dan pembantunya di periode kedua ini betul-betul punya komitmen memberantas radikalisme?
Tidak cukup disitu, Presiden Jokowi juga mengangkat seorang inovator jadi Mendikbud. Tanpa background kependidikan sama sekali, terobosan-terobosannya soal Ujian Nasional (UN), magang, sistem SKS dan perkuliahan, membuat sebagian pendidik mengernyitkan dahi.
Pertautan dengan dunia kerja dan industri penting, tetapi pendidikan bukan sekadar soal link and match dan vokasional. Pendidikan bukan hanya untuk mencetak orang jadi sekrup ekonomi-industri. Pendidikan adalah soal investasi menyiapkan manusia Indonesia seutuhnya.
Saya juga bertanya-tanya, ada apa dengan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN)? Yang kita saksikan dengan gebrakan Menteri Erick seperti ganti Presiden. Padahal Presidennya masih sama. Tujuh (7) orang Deputi dibuat turun mesin semua. Struktur organisasi dirombak besar-besaran.
Erick juga sukses ‘menghabisi’ petinggi-petinggi BUMN kakap yang diangkat di era Menteri Rini. Bukankah yang dilakukan Menteri Rini di masa lalu atas perintah atau minimal persetujuan Presiden? Kalau Menteri Rini ‘nyeleweng,’ pasti Presiden meluruskannya.
Nyatanya Jokowi mempertahankan Rini satu periode penuh, mengabaikan murka parlemen dan PDIP sebagai partai pengusung Jokowi. Kalau memang Rini bermasalah, kenapa tidak diberhentikan di tengah jalan? Sekarang Erick memulai kerja di Kementerian BUMN seperti dari titik nol. Ada apa dengannya?
Saya dari dulu tidak pernah respek dengan politik dinasti. Saya pernah memuji Jokowi karena sukses menyingkirkan keluarganya dari arena politik. Tetapi di periode kedua ini, Jokowi membiarkan anak dan menantu lelakinya berlaga di arena politik.
Secara normatif, hak setiap orang untuk memilih dan dipilih. Tetapi, etika tidak berurusan dengan boleh-tidak boleh, tetapi pantas-tidak pantas, elok-tidak elok. Saya rasa, tidak elok Jokowi yang Presiden punya anak seorang Walikota pada saat yang sama. Kenapa tidak bersabar sejenak menunggu bapaknya lengser baru anaknya tampil?
Ini sekadar catatan (cacatan?) saya untuk Jokowi. Saya pendukung Jokowi dan tetap berharap duet Jokowi-KMA akan berjaya di periode kedua. Saya masih peduli, karena itu masih mau mengkritik. Kalau sudah ‘jeleh,’ tentu saya hanya akan ‘mbatin’: sak karep-karepmu, unthal-unthalen dewe kono!(*)
Sumber: https://rmol.id/read/2020/02/12/421171/sembilan-catatan-kepemimpinan-jokowi