MIRIS melihat kasus kejahatan seksual terhadap anak yang tak henti-hentinya terjadi di Maluku Utara. Terbaru, kasus asusila ini terjadi di sebuah keluarga di Kelurahan Dufa- Dufa, Ternate Utara. Dimana, seorang ayah tega menodai anak kandungnya sendiri.
Peningkatan kasus-kasus kejahatan seksual terhadap anak tersebut sangat memprihatinkan dan membuat kita sedih. Kenapa setiap tahun kasus-kasus kejahatan seksual anak terus berulang. Bahkan grafiknya terus meningkat. Karena itu patut kita cermati dan sikapi secara runut dan bijaksana. Faktor apa saja yang menyebabkan kasus itu terulang.
Mungkin faktor penyebabnya, ada semacam keteledoran dari pemerintah yang kurang menyikapi secara tegas, setiap peristiwa kejahatan seksual, terutama yang melibatkan anak perempuan.
Pemerintah kurang mensosialisasikan pencegahan kejahatan seksual. Atau peran orang tua dalam keluarga yang sangat minim dalam melindungi, mendidik dan mengawasi anak-anaknya di dalam pergaulan, baik di lingkungan keluarga dan sekitar tempat tinggal.
Atau juga faktor yang disebabkan pendidikan karakter anak di sekolah kurang memadai. Sehingga anak-anak sangat mudah terkontaminasi dengan pergaulan bebas, dan mudah terbujuk rayu oleh orang-orang yang tidak memperdulikan masa depan anak-anak.
Di sisi lain adalah faktor lemahnya penegakan hukum terhadap para pelaku kejahatan seksual. Hukuman yang diberikan terlalu ringan, sehingga tidak menimbulkan efek jera. Faktor penegakan hukum ini memberi andil terulang kembalinya kasus-kasus kejahatan seksual terhadap anak, terutama perempuan.
Desakan Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak (PA) Malut agar pihak kepolisian segera membelakukan hukuman kebiri kepada pelaku terutama yang notabene adalah ayah kandung, sejatinya tidak lagi diabaikan.
Melihat begitu banyaknya faktor penyebab terulangnya peristiwa kejahatan seksual, maka sudah selayaknya semua pihak mulai dari orangtua, keluarga, pihak sekolah, seluruh komponen masyarakat, dan pemerintah untuk menyatuhkan langkah menyikapi fenomena terus terulangnya kejahatan seksual.
Keinginan pemerintah untuk memperberat hukuman para pelaku kejahatan seksual terhadap anak, patut kita dukung dan diberi apresiasi. Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak yang mencantumkan hukuman penjara maksimal 15 tahun sebaiknya direvisi. Hukuman wajib diperberat, tidak saja memperberat hukuman penjara, tetapi juga tambahan hukuman lainnya.
Masyarakat juga harus menyadari, efek jera para pelaku kejahatan seksual, tidak hanya ditentukan oleh faktor hukuman, tetapi lebih penting dari itu adalah bagaimana peran orangtua dalam keluarga dan sistem pendidikan di sekolah. Kedua faktor tersebut bisa membentengi anak untuk tidak terjerumus dalam kasus-kasus kejahatan seksual.
Sistem komunikasi antara orangtua dan anak dalam keluarga harus terus dibangun. Jangan biarkan anak selalu menerima kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi di dunia maya. Sistem pengawasan patut dilakukan oleh orangtua, termasuk mengawasi pergaulan anak di lingkungan tempat tinggal.
Begitu juga dengan pendidikan anak-anak di sekolah. Pihak sekolah sebaiknya tetap menekankan pendidikan agama dan karakter. Orangtua dan para guru di sekolah juga sebaiknya memberikan pemahaman yang baik, mana bagian tubuh yang boleh disentuh dan tidak boleh disentuh.
Pemahaman itu perlu disampaikan agar anak-anak terutama perempuan, bisa menyikapi dan mengantisipasi kejahatan seksual. Karena itu sinergi antara pemerintah, orangtua dan guru di sekolah akan mampu menyikapi kejahatan seksual anak.(*)