Kolom

Virus Bermutasi, Manusia Beradaptasi

×

Virus Bermutasi, Manusia Beradaptasi

Sebarkan artikel ini
RHENALD KASALI (Jawa Pos)

Oleh: Prof Rhenald Kasali

Guru Besar UI dan Founder Rumah Perubahan

 

TAHUN lalu kita tak pernah membayangkan bahwa awal 2020 akan begitu dramatis. Pada awal Januari, virus korona yang menyerang sistem pernapasan mulai mewabah di Wuhan, Tiongkok.

Dalam waktu singkat, jumlah penderita Covid-19, penyakit yang disebabkan virus tersebut, melonjak secara eksponensial. Globalisasi dan interkoneksi transportasi membuat virus tersebut menyebar cepat ke berbagai negara. Pada 11 Maret 2020, wabah ini sudah menjangkiti 114 negara hingga WHO menetapkan status pandemi global.

Kemampuan SARS-CoV-2 menyebar ke berbagai penjuru dunia ternyata disebabkan virus ini sangat hebat dalam bermutasi. Lebih hebat jika dibandingkan dengan virus SARS yang memicu wabah sebelumnya.

Ilmuwan menyebutkan, SARS-CoV-2 setidaknya sudah bermutasi 3 kali. Karena itu, karakter virus di berbagai negara berbeda-beda. Artinya, SARS-CoV-2 memiliki kemampuan canggih untuk beradaptasi di lingkungan yang berbeda-beda.

Karena itulah, persebarannya sangat cepat. Upaya penemuan vaksin maupun obatnya pun makin sulit. Bahkan, pasien yang sebelumnya dinyatakan sembuh ternyata bisa terjangkiti lagi. Jumlah penderita Covid-19 di dunia sudah lebih dari 2,39 juta orang. Sebanyak 6 ribu lebih di antaranya ada di Indonesia.

Kemampuan Adaptif

Apakah kemampuan mendasar yang perlu diajarkan kepada anak-anak kita? Sebagai pendidik, itu menjadi pertanyaan krusial yang terus saya pikirkan. Pengalaman puluhan tahun mendidik mahasiswa dan belasan tahun mengembangkan PAUD/TK untuk kegiatan sosial mengantarkan saya pada satu kesimpulan. Bahwa kemampuan mendasar yang dibutuhkan itu adalah adaptif.

’’Survival of the fittest’’. Demikian kata Charles Darwin. Fittest berarti mampu beradaptasi dengan lingkungan. Jadi, kunci survive itu bukan yang paling kuat atau paling cerdas, tapi yang paling adaptif. Konsep ini sudah berlangsung jutaan tahun.

Demikian pula otak. Di London, para sopir taksi Black Cab harus menghafalkan 25 ribu ruas jalan, 50 ribu persimpangan, dan lebih dari 20 ribu gedung serta landmark yang tersebar di seantero London. Tes untuk para sopir taksi itu disebut The Knowledge.

Riset neuroscientist pada para sopir taksi Black Cab menunjukkan, ukuran posterior hippocampus, bagian otak yang berhubungan dengan kemampuan memori, membesar setelah menempuh berbagai proses dalam tes The Knowledge. Neuroscientist menyebutnya brain plasticity, bahwa otak manusia masih bisa berkembang meski sudah menginjak usia dewasa. Saya menyebutnya adaptasi.

Adaptasi Pandemi

Pola pikir maupun cara pandang manusia sebelum dan saat di tengah krisis ternyata berbeda. Ketika awal muncul Covid-19, banyak orang yang berpikiran bahwa penyakit ini hanya seperti flu biasa yang bisa sembuh dengan sendirinya. Bahwa virus ini akan mati di cuaca panas. Bahwa kita bisa kebal karena rajin mengonsumsi empon-empon atau rempah-rempah.

Cara pandang underestimate ini terjadi di hampir semua negara, termasuk di negara maju seperti Amerika Serikat. Karena itu, kini bukan saatnya lagi saling mengolok-olok karena memang yang dihadapi saat ini adalah virus yang memiliki kemampuan canggih dalam bermutasi.

Ketika sekarang berada di tengah krisis, cara pandang kebanyakan orang bergeser dari underestimate menjadi overestimate. Seakan-akan, dunia akan kiamat, ekonomi hancur berantakan. Sikap pesimistis semacam ini bisa dimaklumi. Tapi, jangan sampai berlarut-larut.

Semua tahu, kita sedang dan akan menghadapi masa-masa sulit dalam beberapa bulan ke depan. Tetapi, bukan berarti kita tak bisa berbuat apa-apa. Dalam kondisi uncertainty inilah kemampuan adaptif sangat kita butuhkan.

Inovasi sering kali muncul saat manusia dihadang kesulitan. Dulu, banyak orang yang tak bisa mengonsumsi cokelat karena harganya yang sangat mahal. Pada 1963, Michele Ferrero dari Italia berinovasi mencampur cokelat yang mahal dengan gula, minyak, susu, dan kacang hazelnut. Lahirlah Nutella yang kemudian mendunia sebagai alternatif pengganti cokelat untuk dimakan bersama roti.

Ketika gelombang disrupsi terjadi, pelaku-pelaku usaha harus beradaptasi. Kini, tekanan untuk memiliki kemampuan adaptif itu masuk sampai ke ruang-ruang keluarga. Work from home dan school from home mendorong pemanfaatan teknologi komunikasi digital seperti video conference. Kini, semua hadir dalam kehidupan sehari-hari.

Pola interaksi kita dengan lingkungan sosial dan pekerjaan berubah. Begitu pula interaksi di dalam keluarga. Karena itu, semua harus cepat beradaptasi. Termasuk, beradaptasi dengan kondisi perekonomian yang baru. Kuncinya adalah inovasi.

Gelombang PHK pasti terjadi. Karena itu, keluarga harus bisa menyesuaikan neraca pemasukan dan pengeluaran. Idealnya, pengeluaran ditekan, pemasukan ditambah. Apakah mungkin? Mungkin saja. Di tengah kondisi saat ini, kita menyaksikan tumbuhnya kekuatan entrepreneurship.

Ibu-ibu giat berjualan sayur, makanan, dan kebutuhan medis seperti masker serta disinfektan melalui grup-grup WhatsApp dan media sosial. Sebagian lagi mulai menanam sayuran dengan sistem hidroponik di pekarangan rumah yang luasnya terbatas.

Pelaku usaha di sektor-sektor yang terdampak juga harus beradaptasi. Ketika bisnisnya sepi karena turunnya permintaan, pelaku usaha harus bisa memodifikasi produk atau jasanya. Contohnya, pelaku usaha garmen atau konfeksi yang lincah bergerak menjadi produsen alat pelindung diri (APD) maupun masker.

Pelaku usaha seperti restoran dan pedagang yang biasanya mengandalkan pembeli datang juga makin banyak yang masuk ke jaringan marketplace. Pelaku usaha perhotelan yang sepi karena terhentinya aktivitas turisme bisa memodifikasi layanan untuk isolasi mandiri. Dan sebagainya.

Ketika nanti pandemi berakhir dan masuk masa recovery, kondisi new normal akan terjadi. Orang sudah terbiasa dengan cara kerja digital. Bekerja online, belajar online, belanja online, dan sebagainya. Individu, korporasi, dan institusi harus siap beradaptasi dengan perubahan tersebut.

Kemampuan beradaptasi itu akan muncul beriringan dengan daya inovasi. Karena itu, dalam situasi sulit seperti ini, bukan waktunya lagi untuk memelihara kenyinyiran dan pesimisme. Inilah saatnya memupuk optimisme untuk terus bergerak, beradaptasi, dan berinovasi menyongsong dunia yang terus berubah.(*)

(Sumber: https://www.jawapos.com/opini/22/04/2020/virus-bermutasi-manusia-beradaptasi/)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *