Kuliner

Ketika Steak Menginvasi Gaya Kuliner Indonesia

×

Ketika Steak Menginvasi Gaya Kuliner Indonesia

Sebarkan artikel ini
ILUSTRASI steak, makanan daging panggang. (foto: bbci.co.uk)

HARIANHALMAHERA.COM– Makanan daging panggang atau steak, sudah tidak asing lagi di lidah orang Indonesia. Makanan yang sering disajikan bersama kentang tumbuk atau goring ditambah sayur ini, makin mudah ditemui di semua wilayah Indonesia.

Namun, tahukah Anda kalau steak sudah menjadi budaya Indonesia sejak zaman penjajahan dulu. Sebagaimana diberitakan CNNIndonesia.com, steak ternyata merupakan produk kuliner hasil asimilasi budaya Nusantara dan Barat. Masuknya steak ke Indonesia tak lepas dari peran para penjajah.

“Pada masa kolonial, Belanda pelan-pelan memperkenalkan steak pada orang-orang pribumi,” ujar pengamat kuliner Kevindra Soemantri saat ditemui di Holycow, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (19/3).

Secara perlahan, steak mulai menginvasi gaya kuliner Indonesia. Perjanjian Giyanti (1755), yang membagi wilayah Mataran menjadi Surakarta dan Yogyakarta, berperan dalam penyebaran gaya menikmati steak di Nusantara.

Kevin menjelaskan, Surakarta yang cenderung pro-penjajah sangat terpengaruh budaya kuliner ala Barat. Dari sini, muncul aneka rupa kuliner hasil asimilasi seperti salad solo, sosis solo, dan bistik sebagai yang paling kesohor.

Bistik adalah sajian yang menghadirkan daging panggang berkuah. Bistik berasal dari istilah ‘beef steak’ atau steak daging sapi bagi orang-orang Barat. Rasa kuah bistik yang cenderung manis, disebabkan menjamurnya pabrik gula di Tanah Jawa.

“Ada pabrik gula, pabrik kecap lokal. Akhirnya dalam kuah bistik ditemui rasa manis kecap,” kata dia.

Disebutkan, awalnya steak hanya berupa potongan daging pada umumnya. Saat kemunculannya, belum ada istilah jenis potongan seperti tenderloin, sirloin, dan rib eye. Hanya kalangan tertentu yang bisa menikmati bistik seperti kaum bangsawan dan priyayi.

Mulai sejak 1970-an, popularitas steak kian menjadi-jadi. Kehadiran sederet hotel bintang lima di Jakarta berperan membikin nama steak dengan ragam variasinya makin dikenal. Saat itu ada Hotel Borobudur, Hotel Indonesia, Hotel Kartika Chandra, dan Hotel Asoka (kini berganti menjadi Plaza Indonesia).

“Hotel-hotel inilah yang berperan memperkenalkan steak pada kalangan atas dengan dua pilihan jenis potongan daging tenderloin dan sirloin,” kata Kevin.

Hingga kini, dua jenis potongan daging steak tenderloin dan sirloin begitu melekat di masyarakat Indonesia. Hal itu diakui oleh Pendiri Steak Hotel by Holycow, Wynda Mardio. Menurutnya, 70 persen pelanggan di restorannya menyukai jenis potongan sirloin. “Sirloin harganya di bawah tenderloin. Makanya lebih banyak yang pilih sirloin,” ujarnya.(cnn/fir)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *