HARIANHALMAHERA.COM–Ditengah terus bertambahnya kasus positif baru, bukannya mengusulkan
pembatasan sosial berskala besar (PSBB), sebaliknya Pemerintah Kota (Pemkot) Ternate justeru mengotot akan menerapkan new normal alias tatanan hidup baru.
Bahkan, pelaksanaan new normal sendiri sudah ditetapkan mulai jalan 5 Juni mendatang. Padahal, jika dilihat dari 11 indikator yang ditetapkan pemerintah pusat sebagai syarat untuk melaksanakan new normal, Ternate belum memenuhi syarat sama sekali.
Daerah yang dinakhodai Burhan Abdurrahman ini pun berstatus zona merah karena memiliki kasus positif terbanyak di Malut bersama kota Tidore Kepulauan (Tikep).
Sekretaris kota (Sekkot) Ternate Yusuf Sunya mengatakan, pelaksanaan new normal tetap mengikuti protokol kesehatan. “Respon dari dunia usaha sendiri, mereka tetap menerima karena ini merupakan sebuah kebijakan membuka kembali aktifitas ekonomi, sosial, dan
aktifitas publik secara terbatas,” katanya.
Menanggpi itu, Direktur Rorano Malut Asghar Saleh, menilai keputusan yang diambil Pemkot ini sangat fatal. Dia menilai, Ternate sangat tidak mungkin menerapkan New Normal, mengingat tren penyebaran Covid-19 semakin hari terus meningkat.
“Ini di Ternate jumlah kasus naik, transmisi lokal juga demikian. Apa kita harus menerapkan new normal, sangat berbahaya sekali jika Pemkot Ternate paksakan,” katanya, Senin (1/6).
Jika pemberlakuan New normal dipaksakan, maka kesiapan jumlah tenaga medis dan rumah sakit harus sudah dipikirkan mengantisipasi ledakan kasus baru.
Apalagi, saat ini ada ratusan warga di Ternate yang reaktif hasil rapit test yang hanya karantina di rumah tanpa pengawasan karena jumlah petugas medis dan relawan terbatas. “Karena tenaga medis yang ada sekarang sudah sangat jenuh karena kelelahan,”ujarnya.
Bahkan Asghar mempertanyakan, keinginan Pemkot membuka pasar, padahal selama ini di Ternate tidak ada penutupan pasar. “Memangnya pasar di Ternate selama ini ditutup, kong hari ini mau rencana dibuka,” pungkasnya.
Terpisah, wakil ketua DPRD Kota Ternate, Heny Sutan Muda mengatakan, terlalu banyak istilah yang di gunakan pemerintah akibatnya pasti membingungkan masyarkat, mulai dari karantina wilayah, lock down, PSBB dan malah sekarang muncul new normal.
Sebaiknya, sebelum pemerintah menerapkan aturan disuatu daerah yang mestinya memperhatikan kondisi di daerah, salah satu penerapan angka penyebaran Covid-19 sudah mulai mengalami penurunan. Tapi, daerah yang pasien postifnya justru bertambah sebaiknya jangan diberlakukan new normal.
“Lebih bagusnya di Ternate di berlakukan pembatasan humanis saja, karena mengingat angka pasien positif dan transmisi lokal makin meningkat. Sementara aktivitas kantor, restoran di buka tapi dilakukan pembatasan yang makan di tenpat di utamakan yang takeway. Begitu, juga
pasar diatur para pedagangnya supaya pada jarak tertentu sehingga tidak menimbulkan gesekan badan antar sesama pembeli,”jelasnya.
Dijelaskan, pembatasan sosial humanis dengan pendekatan edukasi, sosialisasi dan advokasi bahkan ini harus melibatkan para lurah karena lurah yang memiliki wilayah dan lurah pasti mengenal betul warganya.
Selain itu, lurah bekerja sama dengan RT/RW dan relawan Covid-19 kelurahan dan juga ibu-ibu PKK agar layanan terpadu terlaksana “Para ibu-ibu PKK membantu memberikan edukasi, pos kamling di aktifkan kembali jdi tidak perlu palang jalan sehingga akan lebih Humanis. Jadi, itu karena tidak ada kesadaran dari masyarakat dan aturan yang lebih ketat oleh pemerintah,” tukas Politisi Demokrat ini. (tr3/pur)