Ternate

Karamat: Pemkot Ternate, Jangan Lagi Bebankan Pedagang

×

Karamat: Pemkot Ternate, Jangan Lagi Bebankan Pedagang

Sebarkan artikel ini
Presidium Madopolo Keluarga Malamo Tarnate, M. Ronny Saleh. Foto: Istimewa

TERNATE – Imbauan berdiam diri di rumah hingga menjaga jarak di tengah pandemi corona virus disease 2019 (Covid-19), rupanya belum berjalan efektif di Kota Ternate, Maluku Utara.

Beberapa hari kemarin, Dinas Perumahan dan Permukiman Kota Ternate mengakomodir 37 pedagang kaki lima dengan kategori musiman, berjualan di area Dhuafa Center dan areal Masjid Almunawar.

Sementara, di Pasar Bastiong, para pedagang jajanan berbuka puasa dikenakan tarif sewa meja sebesar Rp 500 Ribu. Sedangkan di Pasar Higienis, Kelurahan Gamalama, dipatok sebesar Rp 600 Ribu per-meja. Sontak realitas itu menuai sorotan publik di Kota Ternate.

Presidium Madopolo Keluarga Malamo Tarnate (Karamat), M. Ronny Saleh, kepada Harianhalmahera.com, Senin (27/4), mengkritisi fakta dan tema terkait pengelolaan lapak pedagang yang diberi nama; “Koordinator Free Ramadhan Gamalama.”

“Dari kalimat Free sudah pasti bebas dari beban (pembayaran) apapun. Tapi faktanya, setiap penggunaan meja atau lapak dipungut Rp 500 Ribu hingga Rp 600 Ribu. Ini kan keliru,” tegas pria yang juga Kapita Alfiris Kesultanan Ternate ini.

Menurut dia, kebijakan tersebut sudah mencederai nilai-nilai kemanusiaan. Sebab saat ini hampir semua pihak turut merasakan dampak dari Covid-19. “Termasuk pedagang, tapi kenapa dorang (mereka – pedagang) masih ditagih lefo (pajak),” sesalnya.

Secara normatif, lanjut Ronny, ada imbauan berdiam diri di rumah hingga menjaga jarak. Namun secara kondisional, sebagian dari mereka harus berusaha memenuhi kebutuhan hidup dengan cara berdagang. “Jadi mau tidak mau harus bajual,” tandasnya.

Dengan kondisi seperti itu, menurut dia, pemerintah harus ikut membantu meringankan beban mereka. “Dalam arti, selain tidak dipungkut pajak retribusi, jarak antara lapak itu itu harus diatur. Supaya pembeli yang datang tidak berkumpul di situ,” ujarnya.

Bagi Ronny, ini sudah menjadi tugas pemerintah. Sebab semua anggaran, aturan, hingga kebijakan ada pada pemerintah. “Pemerintah sudah ada pegangan. Ada aturan, anggaran. Tinggal diatur skemanya bagaimana. Bukan lagi membebani masyarakat dengan pajak,” tukasnya.

Sebab menurut dia, persoalan sewa lapak bukan hal baru. Sebab sejauh ini, terkesan tidak ada transparansi dalam pengelolaannya. “Jadi kami tidak tahu, apakah masuk di PAD atau pendapatan asli pejabat,” ucap Ronny memplesetkan akronim PAD yang berarti Pendapatan Asli Daerah.

“Jadi harus diperjelas. Karena mental kolonial seperti ini sangat terkutuk. Barenti sudah. Kasihan pedagang. Namanya Free Ramdhan Gamalama itu harusnya gratis. Karena ada kalimat Free di situ. Jadi kalau ada kalimat Free, lantas prakteknya ada pembayaran, kacau itu,” tambahnya. (Kho)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *